Waktu masih kecil, sekitar usia SD, saya sering ikut orangtua saya pergi ke Banyuwangi. Perjalanan dari Surabaya ke Banyuwangi makan waktu tujuh jam lebih, jadi lebih enak tidur di mobil daripada bosan. Sesekali, saya bangun lalu nanya ke Mama, "Udah sampai mana, Ma?"
Mungkin nggak cuma saya yang punya cerita kayak gini.
Mungkin nggak cuma di kasus seperti ini kita berpikir, "Udah sampai mana kita sejauh ini?"
Waktu sudah lebih tua sedikit, saya sering berpikir sendiri, "PR-ku udah sampai mana, ya?" atau tugas atau ulangan atau progres sama gebetan pertama atau udah sampai mana saya ditolak sama gebetan pertama tadi.
Itu waktu masalah terbesar di hidup saya cuma PR, tugas, ulangan, dan ditolak gebetan.
Sekarang, ceritanya beda. Hanya saja, yang masih sama adalah bagaimana saya tetap bertanya, "Udah sejauh mana saya sekarang?"
Menjelang ujian masuk NUS dan NTU setahun silam, saya terus berpikir sejauh mana materi yang sudah saya kuasai. Sesekali, saya berhenti belajar dan merefleksikan materi apa yang terbilang susah. Setelah kembali ke rutinitas, saya kembali menggenjot materi yang belum saya kuasai betul-betul tersebut. Akhirnya, hasilnya pun lebih efektif.
Saat mendekati penutupan SNMPTN, saya kembali berpikir apakah pilihan PTN beserta jurusan saya sudah tepat. Kemudian, saya sedikit merombak pilihan yang awalnya ITB jadi ITS. Kembali lagi, itu karena saya bertanya, "Udah sejauh mana kemampuan saya dan faktor sekolah saya berpengaruh?" Dan saya menemukan bahwa sekolah saya nggak punya riwayat meluluskan siswanya ke ITB, seenggaknya dalam sepuluh tahun ke belakang. Maka saya pun mengubur impian memilih kampus gajah duduk tersebut dan memilih kampus yang lebih realistis untuk dijangkau.
Setelah satu semester kuliah pun, saya tetap bertanya demikian dan menemukan jawaban:
"Belum, masih jauh."
Ya, meski IP semester 1 sangat memuaskan, saya belum merasa memberikan kontribusi yang maksimal untuk kampus, termasuk jurusan. Dalam pengaderan, angkatan saya masih terlihat banyak cela, dan saya termasuk bertanggung jawab di dalamnya. Kami semua bertanggung jawab. Dan masih banyak lagi hal yang saya temukan sembari berhenti sejenak dari rutinitas dan mempertanyakan, "Udah sampe mana?"
Sama persis seperti saat saya masih kecil yang berhenti sejenak dari tidur lalu bertanya demikian.
Dan saya yakin saya bakal bertanya seperti itu untuk waktu yang lama, karena hidup terasa masih panjang.
Kalau kamu? How far have you gone?
Mungkin nggak cuma saya yang punya cerita kayak gini.
Mungkin nggak cuma di kasus seperti ini kita berpikir, "Udah sampai mana kita sejauh ini?"
Waktu sudah lebih tua sedikit, saya sering berpikir sendiri, "PR-ku udah sampai mana, ya?" atau tugas atau ulangan atau progres sama gebetan pertama atau udah sampai mana saya ditolak sama gebetan pertama tadi.
Itu waktu masalah terbesar di hidup saya cuma PR, tugas, ulangan, dan ditolak gebetan.
Sekarang, ceritanya beda. Hanya saja, yang masih sama adalah bagaimana saya tetap bertanya, "Udah sejauh mana saya sekarang?"
Menjelang ujian masuk NUS dan NTU setahun silam, saya terus berpikir sejauh mana materi yang sudah saya kuasai. Sesekali, saya berhenti belajar dan merefleksikan materi apa yang terbilang susah. Setelah kembali ke rutinitas, saya kembali menggenjot materi yang belum saya kuasai betul-betul tersebut. Akhirnya, hasilnya pun lebih efektif.
Saat mendekati penutupan SNMPTN, saya kembali berpikir apakah pilihan PTN beserta jurusan saya sudah tepat. Kemudian, saya sedikit merombak pilihan yang awalnya ITB jadi ITS. Kembali lagi, itu karena saya bertanya, "Udah sejauh mana kemampuan saya dan faktor sekolah saya berpengaruh?" Dan saya menemukan bahwa sekolah saya nggak punya riwayat meluluskan siswanya ke ITB, seenggaknya dalam sepuluh tahun ke belakang. Maka saya pun mengubur impian memilih kampus gajah duduk tersebut dan memilih kampus yang lebih realistis untuk dijangkau.
Setelah satu semester kuliah pun, saya tetap bertanya demikian dan menemukan jawaban:
"Belum, masih jauh."
Ya, meski IP semester 1 sangat memuaskan, saya belum merasa memberikan kontribusi yang maksimal untuk kampus, termasuk jurusan. Dalam pengaderan, angkatan saya masih terlihat banyak cela, dan saya termasuk bertanggung jawab di dalamnya. Kami semua bertanggung jawab. Dan masih banyak lagi hal yang saya temukan sembari berhenti sejenak dari rutinitas dan mempertanyakan, "Udah sampe mana?"
Sama persis seperti saat saya masih kecil yang berhenti sejenak dari tidur lalu bertanya demikian.
Dan saya yakin saya bakal bertanya seperti itu untuk waktu yang lama, karena hidup terasa masih panjang.
Kalau kamu? How far have you gone?