Showing posts with label Artikel. Show all posts
Showing posts with label Artikel. Show all posts

Sunday, December 31, 2017

Flashback (Part 1)

0

Empat setengah tahun.

Sudah empat setengah tahun sejak saya masuk SMA. Masih young dumb and broke. Masih nggak ada arah dan tujuan. Jangankan lima tahun ke depan, rencana buat besok pun saya nggak punya. Sekarang masih young dumb and broke, sih. Tapi nggak parah banget.

(biarin young dumb and broke, yang penting pernah foto berdua sama bule.)

Hampir tiga tahun.

Sudah hampir tiga tahun sejak saya kenal komunitas di luar zona nyaman saya untuk pertama kalinya. Shout out to Kampus Fiksi angkatan 12. Tempat saya pertama kali menyadari bahwa setua apa pun kamu, nggak ada yang bisa melarang untuk terus terbang. Semuda apa pun kamu, nggak ada yang bisa melarang untuk mulai meniti batu-batu kecil itu, mulai berlari-lari kecil, dan mulai sadar kalau kamu bisa tersandung kapan saja. Jatuh dari ketinggian itu sakit, tapi mungkin saja lupa untuk menikmati hidup dengan berbicara melalui banyak media (termasuk dengan menulis) akan jauh lebih sakit. Itu yang saya resapi. Meski sudah jarang muncul di grup WhatsApp mereka, saya tetap berusaha mengingat mereka semua. Mengingat apa yang sudah kami lalui selama berproses. Kalian memang terbaik.

(hayo tebak saya yang mana)

Dua setengah tahun.

Bukan Dua Lipa, tapi dua setengah tahun. Waktu itu, baru sadar tau-tau udah kelas 12. Udah bukan waktunya main-main. Secara nggak langsung, lingkungan sekitar saya kayak berusaha nyinyir ke saya, "Hayoooo, kuliah mana nih jadinya? Atau nggak kuliah aja? Jadi penulis. Atau jadi rapper yang bisa go international ke Amerika, mumpung mukanya mirip."

Pusing. Peer pressure, teacher pressure, parent pressure, hydrostatic pressure, atmospheric pressure, semuanya ada. It was as if I could not decide future on my own. Meski dua tahun sudah berlalu sejak masuk SMA, saya masih saja meniti langkah-langkah kecil di batu-batu kecil itu. Belum siap untuk melintasi jurang dengan langkah-langkah yang besar. Lalu gimana? Should I give up, stand still, and eventually be consumed by the endless vortexes of life? Atau saya harus memaksa langkah saya biar besar?

Salah satu (salah dua) langkah besar yang saya coba ambil selama SMA adalah: mendaftar di universitas ternama di Singapura yaitu NTU dan NUS. Baca di sini dan sini biar bisa tahu pengalamannya.

Pada akhirnya, saya lolos. Terbukti saya bisa mengambil langkah besar itu. Saya dengan latar belakang yang medioker, bukan dari sekolah favorit, bukan siswa yang berprestasi, bisa berjalan sejauh itu. Tinggal satu senti lagi untuk sampai ke ujung jurang itu.

(bahkan sekarang masih saya tempel di pintu kamar)

Akan tetapi, shit happens sometimes. Saya nggak jadi berangkat ke sana karena ini dan itu. Rasanya seperti kamu bangun di suatu pagi, dan kakimu menyerah begitu saja tanpa alasan, dan kamu nggak bisa lanjut meski tujuanmu itu tinggal satu senti saja.

Untungnya, salah dua yang saya sebutkan, saya ganti jadi salah tiga. Ganti rencana jika dibutuhkan, paksa kakimu yang tersangkut itu, meski mungkin rasanya sakit seperti mau lepas. Apa satu lagi itu?Ya, mendaftar ke ITS, salah satu perguruan tinggi favorit di Surabaya, bahkan Indonesia.

Kalau kamu pernah jatuh, pasti kamu berpikir apa kamu bakal jatuh lagi. Itu yang saya rasakan. Apa saya bisa lolos ke ITS dengan segala keterbatasan latar belakang embel-embel sekolah favorit dan perbedaan yang bakal saya rasakan jika saya diterima di sana? 

Nyatanya, saya bisa, meski seperti lolos dari lubang jarum.

Terima kasih, masa remaja. Terima kasih, hidup. Hal omong kosong, tapi penting, apa lagi yang bakal kamu berikan besok?

Tunggu bagian ucapan terima kasih saya selanjutnya.

Thursday, August 3, 2017

Kuliah Itu Lebih Bebas?

2

Banyak adik kelas saya yang pengen cepat-cepat kuliah. Katanya, mereka capek harus duduk terus di kelas dari jam 7 pagi sampai 3 sore. Nggak terus-terusan juga sih, soalnya kepotong jam istirahat. Tapi, tetep saja duduknya lama. Lalu, mereka juga capek lantaran harus pakai seragam terus setiap ke sekolah. Belum lagi ketentuan-ketentuan lain seperti rambut nggak boleh melebihi kerah, alis, dan telinga buat yang cowok, dilarang pakai sepatu berwarna, sampai dilarang mengecat rambut. Pokoknya, kata mereka, kuliah itu bebas sebebas-bebasnya!

Untuk masalah akademik, jamnya lebih fleksibel. Bisa milih gitu katanya. Jamnya nggak full kayak waktu sekolah. Untuk masalah kelas, enak banget bisa pindah-pindah. Banyak sekolah di Indonesia yang belum pakai sistem moving class, jadi mungkin banyak yang baru merasakan hal demikian setelah lulus SMA. Kalau waktu sekolah, biasanya absen dua kali aja udah ribet perkaranya ke wali kelas sama guru BK.

Duh, pengen cepet kuliah! Katanya sih gitu.

Katanya lebih bebas waktu sudah kuliah.

Kenyataannya?

Jawabannya, ya. Tapi nggak sepenuhnya bener.

Kenapa?

Kita bahas pelan-pelan di bawah, ya.

Pertama-tama, jam kuliah itu memang nggak full kayak pas sekolah. Ada jedanya, dan jedanya bisa lama banget, sampai 3-4 jam. Tapi, itu nggak bener-bener hasil pilihan kita. Jadi nggak sepenuhnya bebas untuk masalah jam kuliah.

Kok bisa?

Begini, di beberapa kampus ada peraturan yang mewajibkan mahasiswa barunya (tahun pertama) untuk mengambil sistem kuliah paket. Ya, sudah kelihatan kalau jadwalnya nggak bisa diubah-ubah lagi. Kalau di jadwalnya nulis kamu harus masuk kelas jam 7 pagi, ya itu jadwalmu suka nggak suka. Pengalaman saya sendiri sih, nggak suka bangun pagi tapi hampir semua kelasnya mulai jam 7 pagi.

Terus, waktu kita udah punya kebebasan ngambil mata kuliah, ada perang saudara yang "berdarah-darah" antara kamu sama teman-teman seangkatan, bahkan angkatan lain. Bener sekali, rebutan kelas. Jadi, biasanya di kebanyakan kampus akan menentukan hari untuk mengisi formulir/kartu rencana studi lewat akun masing-masing. Nah, di hari tersebut para mahasiswa sudah siap-siap sama laptop plus koneksi internet yang super kenceng, katanya sih biar nggak lemot waktu loading list kelasnya. Begitu jumlah pemilih suatu kelas sudah sampai batas maksimum, kelas tersebut dinyatakan sudah penuh. Mau nggak mau, mereka yang nggak kebagian harus ambil jam yang berbeda dengan dosen yang berbeda. Nah, biasanya kelas-kelas sisa ini ada dua kemungkinan: dosennya nggak disukai mahasiswa dan/atau jam mulai kuliahnya ngganggu waktu istirahat banget (pagi atau sore banget).

Kelihatan kan kalau sebenarnya milih jam kuliah nggak bebas-bebas banget? Lebih ribet dari zaman anak sekolahan malah.

Yang kedua, untuk aturan berpakaian, memang nggak ada ketentuan seragam kecuali untuk jurusan-jurusan tertentu. Bahkan, ada dosen yang memperbolehkan mahasiswanya pakai kaos oblong sama celana jins doang. Contohnya kelas-kelas di jurusan Desain ITS. Tapi, kebebasan di sini yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Nggak mungkin kan ke kampus pakai sandal jepit sama celana pendek? Amannya minimal kaos berkerah sama celana panjang yang nggak terlalu ketat sama sepatu tertutup. Robek-robek? It's a big no no. Dosen sudah tahu kalau mahasiswanya udah dewasa. Udah bisa menakar sendiri berpakaian yang sopan itu seperti apa, makanya biasanya nggak ada aturan yang ketat masalah berpakaian di kampus.

Yang ketiga, masalah nggak masuk kelas dan nggak ngerjain tugas. Memang, dosen nggak terlalu masalahin kamu masuk kelas apa nggak. Tapi, ada tapinya. Ada batas minimal kehadiran supaya bisa ikut ujian. Biasanya 75-80% kehadiran. Nah, berarti nggak bisa dong bolos terus, waktu ujian aja baru muncul. Dosen juga termasuk cuek apa mahasiswanya udah ikut ujian atau ngumpulin tugas. Terserah kamu. Balik lagi ke atas, kan kamu udah dianggap dewasa. Udah tau apa konsekuensi dari perbuatan sendiri, nggak perlu diomelin lagi kayak waktu sekolah.

Setelah baca-baca di atas, masih nganggep kuliah itu lebih enak karena lebih bebas? Belum tentu, kadang tanggung jawab untuk mandiri selayaknya mahasiswa yang udah dewasa itu malah menakutkan.

Tapi itulah yang membuat kita belajar dan berkembang.

Wednesday, February 8, 2017

Natural Numbers (e) for Dummies

2

In this piece of writing, I assume you already have sufficient knowledge of what natural number is. I am also sure many of you are familiar with the constant in middle, or even high school. The value of e itself was discovered by Leonhard Euler and is defined by an approximation as follows:

e = 2.718281828.....

I have no idea why it is named e, instead of any other letters, but I do know that e is not derived from the initials of Euler's name. This constant is very well known in the world of mathematics and plays an important role in calculus and other fields of mathematics.

Where does e come from, again?

In 1683, someone named Jacob Bernoulli studied compound interest in banks. The initial problem was this: I had $1, then deposited it in a bank that (somehow, seems a bit unrealistic) paid 100% interest once annually. With that, by the end of the year, the account should have $2.

Then, what if the interest was 50%, but was given every 6 months or twice a year? Would the amount of money in the end be different?

With a simple calculation, on the first interest payment, the amount of money becomes:

$1 x 50% + $1 = $1.5

In the second payment, the amount of money is:

$1.5 x 50% + $1.5 = $2.25

or

$1 x 1.5 x 1.5 = $2.25

Now, if the bank were to pay interest four times a year, 25% each for every 3 months, the result would be:

$1 x 1.25 x 1.25 x 1.25 x 1.25 = $2.4414...

If the interest was paid daily, then:
The calculations above converges to a specific value as we increase the amount of payment per year indefinitely, or mathematically speaking, as x goes towards infinity:
This is how e was found.

Unique Properties of e

In everyday life, the natural number e is often synonymous with the exponential growth rate. For example, population growth, radioactive decay, and economic income growth. The question is, why e?

In mathematics, the exponential function with the number e has the following graph:


Consider the green graph. It can be observed that as x or the independent variable gets bigger, the value of y will increase faster. This is quite in line with population growth, where the population continues to increase rapidly, instead of in a linear trend. So, the exponential graph can be the right approach to find the rate of population growth.

This still does not solve the bigger question, if we wanted to use a constant number as a base, why has it to be e, instead of some other arbitrary numbers like 2 or 3?

We will see how the constant e greatly simplifies calculus. The derivative of the e to the x is the function itself:

{\frac {d}{dx}}e^{x}=e^{x}

And the integral of the function is the function itself, plus the constant C.

\int e^{x}\,dx=e^{x}+C.

Another thing that makes an exponential function with the number e is that the value of the gradient and the value of y at a point, as well as the area from a point to negative infinity, are always the same for all real x values! Please prove it yourself.

When we use other numbers, other constants will appear which complicate further calculations. For example:
This has shown that e is a special number, just like 0, 1, phi (3.1415...), and i (an imaginary number defined as the root of minus 1). When we see math as something that means a lot beyond just numbers, math becomes a lot more fun. As a bonus, there's one simple formula from Euler (Eulerian identity) that combines the constants elegantly in my opinion:




Sunday, January 1, 2017

Goodbye, 2016!

0

Kebetulan banget post pertama saya di tahun ini persis waktu tahun baru 2017. Anyway, selamat tahun baru 2017 buat yang merayakan. Semoga tahun ini bisa lebih baik dari tahun sebelumnya. Jangan lupa, umur kita nambah satu tahun di tahun ini.

Bicara tahun baru, bagi saya dan teman-teman yang lain, tentu nggak lepas dari refleksi tahun sebelumnya. Kita merenungkan apa yang udah terjadi setahun ke belakang. Hal-hal yang bagus maupun yang kurang mengenakkan terjadi di tahun sebelumnya. Sialnya, cukup banyak hal yang kurang bagus di tahun 2016. Mulai dari munculnya Awkarin yang butthurt sampai lapor polisi (pengikutnya juga ikut muncul, dari Awatit sampai Aw ah Gelap), krisis di Syria, Brexit yang sempat bikin nilai mata uang Inggris anjlok nggak keruan, kasus Ahok, aksi damai yang jadinya malah ngejarah minimarket, sampai Trump jadi presiden Amerika Serikat. 

Seriously, Americans? You did chose Trump as your president?

Beberapa orang penting meninggal di tahun 2016. Satu yang saya ingat: Alan Rickman. 

(sumber: http://www.dnaindia.com/entertainment/report-top-10-memorable-quotes-by-alan-rickman-2165880)

Heran aja sih, kenapa beliau bisa kuat tinggal di Hogwarts berpuluh-puluh tahun tapi sialnya beliau nggak kuat menjalani 2016 sampai selesai?

Tren-tren nggak masuk akal juga muncul di 2016. Kita pasti nggak asing dengan ini:

Mannequin challenge.

Serius deh, apa esensi dari jadi patung selama kurang lebih beberapa puluh detik? Kalau saya disuruh begitu, saya jelas nggak mau. Capek. Terus ada juga bottle flip challenge yang agak ngeselin, soalnya bikin minuman jadi nggak enak diminum lagi. We also may not want to omit that "Kalian semua suci aku penuh dosa" quote.

Oh, satu lagi dari bintang cilik kita. Autotune detected:



Aduh, lupa satu lagi (serius, ini terakhir): om telolet om.


Di balik semua itu, saya tetap bersyukur karena saya masih bisa menyelesaikan resolusi di tahun 2016, walaupun nggak semua. Saya berhasil diterima masuk NUS (baca di sini), lolos masuk ITS, salah satu kampus terbaik di Indonesia (baca di sini), dan dapat nilai UN memuaskan. Keluarga saya juga sehat-sehat aja, dan itu udah sangat cukup buat saya. Hal-hal baik itu lumayan mengompensasi hal yang buruk tadi.

Di tahun yang baru ini, saya juga ingin membuat resolusi baru dan menyelesaikannya, ya, meski resolusinya saya rasa nggak perlu disebar ke orang banyak. Di tahun yang baru ini, saya berharap semua orang bisa bertumbuh ke arah yang lebih baik. Harapannya, tahun sebelumnya bisa jadi pembelajaran dan evaluasi untuk ke depannya. Bagi saya, tahun baru itu bukan masalah pesta mewah untuk menyongsong tahun baru dengan segala macam makanan dan minuman enak, Bukan juga masalah melempar kembang api tepat pada 1 Januari pukul 00.00. Ini bukan hari pesta sejuta umat; bukan juga hari kembang api sedunia

Ini hari tahun baru.

Bukan sekadar momen Bumi telah selesai melakukan satu kali revolusi, tetapi tahun baru adalah waktu yang tepat bagi kita untuk membuka halaman baru dalam kehidupan: membuat resolusi dan mengambil tindakan untuk menyelesaikannya. Apakah saya akan membuat perubahan? Apakah saya akan berpikir dan bertindak lebih bijak dari tahun sebelumnya?

Go ahead. Think and make a change.

Tuesday, July 26, 2016

Si Payah di Sekolah Pasti Bakal Kaya?

0

Saya yakin kalian pasti udah nggak asing dengan kalimat ini:

"Belajar yang rajin biar nilai kamu bagus, terus bisa kerja."

Kamu mungkin percaya dengan kalimat tadi sampai jargon-jargon ini menyerang:

"Orang pinter jadi budaknya orang goblok."

"Kata Bob Sadino, percuma kepinteran, nanti ujung-ujungnya jadi bawahan."

"Orang yang nilai rapornya bagus pasti nggak bisa praktik waktu kerja."

"Anak IPA nggak bisa ngalahin anak IPS kalau urusan banyak-banyakan uang."

Ya, mungkin Indonesia jadi satu dari sedikit negara yang warga-warganya berpikir demikian. Katanya, lebih baik jadi goblok, asal pintar dagang sama pintar ngomong, dijamin kaya. Lebih baik nggak bisa hitung-hitungan, daripada nggak bisa kerja. Lebih baik nggak juara satu, daripada nggak juara jumlah duitnya di antara temen-temen. Intinya, si payah di sekolah pasti bakal kaya. Mungkin ada benernya, tapi kalimat-kalimat di atas serasa pedang bermata dua. Kenapa?


Sisi positif

Kemarin saya membaca How to Win Arguments karya Madsen Pirie, dan saya menemukan poin bahwa dalam berargumen, kita sebaiknya mempertimbangkan dua sisinya: baik dan buruk. Saya tidak ingin jatuh dalam one-sided assessment fallacy, jadi saya coba singgung bagian positif dari kalimat di atas terlebih dahulu.

Yang pertama, nilai sekolah memang nggak selalu menentukan kesuksesan. Contoh yang paling gampang saja, Bill Gates bahkan nggak menyelesaikan studi di Harvard, namun bisa kaya seperti sekarang. Contoh yang lain, saya pernah dengar dari teman saya bahwa ada orang yang suka bolos ke warnet semasa SMA, namun sekarang punya usaha yang sukses. Di sisi yang lain, orang pintar yang biasanya ngasih sontekan ke orang payah di sekolah itu, kerjanya jadi sales. Jelas jadi bawahan orang payah tadi.

Selanjutnya, nggak semua orang memang punya passion di bidang sains atau cabang akademik lainnya. Gampangnya, apa yang saya suka belum tentu kamu suka juga. Saya pernah kenal teman yang sangat jago IT, padahal nilainya biasa-biasa saja. Ada juga teman saya yang pintar main musik, khususnya drum, padahal nilainya biasa saja. Jadi, kalimat tadi bisa buat sedikit menyemangati mereka yang memang nggak terlalu bagus di bidang akademik.

Sisi negatif

Sayangnya, dari kalimat tadi, menurut saya lebih dominan sisi negatif daripada sisi positifnya.

Alasan utamanya adalah, kalimat ini merendahkan orang yang memang berbakat di bidang akademik. Katakanlah siswa yang bernama Budi memang pintar matematika sejak kecil, namun karena membaca atau mendengar pernyataan itu, dia rendah diri. Akhirnya, Budi mengubur dalam-dalam keinginannya untuk belajar dan nilainya pun terjun bebas. Budi pun nggak jadi seseorang yang berguna karena bakatnya nggak dipakai.

Ya, memang jumlah orang yang berbakat di bidang akademik lebih sedikit daripada yang tidak. Tetapi, itu bukan alasan untuk mendiskriminasikan mereka. Yang mayoritas belum tentu paling benar. Menurut saya, keduanya benar. Nggak ada yang salah.

Lagi pula, di Indonesia, memang ada bidang-bidang yang mendapat sedikit apresiasi dalam bentuk pendapatan maupun hak cipta, semisal sains dan teknologi. Meski begitu, itu bukan alasan untuk merendahkan mereka yang memang cemerlang di sekolah. Apa yang menurutmu sukses, belum tentu menurut mereka sukses. Misalnya, kalian mendefinisikan sukses itu bagaimana kalian punya banyak uang. Menurut mereka, bisa saja definisinya bukan seperti itu.

Yang nggak kalah penting, statement tadi bisa jadi excuse untuk mereka-mereka yang malas. Pertama-tama, mereka memilih masuk IPS karena merasa lebih santai, dikit PR, dan hitung-hitungannya nggak ribet. Ya, sebenarnya IPA dan IPS sama saja, namun IPS jadi rusak di mata khalayak umum karena orang-orang macam mereka. 

Kemudian, mentang-mentang beban di kelas cuma dikit, mereka sering bolos sekolah untuk pergi merokok atau main warnet. Waktu senggang mereka habiskan dengan hal yang sama. Ketika ditanyain, mereka cuma jawab, "Halah, sekolah nggak menentukan kesuksesan. Gue pasti sukses meski tanpa sekolah."

Plis, meski kalian nggak berbakat akademik, seenggaknya usaha buat dapat nilai yang cukup. Seenggaknya coba ngembangin bakat kalian. Seenggaknya coba kurang-kurangin asumsi yang sangat menyalahi logika itu.

Kesimpulannya, si payah di sekolah belum tentu kaya, dan si pintar di sekolah belum tentu biasa-biasa saja. Faktanya, Albert Einstein sebenarnya pintar di sekolah, dan dia terkenal sampai sekarang. Ya, pernyataan kalau Einstein bodoh waktu masih sekolah itu mitos, karena ada inversi skala nilai waktu itu. Kalian bisa baca di https://www.quora.com/Is-it-true-that-Albert-Einstein-failed-in-mathematics-many-times-during-his-school-days.

Semuanya kembali ke usaha kita, nggak peduli kita masuk ke "tim payah" atau "tim pintar". 

Wednesday, July 20, 2016

Is Moving Mass Really a Thing?

0


At some point, in modern physics, we (will) study Einstein's relativity and come across with the stationary mass and moving mass terms. When I learned about it, it kind of made sense. But, over time I thought that this was strange. If you want to know why, take a look at the image below.


According to Einstein's theory of relativity, many things are not absolute, such as speed, object length, time, and so on. In fact, it all depends on which frame of reference we look at, there is nothing wrong with that. For the picture above, it can indeed be explained by a long contraction (length contraction). However, the question is, does the mass of the person actually change as he moves about a certain frame of reference?

To answer that, I've thought and done some research so that I can draw a conclusion: relativistic mass theory is probably obsolete! In essence, moving mass actually does not exist in my opinion.

What is mass?

According to Wikipedia, mass means property or ownership of an object. According to classical physics, the greater the mass of an object, the harder it is to make it accelerate when a force is applied to it. According to modern physics, mass is actually the same as energy, only in a different form. This is also known as mass-energy equivalence.

Modern physics has succeeded in explaining how an object can have a certain mass. Objects, apart from being composed of atomic nuclei (protons and neutrons) and electrons, are also composed of particles that cannot be seen by the naked eye. One type is the gluon sub-particle which bridges between the particles in the atomic nucleus to exert a strong force of attraction. The stronger the field flux produced by the gluon, the stronger the force. Well, the attractive force is the origin of the energy we know as bond energy. However, the actual mass of an object comes from that energy. So, that's the origin of the mass of objects.

Does velocity change mass?

(source: Studying Physics Made Practical by Aip Saripudin et al., in Indonesian)

According to this formula, the mass of an object depends on its velocity. Since the denominator is always less than 1, the moving mass will always be greater than the rest mass. The same statement is also found in the Physics textbook by Marthen Kanginan.

So, when we think a little, if we drop an object as small as sand at a speed close to light, say 290,000,000 m/s, the formula will be:

But:
The denominator approaches 0 as the speed approaches the speed of light. So, even moving mass must approach infinity! Very strange result, how can an object have such a large mass just because its velocity is large? That's what started my line of thought about this.

Secondly, if the mass of the object becomes very large because of the velocity, how does the velocity affect the sub-particles in the object so that the bond energy becomes very large? Through friction? However, in outer space there is no air resistance, right? Scientists at that time still could not explain this phenomenon. The concept of relativity becomes even more complicated with the moving mass term.

What goes beyond this

Now, scientists define mass as an inherent property of an object, another term is mass invariant. That is, the mass does not depend on the frame of reference of the observer of an object. If an observer at rest sees an object with a mass of three kilograms, an observer in motion will see an object with a mass of three kilograms as well.

In my opinion, what increases with the relativistic velocity is the kinetic energy. The greater the speed, the greater the kinetic energy. So, it is the increase in energy that makes an object seem heavier and denser, because of the mass-energy equivalence described above. Mass and energy are similar, so we think that mass is changing, when actually it is not.

Thursday, July 14, 2016

Medan Gravitasi atau Gaya Gravitasi?

0

Banyak yang tahu apa itu gravitasi. Mungkin sebagian orang menjawab, "Gravitasi itu yang membuat benda-benda jatuh." Beberapa yang lain mungkin mendefinisikannya sebagai tarik-menarik antara benda-benda yang ada di sekitar kita. Sejauh yang masyarakat awam pahami, itu penjelasan tentang apa itu gravitasi.

Masalahnya, definisi di atas terlalu umum. Saya sejak dulu penasaran, sebenarnya gravitasi itu medan atau gaya?

Waktu masih kecil, saya sering mempertanyakan banyak hal. Misalnya, saya pernah membaca suatu buku dan langsung paham bahwa gravitasi adalah gaya tarik menarik antara dua benda. Saat SMA, saya juga belajar bahwa gravitasi juga merupakan sebuah medan. Setelah itu, definisi gravitasi sendiri seperti menjadi lebih kompleks setelah teori Einstein keluar. Jadi, saya mencoba untuk melakukan sedikit riset.

Apa itu gravitasi menurut para ahli fisika klasik?

Menurut Aristotle, gravitasi adalah suatu hal yang menimbulkan kecenderungan benda-benda untuk jatuh ke pusat alam semesta

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: tidak dijelaskan.


Karena pusat alam semesta berimpit dengan pusat Bumi, maka benda-benda otomatis jatuh menuju pusat Bumi. Hal yang menjadi masalah adalah mengapa planet-planet dan Matahari nggak jatuh ke pusat Bumi juga? Karena pertanyaan ini, teori gravitasi Aristotle terabaikan.

Yang kedua, fisikawan asal Inggris, Isaac Newton, mempublikasikan teorinya dalam buku Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica seperti ini:

Semua partikel di alam semesta saling menarik partikel yang lain dengan besar gaya yang sebanding dengan hasil kali kedua massa partikel dan berbanding terbalik dengan jarak kuadrat kedua partikel tersebut. Arah dari gaya gravitasi searah dengan garis lurus yang menghubungkan kedua partikel.

Selain itu, Newton juga lebih menekankan percepatan gravitasi sebagai percepatan benda untuk menuju ke pusat Bumi, bukan sebagai kuat medan gravitasi itu sendiri. Hal ini disebabkan karena teori Newton ini dianalogikan sebagai teori tug-of-war, yaitu tarik-menarik.

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: gaya.




Analisis teori Einstein

Revolusi besar dalam pemahaman kita mengenai gravitasi terjadi pada 1907 ketika fisikawan asal Jerman, Albert Einstein, merilis teori tentang relativitas umum. 

Pertama-tama, Einstein menegaskan bahwa gravitasi sebenarnya adalah kelengkungan empat dimensi ruang-waktu karena adanya benda bermassa. Semakin besar massa suatu benda, semakin dalam lengkungannya. Ini gambarnya kalau kalian nggak paham dengan penjelasan verbal. 

(sumber: www.waykiwayki.com)

Setelah itu, Einstein mengatakan bahwa gravitasi jelas bukan gaya tarik-menarik seperti yang dikemukakan oleh Newton.

Para ilmuwan pun mengetes teori Einstein, dan memang teori ini bisa menjelaskan perubahan orbit Merkurius mengelilingi Matahari, perubahan arah cahaya saat mendekati Matahari di kondisi gerhana Matahari, serta penemuan exoplanet ketika dipadukan dengan teori efek Doppler.

Singkatnya, teori Einstein lebih luas dalam menjelaskan gravitasi. Bahkan, dalam suratnya, Einstein mengungkapkan permintaan maaf pada Newton. Jadi, kita akan menggunakan penjelasan teori ini untuk selanjutnya.

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: medan.

Jadi, gravitasi itu gaya atau medan?

Sebelum lanjut, ada baiknya kita bahas sedikit tentang gaya fiksi. 

Menurut Wikipedia, gaya fiksi (disebut juga gaya pseudo, gaya d'Alembert, atau gaya inersia) adalah gaya yang sebenarnya tidak ada menurut pengamat di luar, namun dapat dirasakan oleh pengamat yang berada dalam kerangka acuan yang mengalami percepatan. Misalnya gaya sentrifugal dan gaya Coriolis.

Ilustrasinya seperti ini:

(sumber: cnx.org)

Yang kiri adalah menurut pengamat yang ada di komidi putar (ada gaya fiksi ke luar), sedangkan yang kanan adalah menurut pengamat yang sedang diam di luar komidi putar (cuma ada gaya sentripetal menuju ke pusat lintasan).
Di teori relativitas umum, Einstein juga menjelaskan dengan prinsip ekuivalensi bahwa:

Keadaan suatu benda yang berada dalam medan gravitasi bisa dikatakan ekuivalen dengan suatu benda yang berada dalam kerangka yang mengalami percepatan ke atas.


Karena teori relativitas terlalu susah untuk dijelaskan secara matematis, jadi saya mencoba menjelaskan secara verbal. 

Pada gambar sebelah kiri, bola dijatuhkan di dalam elevator yang diam (a = 0) dan kemudian mengalami percepatan sebesar g. 

Di gambar kanan, elevator bergerak dengan percepatan -(arahnya ke atas) di ruang hampa, dalam arti gravitasi bisa diabaikan. Namun, orang tersebut merasakan, dengan kata lain, mengerjakan gaya reaksi terhadap lantai, hasil dari percepatan elevator ke atas sebesar F = mg. Jadi, menurut kerangka acuan orang tersebut, bola jatuh dengan percepatan g. Ini yang dimaksud dengan prinsip ekuivalensi. 
Menurut pemikiran saya, dengan menghubungkan prinsip ekuivalensi dan gaya fiksi, kita bisa mengatakan bahwa gaya gravitasi F = mg yang sudah kita bahas tadi adalah gaya fiksi. Ingat, elevator juga merupakan kerangka acuan yang dipercepat, jadi perbandingan antara komidi putar dan elevator ini analog. 

Konklusi

The bottom line, gravitasi adalah medan dan gaya. Medan gravitasi itulah yang menyebabkan adanya percepatan sehingga kita bisa merasakan gaya gravitasi yang sebenarnya gaya fiksi.  

Oke, saya udah berpikir dan menulis postingan ini selama empat jam lebih. Kurang lebih begitu penjelasannya. Kapan-kapan, saya akan coba berpikir lagi mengenai gaya gravitasi sebagai salah satu dari empat gaya fundamental di alam semesta ini.

P.S.: beberapa referensi saya untuk crosscheck adalah Wikipedia,
https://www.quora.com/Is-gravity-a-fictitious-force-How-so ,
serta buku berjudul Physics for Scientists and Engineers karya Serway dan Jewett.

Saturday, July 9, 2016

Apa Definisi Sukses Menurut Saya?

0

"Belajar yang bener, biar jadi orang sukses."
"Banyak-banyakan mobil aja; yang paling banyak dia yang lebih sukses."
"Yah, duitnya orang itu pas-pasan. Mungkin dia nggak sukses."

Pernah denger kata-kata seperti ini? Mungkin yang pertama itu kata orangtua, sedangkan sisanya bisa jadi kata teman atau orang yang sudah kaya. Orangtua mendefinisikan sukses sebagai kemampuan kita untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya; teman kita mendefinisikan sukses sebagai kemampuan kita untuk menggali uang sebanyak-banyaknya. Yeah, struktur kalimatnya sama, namun objeknya berbeda.

Definisi sukses itu objektif atau subjektif?

(sumber: www.pinterest.com)


Oke, mungkin tiga contoh di atas terlalu bias. Sekarang, saya mencoba untuk menunjukkan arti sukses secara objektif. Menurut KBBI seperti ini:

kesuksesan/ke·suk·ses·an/ n keberhasilan; keberuntungan: kebanyakan orang senang mempelajari - orang lain untuk ditiru

Keberhasilan di sini masih belum jelas artinya. Coba saya kutip sumber lainnya, misalnya dari Oxford Dictionary:

The accomplishment of an aim or purpose; The attainment of famewealth, or social status.

Seperti yang sudah kalian lihat, sukses berarti keberhasilan mencapai tujuan. Masalahnya, tujuan setiap orang nggak selalu sama. Yang membuatmu merasa sukses belum tentu membuat saya merasa sukses juga. Mungkin bagi sebagian orang, sukses itu berarti bisa beli rumah dan mobil. Bagi sebagian yang lain, sukses bisa juga berarti berhasil bangun pagi setiap harinya. Bagi yang sering sembelit, salah satu makna sukses berarti bisa buang air besar setiap paginya. Hore!

Kesimpulannya, definisi sukses itu sangat subjektif dan personal. Kita pasti punya definisi sukses sendiri-sendiri. Sudahkah kamu menemukan arti kesuksesanmu sendiri?

An example

(Warning: contoh ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan atau mengunggulkan jenis pekerjaan tertentu. Please be open-minded when reading this. Kalau rentan tersinggung, lompati saja bagian ini.)

Katakanlah ada dua orang yang bersahabat, yang satu bernama Budi dan satu lagi bernama Arif. Budi selalu gagal mendapat nilai bagus, sedangkan Arif selalu langganan menjadi juara kelas, bahkan juara umum di sekolah. Namun, Budi selalu dapat nilai jelek karena biasanya dia mengelola toko warisan ayahnya sampai malam sehingga bisa memperoleh omset yang banyak. Sampai sini, mana yang lebih sukses? Renungkan dulu.

Jawabannya, tergantung bagaimana kamu mendefinisikan kesuksesan. Sebagian menjawab Budi, sebagian lagi Arif, dan sisanya mungkin nggak menjawab sama sekali.

Kita lanjut. Beberapa tahun kemudian, Budi memutuskan untuk nggak kuliah karena ingin jadi pengusaha, sedangkan Arif kuliah dan selalu mendapat IP hampir sempurna setiap semesternya. Lalu, Arif pun bekerja biasa-biasa saja dengan gaji UMR, sedangkan Budi sudah memperoleh omset ratusan juta per tahun. 

Mana yang lebih sukses?

Sekali lagi, jawabannya subjektif. Ada yang menjawab, Arif suksesnya waktu sekolah aja, tapi waktu kerja nggak bisa apa-apa. Percuma dong sekolah tinggi-tinggi tapi gitu-gitu aja.

Definisi sukses menurut saya

Beberapa hari yang lalu, saya mengunduh e-book yang cukup intriguing and thought -provoking. Bukunya seperti ini:

(sumber: psychcentral.com)

Di dalamnya, ada kutipan dari seorang filsuf, yaitu Soren Kierkegaard yang seperti ini:

(sumber: www.pinterest.com)
Definisi sukses menurut saya kurang lebih adalah bagaimana kita bisa menjadi diri kita sendiri yang sebagaimana mestinya. Misal, kita mempunyai bakat seni, maka kita menyalurkan bakat kita ke bidang seni, bukan yang lain. Ya, hal itu memang berat, karena terkadang kita dipaksa untuk beralih ke bidang lain yang bergaji lebih tinggi. Saya juga mengalami seperti itu. Namun, bagaimana kita tidak membuang diri kita yang semestinya adalah hal yang membuat kita sukses. Intinya, do what you love.

Yang kedua, definisi sukses menurut saya adalah bagaimana saya menyalurkan bakat dan kemampuan kita agar dapat diterapkan oleh masyarakat. Sekarang, saya masih berpikir bagaimana kemampuan saya bisa berguna bagi masyarakat. 

Yang ketiga, sukses berarti bisa membuktikan pada orangtua bahwa kita bisa berdiri sendiri menghadapi dunia yang keras serta membuat mereka bahagia. Ayolah, orangtua mendidik kita susah payah, masa membuat orangtua bahagia sedikit saja nggak bisa?

What's your definition of success?


Tuesday, July 5, 2016

Mengapa Matematika dan Fisika Susah?

1

Oke, I’m back. Yah, setelah sekian lama nggak ngeblog—dua bulan tepatnya—karena perlu ngumpulin mood menulis lagi. Kebayang lah ya, buat nulis aja perlu mood, apalagi buat nyenengin gebetan. Nggak mungkin asal-asalan, soalnya udah bener-bener niat buat hal demikian. Oke, ini menyimpang dari topik.

Jadi, saya belakangan ini sering berpikir mengapa banyak dari teman-teman yang sering dapat nilai jelek waktu ulangan Matematika atau Fisika walaupun sudah belajar semalaman. Di sisi lain, ada segelintir kelompok yang seperti ini. Anggap aja kita A dan si genius gila itu B.

A: Kemarin nggak masuk, kan? Hari ini ulangan Matematika, Bro! Belum tau ya?
B: Oh ya?! Baca-baca dikit wes biar nggak buntu.

Dan setelah ujian, kita dapat 60 dan si B dapat 100. Paling jelek 90 lah. Hih, I know that feel lah. Rasanya pengen banting meja terus ngutuk diri sendiri.

Contoh berikutnya seperti ini:
A: Haduh, gimana sih ngintegralin ln^2(x)?! (Silakan post jawabannya di komentar kalau kalian nemu, ya.)
B: *lagi tidur di bangku sebelah, jawabannya udah ada*

By the way, kita sudah ngerjain dari setengah jam yang lalu, sementara si B sudah tidur sejak 25 menit yang lalu. Memang, ada dua kemungkinan, (1) si B jawabnya ngawur, jadi meski cepet jawabannya tetep saja salah, (2) si B memang bener. Tapi, di sini coba aja kita asumsikan dia ada di kemungkinan kedua. Rasanya sebel banget pengen makan buku.

Pertanyaannya, kenapa pelajaran eksakta, terutama Matematika dan Fisika, terasa sangat susah? Rasanya rumus-rumus seperti bahasa alien dan angka-angka seperti makhluk "sbfsdufhduieghurhfdjfyua" yang nggak masuk akal. *memang nggak ada sih*


Setelah menganalisis kedua contoh di atas dan berpikir tujuh malam, akhirnya saya menemukan kesimpulan mengapa hal-hal kayak di contoh itu bisa terjadi:

1. Otak kita sebenarnya diciptakan untuk memecahkan masalah-masalah yang konkret, sedangkan eksakta cenderung membahas permasalahan yang abstrak. Abstrak? Iya. Nggak percaya? Coba jelasin konsep limit delta-epsilon sekonkret mungkin dan yang terlihat seperti konsep itu applicable di dunia nyata. Bisa nggak?

Ini dia alasan fundamentalnya: susunan otak kita secara primitif memang seperti itu. Manusia zaman dulu hanya berpikir bagaimana untuk menghasilkan makanan, menghindari binatang buas, mencari tempat tinggal yang aman, dan semacamnya. Yah, meski peradaban sudah berkembang, kita masih menyimpan sebagian kecil dari bagian primitif manusia. Satu-satunya cara agar kita bisa mulai berpikir abstrak ya latihan dan menanamkan mindset yang benar.

2. Matematika dan Fisika memang makin lama makin susah. Dulu, waktu Om Newton masih hidup, rumusnya paling sebatas F= m.a alias gaya sama dengan massa dikali percepatan. Namun, ketika ilmuwan-ilmuwan lain nggak terima keadaannya begitu-begitu aja, akhirnya mereka membuat rumus-rumus yang makin lama makin njlimet. 

Itu persamaan Schrodinger yang terkenal untuk menghitung peluang adanya partikel dalam sistem kuantum. Gimana menurut kalian?

Masalahnya, bukannya mustahil kan kita menguasai konsep seperti ini?

3. Cara belajarnya salah. Biasanya, gimana sih cara kalian belajar Matematika? Katakan saja bab turunan. Mungkin kebanyakan dari kalian jawabnya, "Lihat caranya, terus contoh soal, terus cara kerjainnya." Ada juga yang jawab, "Hafalin aja rumusnya. Misal rumus lingkaran itu kan x^2+y^2=r^2."

Bisa-bisa aja sih sebenernya belajar seperti itu. Tapi, waktu soalnya diutak-atik sesukanya yang buat soal, kalian bisa apa? Matematika dan Fisika akan jadi terasa jauh lebih susah dari yang seharusnya!

Memang sih, sistem pendidikan kita mengedepankan hafalan, bukan pemahaman secara konseptual. Tapi, nggak ada salahnya kan kita mulai belajar konsepnya dulu? Misal, tau nggak kalau persamaan lingkaran itu sebenarnya dari segitiga di dalam lingkaran lalu kita cari komponen vektor dari jari-jari lingkaran supaya nemu rumus itu dalam bentuk persamaan Cartesius?

4. Memang nggak suka belajar Matematika dan Fisika. Ini nih yang paling helpless. Sekuat apa pun kapasitas otaknya, kalau sudah nggak niat, ilmunya buat masuk pun susah. Sebaliknya, kalau kita niat belajar (bukan cuma supaya dapat nilai bagus, tapi untuk ngerti ilmunya), ilmunya pun rasanya gampang banget masuk ke otak. 

Kalau dirangkum, kita bisa buat kesimpulan seperti ini:
(sumber: geniusquotes.org)

Jadi, Matematika dan Fisika terasa susah karena kita terkadang hanya belajar keras, tapi nggak belajar dengan cerdas. Akhirnya, keempat faktor di atas jadi batu sandungan yang sangat besar, padahal sebenarnya nggak besar-besar amat.

Begitu.

Friday, April 22, 2016

Lelucon yang Dibenci Para Jomblo

0

Hanya di Indonesia, kita bisa menjumpai adanya jurang yang besar antara orang-orang yang sudah punya pacar dan yang belum punya pacar. Hanya di Indonesia, kita bisa mendengar adanya cemoohan bagi para jomblo (jomlo di KBBI, namun kita pakai istilah populer saja). Hanya di Indonesia, kita bisa merasakan kegalauan dan kekosongan hati para jomblo yang diekspresikan di media sosial ataupun curhatannya.

Saya punya banyak teman yang jomblo, dan mereka sering diejek juga. Mentang-mentang sudah punya pacar, terus ngejek yang nggak punya. Mentang-mentang punya rumah, ngejek mereka yang nggak punya. Itu mah sombong namanya. Habis itu, yang jomblo pasti bilang, "Halah, jodoh nggak akan ke mana-mana! Lihat aja!"

Wajar sih ekspresi para jomblo jadi sepet, lah kadang-kadang bercandaan para orang yang "pernah jomblo" itu nggak masuk akal. Ya, jadi langsung saja saya sebutkan beberapa lelucon yang dibenci para jomblo:


  • "Truk aja punya gandengan, masa kamu nggak?"
Dengan logika kayak gitu, kamu (baca: yang pernah jomblo tapi sekarang nggak) membandingkan dirimu dan pasanganmu sendiri dengan truk, dong! Memangnya ada ya manusia yang mau disandingkan dengan benda mati?

  • "Jomblo mah seringnya doa supaya hujan di malam minggu."
Wah, ini generalisasi yang ngawur. Ya mungkin ada yang seperti itu, tapi para jomblo nggak selalu gitu, kok. Kebanyakan dari kumpulan jomblo malah doa minta pasangan yang pantas. Atau mungkin jomblo berusaha meningkatkan kualitas diri, seperti kerja paruh waktu atau belajar.

  • "Jomblo tuh kasian waktu malam minggu."
Siapa bilang? Jomblos do have friends, dude. Sori, jomblo nggak se-ngenes itu, masa udah nggak punya pacar, nggak punya teman juga. Jadi, selain meningkatkan kualitas diri, jomblo juga bisa memperluas pergaulan, ya dengan jalan-jalan sama teman ini. Daripada situ, jalannya sama pacar saja. *mampus kena skak*

  • "Nggak apa-apa belum punya pacar, Mblo, masih ada sabun kok."
Maksud L?

Jadi, secara nggak langsung, kamu para taken berkata bahwa cara "menyenangkan kebutuhan biologis" bagi yang sudah punya pacar adalah "ena-ena dengan pacar". Lah, ngapain yang udah punya pacar pakai sabun, kan lebih enak pakai pacar sendiri. Gitu kan logikanya?

Kesalahan pertama, kamu sih kebanyakan yang bilang gitu masih bocah SMP atau SMA, tapi sudah pengin enak-enak sama pacar? Sini saya tendang kamu sampai pusing tujuh galaksi. Kalau hamil, terus terpaksa nikah muda, rasain tuh nasib.

Kesalahan kedua, there's nothing wrong with sabun-ing. Hampir semua orang di dunia ini pernah... ya begitu.

  •  "Jomblo ngenes."
Ini yang paling populer dan sekaligus paling dibenci para jomblo. Dengan berkata demikian, berarti kalian berkata bahwa setiap orang perlu orang lain untuk jadi nggak ngenes. Otherwise, kamu akan ngenes seumur hidup.

Kenyataannya nggak seperti itu!

Jomblo justru yang lebih mandiri karena tetap bisa meningkatkan kualitas diri dan memperluas pergaulan meskipun nggak ada pacar di sisinya.

No woman/man, no problem!

Monday, April 18, 2016

Indahnya Masa SMA

0

Setelah belakangan ini berkutat dengan artikel yang berat-berat macam kelebihan dan kekurangan Ujian Nasional, lebih baik sekarang kita bahas yang lebih nyantai.

Jadi, mulai dari mana ya....

Oh, gini aja.

Saya baru saja menyelesaikan Ujian Nasional, seperti yang kalian ketahui. Sejak masa SD sampai SMA, UN selalu menandakan masa berakhirnya jenjang pendidikan tertentu. Setuju? Jadi, otomatis sebentar lagi saya lulus SMA dan lanjut kuliah, dong. Selesai Ujian Nasional berarti indahnya masa SMA juga ikut selesai. Itu pun kalau sekolah meluluskan loh ya.

Dulu, waktu pertama kali masuk SMA, saya merasa acuh tak acuh sama suasana SMA. Cuma merasa, "Halah... cuma tiga tahun aja loh." Namun, semakin ke sini, kata-kata orang seperti, "Masa SMA jangan disia-siakan!" semakin terasa bener. Ini bener-bener terasa seperti masa yang langka. Masa SMA itu indah.

Memang, masa SMA itu indah, bikin sebel, bikin baper, tapi juga bikin kangen akan kenangannya. Seberat apa pun kita mencoba, pasti yang namanya masa SMA nggak akan terulang lagi. Setuju? Bahkan ketika kalian mencoba untuk membawa suasana SMA ke dunia perkuliahan, feel-nya pasti sudah beda banget. Seperti ada missing piece gitu. Entah itu teman-temannya, suasana kelas, dan lain-lain.

Saya kepengin membagikan sedikit cerita tentang indahnya masa SMA. Kali ini, saya akan pakai subjeknya sebagai "kamu" agar feel-nya lebih ngena. Yuk, mulai!

Masa SMA itu masa-masa kamu mencari jati diri. Waktu SMP, mungkin kamu masih sibuk main-main nggak jelas. Kalau ditanya cita-citamu apa, kamu jawab sekenanya, "Jadi dokter! Eh, tapi jadi pengusaha juga seru sih bisa tajir...." Pokoknya, nggak jelas banget deh hidupmu!

Tapi, semua berbeda ketika kamu masuk SMA.

Kamu harus punya arah hidup. Artinya, kamu harus mempertanggungjawabkan kata-katamu mengenai cita-cita dan impian. Kamu sudah nggak bisa ngomong tok. Misalnya, kamu bilang, "Aku pengin jadi pengusaha sukses!" Nah, masalahnya, kamu siap banting tulang untuk promosi, nggak? Siap gagal? Siap merugi? Dari sinilah, kamu perlu yang namanya identitas diri supaya bisa lebih teguh mencapai impianmu tersebut.

Bukan, bukan sekadar KTP atau SIM. Maksudnya, kamu tahu kamu itu siapa. Kamu kenal betul apa kelebihan dan kekuranganmu. Yang paling penting, kamu tahu kenapa kamu dilahirkan. Caranya supaya bisa menemukan identitas dirimu ya cuma satu: cobalah hal-hal baru! Dengan banyak mencoba, lama-kelamaan kamu tahu di mana minatmu yang sebenarnya. Jadi, masa SMA itu nggak seru kalau kamu cuma sekolah-pulang-sekolah-pulang.

Yang kedua, masa SMA ini terkenal dengan kegilaannya. Iya, benar. Kapan lagi bisa merasakan bolos kelas bareng-bareng? Kapan lagi bisa merasakan bagi-bagi contekan sekelas? Kapan lagi bisa merasakan cinta monyet di kelas? Kapan lagi bisa merasakan pakai seragam abu-abu setiap hari Senin? Kapan lagi bisa merasakan dihukum menyapu sekolah kalau terlambat? Kapan lagi bisa merasakan dihukum waktu upacara karena atribut nggak lengkap?

Kapan?

Ya cuma masa SMA ini!

Sayangnya, kamu nggak bisa senang-senang terus. Ada kalanya masa SMA harus berakhir dan kamu mulai menjalani kehidupan yang sesungguhnya.

Misalnya, pacaran anak SMA jelas beda dengan pacaran dewasa. Waktu SMA, mungkin gampang banget untuk dapat pacar. Tinggal buat dia sering ketawa sama kamu, terus tinggal bilang, "Maukah kamu jadi pacarku?" Udah pacaran, masih ketemu tiap Senin sampai Jumat. Indahnya dunia.

Waktu kuliah, nggak bisa semudah itu. Kamu cuma bisa dapet pacar (calon suami/istri) kalau kamu punya penghasilan yang jelas, pekerjaan yang stabil, tabungan yang mencukupi, belum lagi restu dari orangtua masalah suku atau agama. Belum lagi kalau harus LDR. Belum lagi kalau harus berantem karena beda prinsip. Belum lagi... sudahlah, hal ini makin rumit.

Tadi asmara, sekarang masalah pendidikan. Waktu sekolah, masih ada yang mengingatkan untuk kerja PR, ikut ulangan susulan, melengkapi catatan, nggak bolos dan lain-lain. Masih ada guru yang setia mendongkrak nilaimu hanya supaya kamu bisa naik kelas. Terus, kalau ketahuan menyontek, mungkin hukumannya cuma nilai nol, atau malah ditegur saja. Intinya, gampang banget bilang prinsip mlebu bareng metu bareng di masa SMA ini.

Waktu kuliah, kamu nggak bisa seperti itu lagi. Dosen nggak ambil pusing kalau kamu absen terus. Dosen nggak ambil pusing kalau kamu di kelas bawa Sprite dicampur Vanish terus mulai mabu-mabu di kursimu. Dosen nggak ambil pusing kalau kamu nggak kerjakan tugas. Yang penting dosen bisa kasih nilai seadanya. Kalau jelek, ya harus mengulang mata kuliah itu. Yang lebih parah, kalau kepergok menyontek saat ujian, kamu harus mengulang mata kuliah itu semester depan. Bahkan, ketika skripsimu mengandung unsur plagiarisme, kamu terancam dikeluarkan dari kampus. Jadi, memang keras.

Jadi, nikmati masa SMA-mu, teman, sebelum kamu bertemu dengan kerasnya kehidupan luar.

P.S: saya baper waktu nulis ini.

Friday, April 15, 2016

Kelebihan dan Kekurangan UNBK 2016

2


Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dilaksanakan tanggal 4 – 12 April kemarin. Tidak seperti yang sudah-sudah, ujian kali ini berbeda, salah satunya adalah mulai menggunakan komputer, meski beberapa sekolah masih menggunakan kertas (PBT). Lalu, UNBK kali ini hanya mengujikan satu pelajaran setiap harinya.

Sekarang, saya ingin berbagi opini saya mengenai kelebihan dan kekurangan UNBK 2016. Ingat, ini hanya opini, jadi tidak bisa dijadikan patokan bagi semua orang. Kalian bisa setuju, bisa juga tidak.

Thursday, March 31, 2016

Apakah Kuliah Penting?

0

Selepas masa sekolah, biasanya para siswa dihadapkan pada dua pilihan: lanjut kuliah atau langsung kerja saja. Ya memang, banyak pilihan lain (nikah muda misalnya, meski tidak disarankan. LOL). Tapi, jika digeneralisir, pilihannya ya hanya dua itu. Mau punya embel-embel gelar di belakang nama lengkap, atau punya embel-embel "pengusaha sukses". Kurang lebih pandangan masyarakat seperti itu.

Masalahnya, apakah kuliah itu penting?

Sekadar informasi, di dunia perkuliahan, terutama yang bergelar sarjana, lebih mengedepankan teori daripada praktik. Misalnya, mahasiswa jurusan manajemen bisnis tentu lebih sering belajar teori ekonomi seperti perilaku pasar. Mereka yang ada di jurusan teknik belajar teori Matematika dan Fisika dasar untuk penerapan pada mata kuliah di semester-semester berikutnya.

Lho, justru bagus dong?

Menurut sebagian pihak, kuliah hanya menghambat mereka. Teori yang berbelit-belit merupakan sebuah impedansi besar. (Agak fisika.) Kalau mau berdagang, ya dagang aja. Kalau kerja, kerja aja. Susah amat. Kebanyakan teori malah bingung untuk mengaplikasikannya.

Yang kedua, mereka menganggap kuliah tidak menentukan kesuksesan. Jika kita bertanya pada orang-orang di kubu ini, mereka akan menjawab, "Lah, Bill Gates nggak kuliah aja bisa jadi miliader gitu! Zucky bisa bikin Facebook, terus sekarang tinggal tidur-tidur di rumah nikmatin duit. Bahkan, banyak sarjana yang ujung-ujungnya jadi pengangguran. Daripada susah-susah belajar empat tahun terus nganggur, mending nggak kuliah sekalian, to?"

Saya termasuk pihak yang kurang setuju dengan pernyataan di atas. Menurut opini saya, kuliah itu penting.

Sangat penting.

Kenapa?

1. Bagaimanapun, kerja perlu pemahaman dasar.
Ibarat rumah yang perlu pondasi sebelum dibangun sampai jadi, orang juga perlu ilmu dasar sebelum bisa bekerja dengan matang. Kuliah membantu kita mendapatkan konsep dasar dari suatu pekerjaan. Ya, meski Om Bill bisa tanpa kuliah, tapi beliau adalah one of a kind. Jarang ada yang seperti itu.
Bagi yang tidak ingin menjadi pengusaha, namun menjadi engineer atau saintis, ilmu ini jauh lebih diperlukan. Tanda mutlak dimutlakkan lagi.

2. Kuliah membantu kita mendapatkan pengalaman organisasi dan relasi.
Zaman sekarang, banyak kok kegiatan organisasi mahasiswa. Tinggal pilih saja. Yang terpenting, maksimalkan peluang adanya organisasi di kampus. Dengan demikian, kita dapat belajar kepemimpinan, manajemen waktu dan emosi, pengelolaan SDM, dan kemampuan berbicara di depan orang banyak. Selain itu, kuliah juga memperluas koneksi kita. Bayangkan, orang yang kita temui di kampus bukan hanya teman seangkatan. Banyak! Jadi, seandainya setelah lulus kuliah ingin bekerja di suatu perusahaan, koneksi kita yang membantu. Kalau mau berbisnis pun bisa dapat lebih banyak pelanggan. Tidak rugi, kan?

3. Sebagai backup seandainya bisnis kita kelimpungan.
Pesaing semakin banyak. Bisa saja suatu saat bisnis kita jatuh. Kalau sudah demikian, bagaimana kita mencukupi kebutuhan?
Lamar kerja.
Sayangnya, sudah hampir tidak ada perusahaan yang menerima lulusan SMA. Bisa saja sih, tapi di posisi apa? Ketika punya ijazah, kita masih punya peluang.

4. Melatih rasa tanggung jawab.
Di dunia perkuliahan, kita dituntut untuk memenuhi absensi dan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Kalau tidak, siap-siap jadi mahasiswa abadi, ya. Intinya, kita belajar untuk menerima konsekuensi.

Apakah kuliah penting?

Menurut saya, ya. Kuliah membantu banyak aspek kehidupan manusia, seperti ilmu pengetahuan, etika, rasa tanggung jawab, dan kemampuan interpersonal. Namun, saya tidak memberi stempel bahwa tidak kuliah itu haram, dosa, sia-sia. Hampir tidak ada hal yang murni hitam atau putih di dunia ini. Ada juga banyak hal yang bisa dipelajari di luar ruang kuliah.

Jadi, semuanya kembali lagi ke Anda. Ini kan pendapat belaka.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com