Showing posts with label curhat. Show all posts
Showing posts with label curhat. Show all posts

Monday, January 22, 2018

Am I Good Enough?

1

Belakangan ini, saya membatasi akses ke media sosial seperti Instagram. Capek. Capek sama drama yang ada di dalamnya. Yang bikin lebih capek lagi, saya capek sama "good life, better life, life goal" yang orang-orang tunjukkan. Makan di restoran mahal, show off waktu menang lomba, show off keterima PTN, show off barang baru hasil belanjaan, show off lagi jalan-jalan di luar negeri, dan banyak lagi. Listnya masih panjang, tapi saya capek nulisnya, saking banyaknya.

It drained me mentally. It made me question my self-confidence.

Apakah saya udah cukup bagus? Dibandingkan sama mereka yang kelihatannya punya segala sesuatu di hidup ini?

Saya pernah ditolak masuk OSIS berkali-kali waktu masih SMP maupun SMA, ditolak masuk panitia MOS waktu SMA, diolok-olok satu angkatan gara-gara ditolak OSIS dan panmos dan dikira aneh, dipermalukan guru di depan kelas dengan beliau bilang kalau saya nggak bisa ngomong di depan orang (literally "nggak bisa", bukan "belum bisa"), sampai yang paling mainstream: ditolak cewek berkali-kali bahkan sebelum nembak.

Saya pernah juga belasan kali gagal menang lomba bahkan sampai sekarang (maksimal cuma sampe final), gagal keterima beasiswa di dua universitas ternama di Singapura meski teman saya kayak gampang banget bisa keterima di dua-duanya saking pinternya. Sekarang, saya mulai insecure sama 5-10 tahun ke depan: takut nggak dapat kerja dan nggak bisa berguna buat orang lain.

Tapi, di titik yang paling rendah, saya mikir lagi mungkin saja saya yang kurang bersyukur.

Waktu saya bisa mencoba berorganisasi, meski ketolak sekalipun, banyak orang di luar sana yang bahkan nggak kenal siapa-siapa karena beneran hidup sendirian. Waktu saya mencoba fit in ke lingkungan sosial, banyak orang yang punya disabilitas mental sampai lebih susah lagi buat diterima. Waktu saya mencoba memenangkan hati lawan jenis dan gagal, saya ingat masih ada banyak tangan yang menopang. Ada tangan-Nya yang menopang dan saya nggak akan pernah sendirian.

Waktu saya sedih karena nggak bisa menang lomba dan nggak bisa kuliah di universitas ternama, saya sadar kalau sebenarnya banyak yang bahkan nggak bisa sekolah. Bukan karena mereka nggak mau sekolah, tapi memang nggak bisa sekolah. Some people are born with silver spoon in their mouth and some others are born in absolute poverty. Hidup memang sekejam itu.

Rasanya melegakan. Hal ini bahkan nggak ada di feeds Instagram yang isinya penuh dengan kesempurnaan.


Saturday, January 13, 2018

Flashback (Part 2)

0

Untuk part 1 bisa dibaca di sini.

Setelah SMA, kuliah menanti. Saya kira dunia kuliah itu kayak di FTV: pake baju bebas terus bisa jalan jalan di kampus menikmati udara segar sama temen-temen. Gitu terus sampai lulus. Eh nggak sesimple itu ternyata.

Di sini, saya menemukan tempat saya berpaling. Tempat untuk berbagi. Tempat untuk berjuang bersama selama kuliah. Di sini juga saya belajar mendewasakan diri melalui serangkaian proses yang disusun untuk kami. Kuliah untuk diri sendiri itu gampang: masuk kelas, absen, dengerin dosen, pulang, rapat panitia yang sebenernya cuma ikutan buat menuhin syarat lulus. Tapi, yang harus kami capai lebih dari itu. Hiduplah untuk orang lain: angkatan, jurusan, kampus, hingga negara. Kalau perlu malah lebih bagus untuk dunia. 
(saat kuliah lapangan. Halo TG05.)

(saat orientasi awal. Masih botak)

Setelah itu, perjalanan belum berakhir. Setelah mengamati fenomena "pendidikan" oleh himpunan jurusan masing-masing, saya sadar kalau gelar "maba itu bodoh" yang disematkan ternyata hanyalah tradisi. Mahasiswa baru belum tentu bodoh, dan mahasiswa lama belum tentu pintar. Ketika sudah "selesai" menjalani proses, maba seakan mendadak terlihat pintar. Tetapi, ketika sudah mengemban tanggung jawab masing-masing, apa yang terjadi? Ternyata sama saja.

Ketika kita sudah menjalankan kewajiban, jangan cepat puas. Bisa jadi, kita cuma "kebetulan bisa" menyelesaikan kewajiban tersebut. Buatlah "kebetulan bisa" itu jadi "memang bisa".


Monday, January 1, 2018

Kita Semua Takut

0

Kita semua pernah takut.

Waktu masih kecil, kita takut pergi ke toilet sendirian karena gelap. Kita takut pergi ke tempat sepi sendirian karena takut diculik atau takut lihat hantu.

Kita semua pernah takut.

Waktu masih remaja, kita takut nggak bisa dapat nilai bagus di sekolah. Kita takut nggak punya teman sebangku atau sekelompok. Kita takut nggak punya pacar ketika teman-teman kita sudah punya pacar.

Kita semua pernah takut.

Waktu sudah kuliah dan menuju sarjana, kita takut akan masa depan lebih daripada sebelumnya. Kita takut jadi sarjana kosongan, sarjana yang hanya punya gelar tanpa ilmu karena hari-hari di kelas dihabiskan dengan titip absen, tidur, dan main. Sarjana yang hanya punya gelar tanpa pencapaian dan pengalaman karena setelah kuliah langsung pulang ke rumah atau kost tanpa ikut organisasi atau lomba. Sarjana yang hanya punya gelar tanpa koneksi karena merasa semua itu nggak ada gunanya; koneksi bisa nanti-nanti aja. Kita takut nggak bisa kerja. Kita takut nggak bisa punya kehidupan yang stabil buat menunjang kita sendiri dan calon keluarga kita.

Kita semua pernah takut. Kita semua sedang takut. Kita semua akan takut.

Meski begitu, bebaskan, temanku. This too, shall pass. Lakukan yang terbaik.

Semangat.

Sunday, December 31, 2017

Flashback (Part 1)

0

Empat setengah tahun.

Sudah empat setengah tahun sejak saya masuk SMA. Masih young dumb and broke. Masih nggak ada arah dan tujuan. Jangankan lima tahun ke depan, rencana buat besok pun saya nggak punya. Sekarang masih young dumb and broke, sih. Tapi nggak parah banget.

(biarin young dumb and broke, yang penting pernah foto berdua sama bule.)

Hampir tiga tahun.

Sudah hampir tiga tahun sejak saya kenal komunitas di luar zona nyaman saya untuk pertama kalinya. Shout out to Kampus Fiksi angkatan 12. Tempat saya pertama kali menyadari bahwa setua apa pun kamu, nggak ada yang bisa melarang untuk terus terbang. Semuda apa pun kamu, nggak ada yang bisa melarang untuk mulai meniti batu-batu kecil itu, mulai berlari-lari kecil, dan mulai sadar kalau kamu bisa tersandung kapan saja. Jatuh dari ketinggian itu sakit, tapi mungkin saja lupa untuk menikmati hidup dengan berbicara melalui banyak media (termasuk dengan menulis) akan jauh lebih sakit. Itu yang saya resapi. Meski sudah jarang muncul di grup WhatsApp mereka, saya tetap berusaha mengingat mereka semua. Mengingat apa yang sudah kami lalui selama berproses. Kalian memang terbaik.

(hayo tebak saya yang mana)

Dua setengah tahun.

Bukan Dua Lipa, tapi dua setengah tahun. Waktu itu, baru sadar tau-tau udah kelas 12. Udah bukan waktunya main-main. Secara nggak langsung, lingkungan sekitar saya kayak berusaha nyinyir ke saya, "Hayoooo, kuliah mana nih jadinya? Atau nggak kuliah aja? Jadi penulis. Atau jadi rapper yang bisa go international ke Amerika, mumpung mukanya mirip."

Pusing. Peer pressure, teacher pressure, parent pressure, hydrostatic pressure, atmospheric pressure, semuanya ada. It was as if I could not decide future on my own. Meski dua tahun sudah berlalu sejak masuk SMA, saya masih saja meniti langkah-langkah kecil di batu-batu kecil itu. Belum siap untuk melintasi jurang dengan langkah-langkah yang besar. Lalu gimana? Should I give up, stand still, and eventually be consumed by the endless vortexes of life? Atau saya harus memaksa langkah saya biar besar?

Salah satu (salah dua) langkah besar yang saya coba ambil selama SMA adalah: mendaftar di universitas ternama di Singapura yaitu NTU dan NUS. Baca di sini dan sini biar bisa tahu pengalamannya.

Pada akhirnya, saya lolos. Terbukti saya bisa mengambil langkah besar itu. Saya dengan latar belakang yang medioker, bukan dari sekolah favorit, bukan siswa yang berprestasi, bisa berjalan sejauh itu. Tinggal satu senti lagi untuk sampai ke ujung jurang itu.

(bahkan sekarang masih saya tempel di pintu kamar)

Akan tetapi, shit happens sometimes. Saya nggak jadi berangkat ke sana karena ini dan itu. Rasanya seperti kamu bangun di suatu pagi, dan kakimu menyerah begitu saja tanpa alasan, dan kamu nggak bisa lanjut meski tujuanmu itu tinggal satu senti saja.

Untungnya, salah dua yang saya sebutkan, saya ganti jadi salah tiga. Ganti rencana jika dibutuhkan, paksa kakimu yang tersangkut itu, meski mungkin rasanya sakit seperti mau lepas. Apa satu lagi itu?Ya, mendaftar ke ITS, salah satu perguruan tinggi favorit di Surabaya, bahkan Indonesia.

Kalau kamu pernah jatuh, pasti kamu berpikir apa kamu bakal jatuh lagi. Itu yang saya rasakan. Apa saya bisa lolos ke ITS dengan segala keterbatasan latar belakang embel-embel sekolah favorit dan perbedaan yang bakal saya rasakan jika saya diterima di sana? 

Nyatanya, saya bisa, meski seperti lolos dari lubang jarum.

Terima kasih, masa remaja. Terima kasih, hidup. Hal omong kosong, tapi penting, apa lagi yang bakal kamu berikan besok?

Tunggu bagian ucapan terima kasih saya selanjutnya.

Thursday, August 3, 2017

Kuliah Itu Lebih Bebas?

2

Banyak adik kelas saya yang pengen cepat-cepat kuliah. Katanya, mereka capek harus duduk terus di kelas dari jam 7 pagi sampai 3 sore. Nggak terus-terusan juga sih, soalnya kepotong jam istirahat. Tapi, tetep saja duduknya lama. Lalu, mereka juga capek lantaran harus pakai seragam terus setiap ke sekolah. Belum lagi ketentuan-ketentuan lain seperti rambut nggak boleh melebihi kerah, alis, dan telinga buat yang cowok, dilarang pakai sepatu berwarna, sampai dilarang mengecat rambut. Pokoknya, kata mereka, kuliah itu bebas sebebas-bebasnya!

Untuk masalah akademik, jamnya lebih fleksibel. Bisa milih gitu katanya. Jamnya nggak full kayak waktu sekolah. Untuk masalah kelas, enak banget bisa pindah-pindah. Banyak sekolah di Indonesia yang belum pakai sistem moving class, jadi mungkin banyak yang baru merasakan hal demikian setelah lulus SMA. Kalau waktu sekolah, biasanya absen dua kali aja udah ribet perkaranya ke wali kelas sama guru BK.

Duh, pengen cepet kuliah! Katanya sih gitu.

Katanya lebih bebas waktu sudah kuliah.

Kenyataannya?

Jawabannya, ya. Tapi nggak sepenuhnya bener.

Kenapa?

Kita bahas pelan-pelan di bawah, ya.

Pertama-tama, jam kuliah itu memang nggak full kayak pas sekolah. Ada jedanya, dan jedanya bisa lama banget, sampai 3-4 jam. Tapi, itu nggak bener-bener hasil pilihan kita. Jadi nggak sepenuhnya bebas untuk masalah jam kuliah.

Kok bisa?

Begini, di beberapa kampus ada peraturan yang mewajibkan mahasiswa barunya (tahun pertama) untuk mengambil sistem kuliah paket. Ya, sudah kelihatan kalau jadwalnya nggak bisa diubah-ubah lagi. Kalau di jadwalnya nulis kamu harus masuk kelas jam 7 pagi, ya itu jadwalmu suka nggak suka. Pengalaman saya sendiri sih, nggak suka bangun pagi tapi hampir semua kelasnya mulai jam 7 pagi.

Terus, waktu kita udah punya kebebasan ngambil mata kuliah, ada perang saudara yang "berdarah-darah" antara kamu sama teman-teman seangkatan, bahkan angkatan lain. Bener sekali, rebutan kelas. Jadi, biasanya di kebanyakan kampus akan menentukan hari untuk mengisi formulir/kartu rencana studi lewat akun masing-masing. Nah, di hari tersebut para mahasiswa sudah siap-siap sama laptop plus koneksi internet yang super kenceng, katanya sih biar nggak lemot waktu loading list kelasnya. Begitu jumlah pemilih suatu kelas sudah sampai batas maksimum, kelas tersebut dinyatakan sudah penuh. Mau nggak mau, mereka yang nggak kebagian harus ambil jam yang berbeda dengan dosen yang berbeda. Nah, biasanya kelas-kelas sisa ini ada dua kemungkinan: dosennya nggak disukai mahasiswa dan/atau jam mulai kuliahnya ngganggu waktu istirahat banget (pagi atau sore banget).

Kelihatan kan kalau sebenarnya milih jam kuliah nggak bebas-bebas banget? Lebih ribet dari zaman anak sekolahan malah.

Yang kedua, untuk aturan berpakaian, memang nggak ada ketentuan seragam kecuali untuk jurusan-jurusan tertentu. Bahkan, ada dosen yang memperbolehkan mahasiswanya pakai kaos oblong sama celana jins doang. Contohnya kelas-kelas di jurusan Desain ITS. Tapi, kebebasan di sini yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Nggak mungkin kan ke kampus pakai sandal jepit sama celana pendek? Amannya minimal kaos berkerah sama celana panjang yang nggak terlalu ketat sama sepatu tertutup. Robek-robek? It's a big no no. Dosen sudah tahu kalau mahasiswanya udah dewasa. Udah bisa menakar sendiri berpakaian yang sopan itu seperti apa, makanya biasanya nggak ada aturan yang ketat masalah berpakaian di kampus.

Yang ketiga, masalah nggak masuk kelas dan nggak ngerjain tugas. Memang, dosen nggak terlalu masalahin kamu masuk kelas apa nggak. Tapi, ada tapinya. Ada batas minimal kehadiran supaya bisa ikut ujian. Biasanya 75-80% kehadiran. Nah, berarti nggak bisa dong bolos terus, waktu ujian aja baru muncul. Dosen juga termasuk cuek apa mahasiswanya udah ikut ujian atau ngumpulin tugas. Terserah kamu. Balik lagi ke atas, kan kamu udah dianggap dewasa. Udah tau apa konsekuensi dari perbuatan sendiri, nggak perlu diomelin lagi kayak waktu sekolah.

Setelah baca-baca di atas, masih nganggep kuliah itu lebih enak karena lebih bebas? Belum tentu, kadang tanggung jawab untuk mandiri selayaknya mahasiswa yang udah dewasa itu malah menakutkan.

Tapi itulah yang membuat kita belajar dan berkembang.

Saturday, February 11, 2017

Are We Scared to Be Lonely?

0

Pagi ini, saat membuka laman Youtube, saya menemukan lagu ini di kolom Recommended:


Kesan pertama dari lagu ini: beat-nya mantap, terus suara penyanyinya lumayan lah. Saya suka lagu ini. Jadi, alih-alih skip ke lagu lain, saya repeat play.

Kesan kedua, ketiga, dan seterusnya: liriknya deep banget. Kalau kita coba dengerin lagu ini beberapa kali, pasti dapet maksud dari lagu ini.

 Menurut saya, pas sekali lagu ini rilis menjelang hari Valentine, hari yang katanya orang-orang hari para pasangan bersuka cita dan yang jomblo berduka cita. Intinya, di Scared to Be Lonely, liriknya kurang lebih bercerita tentang satu pasangan yang susah melepaskan satu sama lain karena bisa saja mereka takut menjomblo. Meskipun hubungan mereka penuh pertengkaran dan ketidakcocokan, mereka tetap lanjut. 

All the fucked up fights
And slamming doors
Magnifying all our flaws
And I wonder why
Wonder what for
It's like we keep coming back for more


Dan bagian refrain menurut saya sangat mengena:


Is the only reason you're holding me tonight
'Cause we're scared to be lonely?
Do we need somebody
Just to feel like we're alright?


Dari sini, saya mulai berpikir bagian ini bener banget. Kadang kita ngerasa jadi jomblo itu kesepian, suram, ngenes, nggak ada enak-enaknya. Sementara itu, yang pacaran lebih enak. Kadang juga kita susah buat ngomong putus, soalnya dunia jomblo di luar sana kelihatannya dingin, gelap, sendirian. Kita bisa jadi bukan takut kehilangan hubungan, tapi kita takut kehilangan kebahagiaan. Pertanyaannya, apakah kita memang perlu orang lain untuk bahagia? Apakah kita nggak bisa bahagia dari diri kita sendiri?

Ada banyak filosofi tentang kebahagiaan yang bisa dibaca sendiri di sini, dan saya nggak akan mengulas lebih jauh. Dari filosofi-filosofi tadi, sudah kelihatan kalau kebahagiaan bisa bersumber dari macam-macam hal, nggak cuma dari pasangan hidup. Contohnya, saya sudah 18 tahun menjomblo di hari Valentine, dan mungkin akan jadi 19 tahun di tahun ini. Tapi, apakah saya terlihat se-desperate itu karena jomblo yang nggak berkesudahan?

Nggak. Saya bahagia sekarang. Karena saya sadar kalau dengan atau tanpa pasangan, saya bisa bahagia dan nggak merasa kesepian. Saya punya hobi, teman-teman, dan keluarga yang luar biasa di sini. Dan itu masih sebagian kecil yang saya sebutkan.

Sekarang saya balik pertanyaannya, gimana dengan kamu? Kesepian nggak kalau tanpa pasangan hidup? Udah bahagia belum sekarang? Pesan saya cuma satu sih: kamu bisa bahagia, sendirian ataupun berdua ataupun beramai-ramai. Jadi, jangan lupa bahagia.



Tuesday, January 24, 2017

How Far Have You Gone?

0

Waktu masih kecil, sekitar usia SD, saya sering ikut orangtua saya pergi ke Banyuwangi. Perjalanan dari Surabaya ke Banyuwangi makan waktu tujuh jam lebih, jadi lebih enak tidur di mobil daripada bosan. Sesekali, saya bangun lalu nanya ke Mama, "Udah sampai mana, Ma?"

Mungkin nggak cuma saya yang punya cerita kayak gini.

Mungkin nggak cuma di kasus seperti ini kita berpikir, "Udah sampai mana kita sejauh ini?"

Waktu sudah lebih tua sedikit, saya sering berpikir sendiri, "PR-ku udah sampai mana, ya?" atau tugas atau ulangan atau progres sama gebetan pertama atau udah sampai mana saya ditolak sama gebetan pertama tadi.

Itu waktu masalah terbesar di hidup saya cuma PR, tugas, ulangan, dan ditolak gebetan.

Sekarang, ceritanya beda. Hanya saja, yang masih sama adalah bagaimana saya tetap bertanya, "Udah sejauh mana saya sekarang?"

Menjelang ujian masuk NUS dan NTU setahun silam, saya terus berpikir sejauh mana materi yang sudah saya kuasai. Sesekali, saya berhenti belajar dan merefleksikan materi apa yang terbilang susah. Setelah kembali ke rutinitas, saya kembali menggenjot materi yang belum saya kuasai betul-betul tersebut. Akhirnya, hasilnya pun lebih efektif.

Saat mendekati penutupan SNMPTN, saya kembali berpikir apakah pilihan PTN beserta jurusan saya sudah tepat. Kemudian, saya sedikit merombak pilihan yang awalnya ITB jadi ITS. Kembali lagi, itu karena saya bertanya, "Udah sejauh mana kemampuan saya dan faktor sekolah saya berpengaruh?" Dan saya menemukan bahwa sekolah saya nggak punya riwayat meluluskan siswanya ke ITB, seenggaknya dalam sepuluh tahun ke belakang. Maka saya pun mengubur impian memilih kampus gajah duduk tersebut dan memilih kampus yang lebih realistis untuk dijangkau.

Setelah satu semester kuliah pun, saya tetap bertanya demikian dan menemukan jawaban:

"Belum, masih jauh."

Ya, meski IP semester 1 sangat memuaskan, saya belum merasa memberikan kontribusi yang maksimal untuk kampus, termasuk jurusan. Dalam pengaderan, angkatan saya masih terlihat banyak cela, dan saya termasuk bertanggung jawab di dalamnya. Kami semua bertanggung jawab. Dan masih banyak lagi hal yang saya temukan sembari berhenti sejenak dari rutinitas dan mempertanyakan, "Udah sampe mana?"

Sama persis seperti saat saya masih kecil yang berhenti sejenak dari tidur lalu bertanya demikian.

Dan saya yakin saya bakal bertanya seperti itu untuk waktu yang lama, karena hidup terasa masih panjang.

Kalau kamu? How far have you gone?

Sunday, January 1, 2017

Goodbye, 2016!

0

Kebetulan banget post pertama saya di tahun ini persis waktu tahun baru 2017. Anyway, selamat tahun baru 2017 buat yang merayakan. Semoga tahun ini bisa lebih baik dari tahun sebelumnya. Jangan lupa, umur kita nambah satu tahun di tahun ini.

Bicara tahun baru, bagi saya dan teman-teman yang lain, tentu nggak lepas dari refleksi tahun sebelumnya. Kita merenungkan apa yang udah terjadi setahun ke belakang. Hal-hal yang bagus maupun yang kurang mengenakkan terjadi di tahun sebelumnya. Sialnya, cukup banyak hal yang kurang bagus di tahun 2016. Mulai dari munculnya Awkarin yang butthurt sampai lapor polisi (pengikutnya juga ikut muncul, dari Awatit sampai Aw ah Gelap), krisis di Syria, Brexit yang sempat bikin nilai mata uang Inggris anjlok nggak keruan, kasus Ahok, aksi damai yang jadinya malah ngejarah minimarket, sampai Trump jadi presiden Amerika Serikat. 

Seriously, Americans? You did chose Trump as your president?

Beberapa orang penting meninggal di tahun 2016. Satu yang saya ingat: Alan Rickman. 

(sumber: http://www.dnaindia.com/entertainment/report-top-10-memorable-quotes-by-alan-rickman-2165880)

Heran aja sih, kenapa beliau bisa kuat tinggal di Hogwarts berpuluh-puluh tahun tapi sialnya beliau nggak kuat menjalani 2016 sampai selesai?

Tren-tren nggak masuk akal juga muncul di 2016. Kita pasti nggak asing dengan ini:

Mannequin challenge.

Serius deh, apa esensi dari jadi patung selama kurang lebih beberapa puluh detik? Kalau saya disuruh begitu, saya jelas nggak mau. Capek. Terus ada juga bottle flip challenge yang agak ngeselin, soalnya bikin minuman jadi nggak enak diminum lagi. We also may not want to omit that "Kalian semua suci aku penuh dosa" quote.

Oh, satu lagi dari bintang cilik kita. Autotune detected:



Aduh, lupa satu lagi (serius, ini terakhir): om telolet om.


Di balik semua itu, saya tetap bersyukur karena saya masih bisa menyelesaikan resolusi di tahun 2016, walaupun nggak semua. Saya berhasil diterima masuk NUS (baca di sini), lolos masuk ITS, salah satu kampus terbaik di Indonesia (baca di sini), dan dapat nilai UN memuaskan. Keluarga saya juga sehat-sehat aja, dan itu udah sangat cukup buat saya. Hal-hal baik itu lumayan mengompensasi hal yang buruk tadi.

Di tahun yang baru ini, saya juga ingin membuat resolusi baru dan menyelesaikannya, ya, meski resolusinya saya rasa nggak perlu disebar ke orang banyak. Di tahun yang baru ini, saya berharap semua orang bisa bertumbuh ke arah yang lebih baik. Harapannya, tahun sebelumnya bisa jadi pembelajaran dan evaluasi untuk ke depannya. Bagi saya, tahun baru itu bukan masalah pesta mewah untuk menyongsong tahun baru dengan segala macam makanan dan minuman enak, Bukan juga masalah melempar kembang api tepat pada 1 Januari pukul 00.00. Ini bukan hari pesta sejuta umat; bukan juga hari kembang api sedunia

Ini hari tahun baru.

Bukan sekadar momen Bumi telah selesai melakukan satu kali revolusi, tetapi tahun baru adalah waktu yang tepat bagi kita untuk membuka halaman baru dalam kehidupan: membuat resolusi dan mengambil tindakan untuk menyelesaikannya. Apakah saya akan membuat perubahan? Apakah saya akan berpikir dan bertindak lebih bijak dari tahun sebelumnya?

Go ahead. Think and make a change.

Tuesday, July 26, 2016

Si Payah di Sekolah Pasti Bakal Kaya?

0

Saya yakin kalian pasti udah nggak asing dengan kalimat ini:

"Belajar yang rajin biar nilai kamu bagus, terus bisa kerja."

Kamu mungkin percaya dengan kalimat tadi sampai jargon-jargon ini menyerang:

"Orang pinter jadi budaknya orang goblok."

"Kata Bob Sadino, percuma kepinteran, nanti ujung-ujungnya jadi bawahan."

"Orang yang nilai rapornya bagus pasti nggak bisa praktik waktu kerja."

"Anak IPA nggak bisa ngalahin anak IPS kalau urusan banyak-banyakan uang."

Ya, mungkin Indonesia jadi satu dari sedikit negara yang warga-warganya berpikir demikian. Katanya, lebih baik jadi goblok, asal pintar dagang sama pintar ngomong, dijamin kaya. Lebih baik nggak bisa hitung-hitungan, daripada nggak bisa kerja. Lebih baik nggak juara satu, daripada nggak juara jumlah duitnya di antara temen-temen. Intinya, si payah di sekolah pasti bakal kaya. Mungkin ada benernya, tapi kalimat-kalimat di atas serasa pedang bermata dua. Kenapa?


Sisi positif

Kemarin saya membaca How to Win Arguments karya Madsen Pirie, dan saya menemukan poin bahwa dalam berargumen, kita sebaiknya mempertimbangkan dua sisinya: baik dan buruk. Saya tidak ingin jatuh dalam one-sided assessment fallacy, jadi saya coba singgung bagian positif dari kalimat di atas terlebih dahulu.

Yang pertama, nilai sekolah memang nggak selalu menentukan kesuksesan. Contoh yang paling gampang saja, Bill Gates bahkan nggak menyelesaikan studi di Harvard, namun bisa kaya seperti sekarang. Contoh yang lain, saya pernah dengar dari teman saya bahwa ada orang yang suka bolos ke warnet semasa SMA, namun sekarang punya usaha yang sukses. Di sisi yang lain, orang pintar yang biasanya ngasih sontekan ke orang payah di sekolah itu, kerjanya jadi sales. Jelas jadi bawahan orang payah tadi.

Selanjutnya, nggak semua orang memang punya passion di bidang sains atau cabang akademik lainnya. Gampangnya, apa yang saya suka belum tentu kamu suka juga. Saya pernah kenal teman yang sangat jago IT, padahal nilainya biasa-biasa saja. Ada juga teman saya yang pintar main musik, khususnya drum, padahal nilainya biasa saja. Jadi, kalimat tadi bisa buat sedikit menyemangati mereka yang memang nggak terlalu bagus di bidang akademik.

Sisi negatif

Sayangnya, dari kalimat tadi, menurut saya lebih dominan sisi negatif daripada sisi positifnya.

Alasan utamanya adalah, kalimat ini merendahkan orang yang memang berbakat di bidang akademik. Katakanlah siswa yang bernama Budi memang pintar matematika sejak kecil, namun karena membaca atau mendengar pernyataan itu, dia rendah diri. Akhirnya, Budi mengubur dalam-dalam keinginannya untuk belajar dan nilainya pun terjun bebas. Budi pun nggak jadi seseorang yang berguna karena bakatnya nggak dipakai.

Ya, memang jumlah orang yang berbakat di bidang akademik lebih sedikit daripada yang tidak. Tetapi, itu bukan alasan untuk mendiskriminasikan mereka. Yang mayoritas belum tentu paling benar. Menurut saya, keduanya benar. Nggak ada yang salah.

Lagi pula, di Indonesia, memang ada bidang-bidang yang mendapat sedikit apresiasi dalam bentuk pendapatan maupun hak cipta, semisal sains dan teknologi. Meski begitu, itu bukan alasan untuk merendahkan mereka yang memang cemerlang di sekolah. Apa yang menurutmu sukses, belum tentu menurut mereka sukses. Misalnya, kalian mendefinisikan sukses itu bagaimana kalian punya banyak uang. Menurut mereka, bisa saja definisinya bukan seperti itu.

Yang nggak kalah penting, statement tadi bisa jadi excuse untuk mereka-mereka yang malas. Pertama-tama, mereka memilih masuk IPS karena merasa lebih santai, dikit PR, dan hitung-hitungannya nggak ribet. Ya, sebenarnya IPA dan IPS sama saja, namun IPS jadi rusak di mata khalayak umum karena orang-orang macam mereka. 

Kemudian, mentang-mentang beban di kelas cuma dikit, mereka sering bolos sekolah untuk pergi merokok atau main warnet. Waktu senggang mereka habiskan dengan hal yang sama. Ketika ditanyain, mereka cuma jawab, "Halah, sekolah nggak menentukan kesuksesan. Gue pasti sukses meski tanpa sekolah."

Plis, meski kalian nggak berbakat akademik, seenggaknya usaha buat dapat nilai yang cukup. Seenggaknya coba ngembangin bakat kalian. Seenggaknya coba kurang-kurangin asumsi yang sangat menyalahi logika itu.

Kesimpulannya, si payah di sekolah belum tentu kaya, dan si pintar di sekolah belum tentu biasa-biasa saja. Faktanya, Albert Einstein sebenarnya pintar di sekolah, dan dia terkenal sampai sekarang. Ya, pernyataan kalau Einstein bodoh waktu masih sekolah itu mitos, karena ada inversi skala nilai waktu itu. Kalian bisa baca di https://www.quora.com/Is-it-true-that-Albert-Einstein-failed-in-mathematics-many-times-during-his-school-days.

Semuanya kembali ke usaha kita, nggak peduli kita masuk ke "tim payah" atau "tim pintar". 

Sunday, July 24, 2016

Pengalaman SNMPTN 2016 Part 2: Nyaris Batal Masuk ITS!

2

Buat yang belum baca part 1, silakan baca di sini.

Post-SNMPTN

Saat tahu saya diterima di ITS lewat jalur SNMPTN, rasanya dunia jadi indah banget. Waktu jalan-jalan di Bali, baik di Beachwalk, Kuta Beach, Nusa Dua, atau lainnya, rasanya nggak bisa banget buat nahan senyum. Apalagi teman-teman di sana menyelamati saya, rasanya tambah senang.

Setelah pulang dari Bali, saya ikut tryout SBMPTN di Unesa pada 15 Mei. Yang mengadakan adalah pihak Unesa dan ITS. Ya, saya ikut tryout ini soalnya udah telanjur daftar, dan sayang banget kalau nggak jadi ikut. Alhasil, saya juara 1 tryout di bidang Saintek meski konsentrasi saya sempat pecah di kelas. Memang, banyak peserta lain yang kayak nggak niat ikut. Waktunya ngerjain malah ngobrol sama teman sebelahnya. Kan ngeselin, bikin yang niat malah terganggu.

Enam hari kemudian, sekolah saya mengadakan acara semacam wisuda. Di sana, saya diumumkan sebagai peraih nilai tertinggi sejurusan IPA di sekolah. Rasanya nggak masuk akal, mengingat waktu kelas 10 dan 11 saya hanya berada di sekitar peringkat 8. Nah, waktu itu rasanya saya bangga banget. Serasa di atas angin. Dan saya nggak sadar kalau saya ngerasa di atas angin. Ya, istilahnya agak terlena gitu.

Disaster

Jam 3 pagi, tanggal 22 Mei, entah kenapa saya seperti dapat bisikan, "Cek website ITS!"

Ya saya coba cek.

Pelan-pelan saya baca persyaratannya. Secermat mungkin. Tapi, dari kalimat pertama saja saya sudah kaget. Tercengang gitu. Langsung kosong pikiran saya.

Oh, shit. What have I done?

(ini dari smits.ac.id.)

Pikiran saya langsung terbang ke mana-mana. Sudah kelewat 4 hari dari tanggal pengisian. Aduh. Saya berpikir, "Masa iya aku nggak jadi masuk ITS cuma gara-gara kesalahan bodoh gini sih? Masa iya aku harus ngulang masuk tahun depan lewat SBMPTN? Buku SBMPTN-ku udah aku kasih ke temen nih. Temen sama guru-guru juga taunya aku masuk ITS tahun ini, mau bilang gimana coba?"

Ya, sejauh yang saya tahu, daftar ulang SNMPTN itu cuma tanggal 31 Mei 2016 saja. Jadi, saya nggak membaca info lebih lanjut di smits.ac.id. Dan itu kesalahan yang fatal banget. Saya terlalu merasa di atas, jadinya lupa melihat hal-hal kecil yang ada di bawah. Sejak itu, saya bertekad untuk tetap menjaga pikiran agar tidak terlena saat sudah berhasil.

Calming the storm 

Karena tanggal 22 itu hari Minggu, saya harus nunggu besoknya untuk ke ITS untuk mengajukan permohonan untuk mengisi data di sipmaba.its.ac.id. Untungnya, ada orangtua dan kedua koko yang membuat saya tenang dan ngasih solusi yang pas. Saya bersyukur banget, sih, punya keluarga kayak mereka. Kalau nggak, entah gimana saya bisa berpikir jernih. Mereka juga yang membantu saya cari dokumen-dokumen yang diperlukan untuk mengisi data online. I couldn't thank them more.

Besoknya, ke ITS pun sudah jadi kewajiban. Setelah mencari-cari tempat adminnya sipmaba, saya pun siapkan muka tembok kalau-kalau diomelin di sana, atau bahkan nggak boleh ngisi data lagi. Saya ketuk pintu, dan pelan-pelan bicara, "Bu, bisa saya mengisi data di sipmaba? Saya telat ngisi."

Ibu-ibunya bilang dengan muka nggak enak, "Lho, kok baru ngisi?"

"Iya, saya lupa. Baru sadar Sabtu malam kemarin."

Dan selanjutnya, saya diomelin sedikit. Tapi okelah, mereka tetep memperbolehkan saya mengisi data lewat akun admin, karena data akun yang dimiliki mahasiswa memang sudah dikunci dan nggak bisa diubah-ubah lagi.

Siang hari, prosesnya selesai, dan saya keluar layaknya habis keluar dari lautan yang tertutup badai. Nyaris saja saya hanyut terkena badai tersebut. Sejak itu, saya mengingat-ingat tanggal tes kesehatan, verifikasi rapor, sampai verifikasi biodata pada 31 Mei. Ealah, tanggal 31 Mei itu ternyata cuma verifikasi biodata. Saya kira verifikasi semuanya dilakukan tanggal 31. Bruh.

Dan inilah saya, sudah resmi diterima di Teknik Geofisika ITS. Di sini, saya menemukan teman-teman yang agak gesrek gitu, namun seru. Menurut jadwalnya, saya bakal menjalani orientasi seinstitut atau yang biasanya disebut Gerigi pada 26 Agustus 2016. Doakan semuanya lancar saja.

Tanpa perlu banyak ceramah lagi, saya yakin kalian bisa belajar dari pengalaman yang greget ini. Kalian belajar, saya juga belajar. Kita semua selalu belajar setiap harinya. Yah, begitu.

Saturday, July 23, 2016

Pengalaman SNMPTN 2016 Part 1: Lolos dari Lubang Jarum!

18

Sebelum cerita pengalaman SNMPTN ke kalian, ada baiknya saya kasih tahu sedikit info. Buat yang belum tahu, SNMPTN itu singkatan dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Kalian pasti sering bingung antara istilah SNMPTN dan SBMPTN. Oke, di sini saya coba jelasin bahwa keduanya berbeda, meski hanya beda di huruf kedua. Yang SBMPTN itu Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi. SNMPTN sistemnya seperti undangan dengan memperhatikan nilai rapor semester satu sampai lima, indeks sekolah, prestasi siswa di ajang perlombaan, dan lain-lain. Sedangkan SBMPTN sama seperti ujian tulis. Begitu.

Sebelum Pendaftaran

Awalnya, saya nggak punya niatan untuk masuk PTN, meski tahu bahwa PTN di Indonesia memang banyak yang ngetop, seperti ITB, ITS, UGM, UI. Tepatnya, saya masih bingung kuliah mana. Dan kebetulan, saya juga berharap untuk masuk dua perguruan tinggi ternama di Singapura. Ceritanya bisa kalian baca di sini atau sini.

Di sisi lain, teman-teman saya di awal-awal kelas 12, mungkin sama seperti kalian, bener-bener ngebet untuk masuk PTN. Jadilah mereka mulai cari info PTN, passing grade, bahkan sampai bimbel untuk persiapan SBMPTN. Gila, niat banget mereka, pikirku waktu itu. Saya masih belum tergerak untuk ikut daftar PTN. Cuma sesekali ikut ngerjain soal SBMPTN, itu pun karena memang ada temen yang nanya. Kalau nggak mana mungkin saya ngerjain. :)))

Pendaftaran

Setelah UEE NUS dan NTU, saya sadar bahwa saya harus cari cadangan tempat kuliah.

H- berapa gitu sebelum verifikasi nilai ditutup, guru BK mendadak masuk kelas dan nanya, "Pendaftaran SNMPTN udah dibuka, siapa mau daftar?" Sekitar sepuluh orang angkat tangan, termasuk saya, Iya, saya yang awalnya nggak minat ikut SNMPTN.

Pulang sekolah, kami ke ruang BK untuk mengambil username dan password untuk login ke PDSS, ngecek apakah nilainya sudah benar atau belum. FYI, untuk SNMPTN, awalnya pihak sekolah yang memasukkan nilai rapor kita ke PDSS, dan kita tinggal periksa lagi. Karena kalau nilai yang di PDSS nggak sesuai sama yang di rapor, tahu lah gimana.

Saya pulang dan ngecek. Wush, nilainya banyak yang salah. Jadilah saya nge-print transkrip dari PDSS dan menandai mana yang salah. Seingat saya itu sudah mepet banget, sekitar H-2 sebelum portalnya ditutup. Saya mulai ndredeg, takut si guru BK ini nggak keburu masukin nilainya sebelum hari H.

Untungnya, waktu pengisian di PDSS diperpanjang satu hari. Singkat cerita, semuanya kelar dan kami yang daftar SNMPTN dibawa ke suatu kelas untuk survei jurusan. Ya, kalian tahu bahwa di satu sekolah bisa saja ada beberapa yang mengambil jurusan yang sama di PTN yang sama. Jadi, tujuan survei ini untuk mencegah, atau seenggaknya meminimalisir kemungkinan, ketidaklolosan akibat "ditikung" teman sendiri.

Waktu itu, ada sekitar 40 atau 50 orang yang di dalam kelas. Satu per satu nama PTN yang biasanya banyak diminati seperti Unair, UGM, ITS, Udayana, disebut oleh guru BK saya tersebut. Ketika melihat papan tulis, saya hanya bisa geleng-geleng. Yang memilih jurusan Ilmu Hukum di Unair aja 5 orang, bro! Termasuk banyak lah. Ada juga yang daftar FK atau FKG Unair, saya lupa, dan dia langganan ranking paralel 1 di angkatan saya.

Ketika nama ITS disebut, saya bilang, "Teknik Fisika! Teknik Geofisika!" Ya, masing-masing itu pilihan pertama dan kedua saya. Untungnya, hanya saya di sekolah yang memilih jurusan tersebut. Kebanyakan di ITS memilih Arsitektur atau Teknik Sipil. Syukurlah, nggak bisa "ditikung" teman satu sekolah. Wajar, jurusan yang saya pilih memang nggak mainstream, karena saya ingin sesuatu yang beda. Berhubung saya suka Fisika juga, jadilah pilih itu.

Kemudian, kita tinggal menunggu 10 Mei, tanggal pengumuman SNMPTN. Tentu saya pasrah. Bicara keketatan, SNMPTN dan SBMPTN memang greget. Keduanya nggak jauh beda. Mengutip dari Zenius, begini persentasenya:

(Ini yang SNMPTN.)
(Dan ini yang SBMPTN.)



Jadilah setelah UN, saya mencicil belajar SBMPTN, just in case nggak diterima SNMPTN meski nilai rata-rata rapor aman di kisaran 90an. Menurut banyak cerita, memang banyak anak dengan nilai rapor memuaskan, namun nggak lolos SNMPTN. Lagi pula, sekolah saya swasta, jelas lebih sedikit kuotanya ketimbang sekolah negeri. Sekolah saya pun nggak punya rekam jejak yang bagus dalam lomba antarsekolah. Bahkan, sekolah saya pernah di-blacklist oleh ITS dan Unair karena ada yang diterima SNMPTN di sana namun nggak diambil.

Pengumuman SNMPTN

Ada satu berita menghebohkan saat itu: pengumuman SNMPTN dimajukan jadi 9 Mei jam 13.00 WIB. Mendekati pengumuman yang krusial itu, saya terus harap-harap cemas. Kebetulan, 9 Mei adalah tanggal saya berangkat ke Bali bersama teman-teman untuk liburan. Saya yang seharusnya tidur cepat karena pagi-pagi harus ke bandara, malah nggak bisa tidur.

Singkat cerita, saya menunggu di pinggir kolam renang hotel sembari melihat teman-teman berenang. 13.30, 13.31, 13.32 WITA (ingat, saya kan lagi di Bali waktu itu), rasanya waktu lambat banget. Karena nggak ingin mati penasaran, saya pun ikut terjun renang sampai 13.55. Pas banget 5 menit buat bersih-bersih. Saya kembali ke depan layar ponsel pada jam 13.59. Jujur, tangan saya gemetaran. Badan panas dingin. Kebetulan ada satu teman seperjalanan saya, namanya Tonny, yang ikut SNMPTN juga, dan saya mengingatkan, "Ton, ayo bareng buka web'e SNMPTN! Aku ga sabar iki wes'an."

Pukul 14.01 WITA, saya baru berhasil masuk ke laman input nomor peserta dan tanggal lahir. Saya dengan hati-hati mengetik nomornya. Dan betapa kagetnya saya ketika mengetahui bahwa saya, Christopher Salim, diterima di ITS lewat SNMPTN di pilihan kedua, Teknik Geofisika! Screenshot-nya kehapus, jadi ini saja:

(yang ini dari smits.ac.id.)

Sementara itu, saya juga denger bahwa teman-teman satu sekolah yang lain nggak lolos SNMPTN, termasuk teman saya yang milih jurusan kedokteran Unair itu. Jadilah saya satu-satunya yang lolos SNMPTN dari sekolah saya. Rasanya cukup prihatin, tapi tetap saja senang karena saya berhasil lolos di ITS. Saya saat itu mengabarkan hasil SNMPTN kepada orangtua dan guru. Mereka bangga dengan hasil ini. Saya juga bersyukur dan yakin kalau Tuhan menempatkan saya di ITS, dan jodoh nggak akan ke mana-mana. Buktinya, saya nggak perlu ikut SBMPTN, bersusah payah mengerjakan tes yang susahnya lima kali lipat dari UN. Nggak, saya nggak bermaksud sombong.

Selanjutnya, saya akan ceritakan pengalaman daftar ulang di ITS.

(Added: untuk part 2 bisa dilihat di sini.)

Saturday, July 9, 2016

Apa Definisi Sukses Menurut Saya?

0

"Belajar yang bener, biar jadi orang sukses."
"Banyak-banyakan mobil aja; yang paling banyak dia yang lebih sukses."
"Yah, duitnya orang itu pas-pasan. Mungkin dia nggak sukses."

Pernah denger kata-kata seperti ini? Mungkin yang pertama itu kata orangtua, sedangkan sisanya bisa jadi kata teman atau orang yang sudah kaya. Orangtua mendefinisikan sukses sebagai kemampuan kita untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya; teman kita mendefinisikan sukses sebagai kemampuan kita untuk menggali uang sebanyak-banyaknya. Yeah, struktur kalimatnya sama, namun objeknya berbeda.

Definisi sukses itu objektif atau subjektif?

(sumber: www.pinterest.com)


Oke, mungkin tiga contoh di atas terlalu bias. Sekarang, saya mencoba untuk menunjukkan arti sukses secara objektif. Menurut KBBI seperti ini:

kesuksesan/ke·suk·ses·an/ n keberhasilan; keberuntungan: kebanyakan orang senang mempelajari - orang lain untuk ditiru

Keberhasilan di sini masih belum jelas artinya. Coba saya kutip sumber lainnya, misalnya dari Oxford Dictionary:

The accomplishment of an aim or purpose; The attainment of famewealth, or social status.

Seperti yang sudah kalian lihat, sukses berarti keberhasilan mencapai tujuan. Masalahnya, tujuan setiap orang nggak selalu sama. Yang membuatmu merasa sukses belum tentu membuat saya merasa sukses juga. Mungkin bagi sebagian orang, sukses itu berarti bisa beli rumah dan mobil. Bagi sebagian yang lain, sukses bisa juga berarti berhasil bangun pagi setiap harinya. Bagi yang sering sembelit, salah satu makna sukses berarti bisa buang air besar setiap paginya. Hore!

Kesimpulannya, definisi sukses itu sangat subjektif dan personal. Kita pasti punya definisi sukses sendiri-sendiri. Sudahkah kamu menemukan arti kesuksesanmu sendiri?

An example

(Warning: contoh ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan atau mengunggulkan jenis pekerjaan tertentu. Please be open-minded when reading this. Kalau rentan tersinggung, lompati saja bagian ini.)

Katakanlah ada dua orang yang bersahabat, yang satu bernama Budi dan satu lagi bernama Arif. Budi selalu gagal mendapat nilai bagus, sedangkan Arif selalu langganan menjadi juara kelas, bahkan juara umum di sekolah. Namun, Budi selalu dapat nilai jelek karena biasanya dia mengelola toko warisan ayahnya sampai malam sehingga bisa memperoleh omset yang banyak. Sampai sini, mana yang lebih sukses? Renungkan dulu.

Jawabannya, tergantung bagaimana kamu mendefinisikan kesuksesan. Sebagian menjawab Budi, sebagian lagi Arif, dan sisanya mungkin nggak menjawab sama sekali.

Kita lanjut. Beberapa tahun kemudian, Budi memutuskan untuk nggak kuliah karena ingin jadi pengusaha, sedangkan Arif kuliah dan selalu mendapat IP hampir sempurna setiap semesternya. Lalu, Arif pun bekerja biasa-biasa saja dengan gaji UMR, sedangkan Budi sudah memperoleh omset ratusan juta per tahun. 

Mana yang lebih sukses?

Sekali lagi, jawabannya subjektif. Ada yang menjawab, Arif suksesnya waktu sekolah aja, tapi waktu kerja nggak bisa apa-apa. Percuma dong sekolah tinggi-tinggi tapi gitu-gitu aja.

Definisi sukses menurut saya

Beberapa hari yang lalu, saya mengunduh e-book yang cukup intriguing and thought -provoking. Bukunya seperti ini:

(sumber: psychcentral.com)

Di dalamnya, ada kutipan dari seorang filsuf, yaitu Soren Kierkegaard yang seperti ini:

(sumber: www.pinterest.com)
Definisi sukses menurut saya kurang lebih adalah bagaimana kita bisa menjadi diri kita sendiri yang sebagaimana mestinya. Misal, kita mempunyai bakat seni, maka kita menyalurkan bakat kita ke bidang seni, bukan yang lain. Ya, hal itu memang berat, karena terkadang kita dipaksa untuk beralih ke bidang lain yang bergaji lebih tinggi. Saya juga mengalami seperti itu. Namun, bagaimana kita tidak membuang diri kita yang semestinya adalah hal yang membuat kita sukses. Intinya, do what you love.

Yang kedua, definisi sukses menurut saya adalah bagaimana saya menyalurkan bakat dan kemampuan kita agar dapat diterapkan oleh masyarakat. Sekarang, saya masih berpikir bagaimana kemampuan saya bisa berguna bagi masyarakat. 

Yang ketiga, sukses berarti bisa membuktikan pada orangtua bahwa kita bisa berdiri sendiri menghadapi dunia yang keras serta membuat mereka bahagia. Ayolah, orangtua mendidik kita susah payah, masa membuat orangtua bahagia sedikit saja nggak bisa?

What's your definition of success?


Monday, April 25, 2016

Saya Lolos NUS!

5

Kalian tahu, hasil itu nggak pernah mengkhianati perjuangan. Ya, meskipun kadang mengkhianati karena faktor X yang kita nggak bisa kendalikan. Tetapi, kita tetap bisa mendapatkan yang terbaik jika kita mau berjuang semaksimal mungkin.

Dan lihatlah saya. Saya bukan anak genius yang bisa lolos ke Oimpiade Sains Nasional, apalagi mewakili Indonesia di kancah internasional. Saya bukan berasal dari sekolah favorit di Indonesia. Saya hanya anak SMA biasa yang menaruh harapan di atas tingkat rata-rata. Dulu, saya bermimpi untuk diterima di universitas top dunia seperti NUS atau NTU Singapura.

Namun, rasanya mimpi itu sirna setelah aku menerima penolakan dari NTU. Rasanya sakit setelah berjuang sekian lama dan sekeras mungkin, belajar materi anak kuliah setiap hari saat liburan hingga mencari buku-buku referensi, namun nggak membuahkan hasil.

Tetapi, ada satu hal yang mengubah cara pikirku saat itu.

Pada 25 April 2016, saya menerima email dari NUS seperti ini:
Begitu mengguncang pikiran. Saya pun tersentak kaget setelah membaca email tersebut karena sebelumnya sudah berpikir, "Wah, nggak keterima nih. Lainnya sudah dapet, sini belum."

Tapi, kenyataan berkata lain.

Saya termasuk satu dari segelintir anak Indonesia yang diterima NUS! Saya lolos NUS!

Ya, meski kelihatannya hanya waiting list awalnya.

Meski begitu, hal ini pasti menjadi suatu kebangaan, karena kesempatan ini sangatlah langka. Pada akhirnya, baik saya menerima atau menolak kursi kuliah dari NUS, hal ini akan terus terkenang menjadi memori yang baik.

Oh hidup, kamu tidak selalu kejam ternyata.

Wednesday, April 20, 2016

Surat untuk Diriku

0

Hai, ini aku, dirimu yang sudah berubah. Aku bukan seperti dulu, bukan orang yang membenci dirinya sendiri seperti beberapa tahun silam. Bukan pula orang yang terombang-ambing dalam kenggakjelasan siapa dirinya dan mengapa dirinya dilahirkan. Kuharap kabarmu baik-baik saja dan kamu bisa meluangkan sedikit waktu untuk membaca surat ini. Bukan maksudku untuk menggurui, namun bacalah sebentar saja. Aku ingin berbagi sedikit cerita denganmu.

Hidup itu nggak berarti… sampai kamu memberinya makna.

Pada awal masa SMA, mungkin kamu merasa bangga karena bisa mengenakan seragam putih abu-abu. Percayalah, aku juga merasakannya dulu. Nggak ada perasaan yang dapat mengalahkannya. Kamu berpikir semuanya akan baik-baik saja selama SMA.

Namun, kenyataannya lain. Kamu bingung bagaimana menjalani masa SMA. Di kelas, kamu sekadar mengikuti pelajaran dari guru, nggak lebih. Kamu mencari kesenangan semata dengan teman sekelompokmu di kelas, nggak peduli dengan hari esok. Dan terbuanglah sudah satu tahun awal yang berguna tersebut.

Sampai akhirnya waktu pemilihan jurusan di kelas sebelas, dan kamu harus memilih antara jurusan yang diminati teman-temanmu dan jurusan yang kamu sukai. Seperti terbentang dua jalan di depanmu: mengikuti kata hatimu atau kata orang-orang. Mulailah pikiranmu melayang ke mana-mana, bingung membuat keputusan. Dilema.

Sekarang, yang ingin aku katakan adalah masa SMA nggak sesepele itu, temanku. Ini tempatmu mencari arti dirimu dan siapa kamu sebenarnya. Mungkin kamu berpikir bahwa kamu hanyalah seonggok campuran sel telur dan sel sperma yang bertambah besar. Nggak, bukan begitu. Ketika kamu melakukan hal yang berguna, jati dirimu akan muncul ke permukaan, dan kamu akan berpikir, “Wah, aku berbeda!”

Jadi, jangan sia-siakan.

Kegagalan itu pasti terjadi, tapi menganggapnya sebagai sebuah kegagalan adalah pilihan.

Di suatu titik, mungkin kamu merenungi hal yang sama persis dengan tulisan ini. Akhirnya, kamu memutuskan untuk mencoba hal-hal yang baru di luar sana. Berbagai kegiatan seperti organisasi sekolah, lomba akademik, dan lain-lain nggak lupa kamu ikuti. Kamu berharap semuanya akan berjalan dengan mulus.

Tetapi, semuanya berakhir dengan kegagalan. Kamu ditolak, kamu kalah, kamu tersingkir. Mereka mulai mengejekmu karena mereka merasa kamu bukanlah seseorang yang spesial. Kamu bukan siapa-siapa. Kata-kata mereka merasuk ke dalam hatimu dan kamu menganggap memang dirimu yang salah. Hatimu tergores, tetapi nggak berdarah. Kamu terjatuh, dan seperti nggak ada tanda-tanda kamu akan mendarat. Kamu merasa nggak dilahirkan untuk menjadi pemenang dan orang sukses. Orang-orang lain mulai kamu bandingkan dengan dirimu sendiri.

“Kenapa dia lebih ganteng?”

“Kenapa dia multitalent?”

“Kenapa dia seperti nggak pernah gagal dalam hidupnya, sedangkan aku selalu gagal?”

Begini, kegagalan pasti terjadi pada setiap manusia cepat atau lambat. Thomas Alva Edison selalu gagal sebelum dia akhirnya berhasil mematenkan bola lampu. Apakah dia merasa gagal? Nggak! Dia hanya menganggap caranya belum tepat dan perlu diperbaiki. Apa yang terjadi ketika dia menganggap itu adalah sebuah kegagalan pada percobaan pertama dan nggak mau belajar lagi?

Hidup memang kejam, namun itu terserah kamu untuk menganggap kegagalan adalah sebuah kegagalan. Kamu bisa gagal satu kali saja. Tetapi, jika kamu menganggap kegagalan adalah beban, pada percobaan pertama pun kamu akan menyerah. Kegagalan ada untuk dipelajari, bukan untuk diratapi. Semakin sering kamu merasakan kegagalan dan belajar darinya, semakin cepat kamu dewasa.

He who has never failed somewhere, that man cannot be great. Failure is the true test of greatness.” – Herman Melville.

Kita nggak bisa menyenangkan semua orang.

Oke, mungkin kamu sudah move on dari kegagalan di masa lalu. Masalahnya, mereka masih ada. Mereka yang setia menamparmu dengan kegagalanmu sendiri. Mereka yang bermulut tajam dan berkata, “Yah, udah nggak lolos ini, nggak lolos itu juga.” Mereka yang nggak akan mengerti ketika kamu balas dengan dalil atau nasihat. Dan kamu mulai berpikir bagaimana caranya membuat mereka menyukai kamu. Kamu berpikir masalahnya ada pada kamu, dan kamu memang belum menjadi manusia yang berkualitas.

Lalu, bagaimana caranya? Nggak perlu mencoba hal seperti itu. Sia-sia. Sebaik-baiknya malaikat, masih ada setan yang membencinya. Sebaik-baiknya manusia, pasti ada yang nggak suka. No matter what we do, people will always have something to say. Kamu nggak mungkin bisa menyenangkan semua orang. Ketika waktumu terbuang untuk meladeni mereka yang membencimu, waktumu untuk bergaul dengan orang yang menyukai kamu akan semakin tipis. Jadi, tetaplah berbuat yang terbaik dan abaikan mereka. Hidupmu itu sebuah sandiwara. Kamu sebagai pemeran utama dan orang lain hanya sebagai penonton. Yang masalah bukanlah apa kata penonton, namun mengapa kamu berhenti berakting karena gentar dengan segelintir penonton itu.


Percayalah, aku sudah melalui hal-hal tersebut. Sekarang giliranmu untuk merenungkan hal tersebut.

Monday, April 18, 2016

Indahnya Masa SMA

0

Setelah belakangan ini berkutat dengan artikel yang berat-berat macam kelebihan dan kekurangan Ujian Nasional, lebih baik sekarang kita bahas yang lebih nyantai.

Jadi, mulai dari mana ya....

Oh, gini aja.

Saya baru saja menyelesaikan Ujian Nasional, seperti yang kalian ketahui. Sejak masa SD sampai SMA, UN selalu menandakan masa berakhirnya jenjang pendidikan tertentu. Setuju? Jadi, otomatis sebentar lagi saya lulus SMA dan lanjut kuliah, dong. Selesai Ujian Nasional berarti indahnya masa SMA juga ikut selesai. Itu pun kalau sekolah meluluskan loh ya.

Dulu, waktu pertama kali masuk SMA, saya merasa acuh tak acuh sama suasana SMA. Cuma merasa, "Halah... cuma tiga tahun aja loh." Namun, semakin ke sini, kata-kata orang seperti, "Masa SMA jangan disia-siakan!" semakin terasa bener. Ini bener-bener terasa seperti masa yang langka. Masa SMA itu indah.

Memang, masa SMA itu indah, bikin sebel, bikin baper, tapi juga bikin kangen akan kenangannya. Seberat apa pun kita mencoba, pasti yang namanya masa SMA nggak akan terulang lagi. Setuju? Bahkan ketika kalian mencoba untuk membawa suasana SMA ke dunia perkuliahan, feel-nya pasti sudah beda banget. Seperti ada missing piece gitu. Entah itu teman-temannya, suasana kelas, dan lain-lain.

Saya kepengin membagikan sedikit cerita tentang indahnya masa SMA. Kali ini, saya akan pakai subjeknya sebagai "kamu" agar feel-nya lebih ngena. Yuk, mulai!

Masa SMA itu masa-masa kamu mencari jati diri. Waktu SMP, mungkin kamu masih sibuk main-main nggak jelas. Kalau ditanya cita-citamu apa, kamu jawab sekenanya, "Jadi dokter! Eh, tapi jadi pengusaha juga seru sih bisa tajir...." Pokoknya, nggak jelas banget deh hidupmu!

Tapi, semua berbeda ketika kamu masuk SMA.

Kamu harus punya arah hidup. Artinya, kamu harus mempertanggungjawabkan kata-katamu mengenai cita-cita dan impian. Kamu sudah nggak bisa ngomong tok. Misalnya, kamu bilang, "Aku pengin jadi pengusaha sukses!" Nah, masalahnya, kamu siap banting tulang untuk promosi, nggak? Siap gagal? Siap merugi? Dari sinilah, kamu perlu yang namanya identitas diri supaya bisa lebih teguh mencapai impianmu tersebut.

Bukan, bukan sekadar KTP atau SIM. Maksudnya, kamu tahu kamu itu siapa. Kamu kenal betul apa kelebihan dan kekuranganmu. Yang paling penting, kamu tahu kenapa kamu dilahirkan. Caranya supaya bisa menemukan identitas dirimu ya cuma satu: cobalah hal-hal baru! Dengan banyak mencoba, lama-kelamaan kamu tahu di mana minatmu yang sebenarnya. Jadi, masa SMA itu nggak seru kalau kamu cuma sekolah-pulang-sekolah-pulang.

Yang kedua, masa SMA ini terkenal dengan kegilaannya. Iya, benar. Kapan lagi bisa merasakan bolos kelas bareng-bareng? Kapan lagi bisa merasakan bagi-bagi contekan sekelas? Kapan lagi bisa merasakan cinta monyet di kelas? Kapan lagi bisa merasakan pakai seragam abu-abu setiap hari Senin? Kapan lagi bisa merasakan dihukum menyapu sekolah kalau terlambat? Kapan lagi bisa merasakan dihukum waktu upacara karena atribut nggak lengkap?

Kapan?

Ya cuma masa SMA ini!

Sayangnya, kamu nggak bisa senang-senang terus. Ada kalanya masa SMA harus berakhir dan kamu mulai menjalani kehidupan yang sesungguhnya.

Misalnya, pacaran anak SMA jelas beda dengan pacaran dewasa. Waktu SMA, mungkin gampang banget untuk dapat pacar. Tinggal buat dia sering ketawa sama kamu, terus tinggal bilang, "Maukah kamu jadi pacarku?" Udah pacaran, masih ketemu tiap Senin sampai Jumat. Indahnya dunia.

Waktu kuliah, nggak bisa semudah itu. Kamu cuma bisa dapet pacar (calon suami/istri) kalau kamu punya penghasilan yang jelas, pekerjaan yang stabil, tabungan yang mencukupi, belum lagi restu dari orangtua masalah suku atau agama. Belum lagi kalau harus LDR. Belum lagi kalau harus berantem karena beda prinsip. Belum lagi... sudahlah, hal ini makin rumit.

Tadi asmara, sekarang masalah pendidikan. Waktu sekolah, masih ada yang mengingatkan untuk kerja PR, ikut ulangan susulan, melengkapi catatan, nggak bolos dan lain-lain. Masih ada guru yang setia mendongkrak nilaimu hanya supaya kamu bisa naik kelas. Terus, kalau ketahuan menyontek, mungkin hukumannya cuma nilai nol, atau malah ditegur saja. Intinya, gampang banget bilang prinsip mlebu bareng metu bareng di masa SMA ini.

Waktu kuliah, kamu nggak bisa seperti itu lagi. Dosen nggak ambil pusing kalau kamu absen terus. Dosen nggak ambil pusing kalau kamu di kelas bawa Sprite dicampur Vanish terus mulai mabu-mabu di kursimu. Dosen nggak ambil pusing kalau kamu nggak kerjakan tugas. Yang penting dosen bisa kasih nilai seadanya. Kalau jelek, ya harus mengulang mata kuliah itu. Yang lebih parah, kalau kepergok menyontek saat ujian, kamu harus mengulang mata kuliah itu semester depan. Bahkan, ketika skripsimu mengandung unsur plagiarisme, kamu terancam dikeluarkan dari kampus. Jadi, memang keras.

Jadi, nikmati masa SMA-mu, teman, sebelum kamu bertemu dengan kerasnya kehidupan luar.

P.S: saya baper waktu nulis ini.

Tuesday, March 22, 2016

Apa yang Terjadi, Indonesia? Saatnya Belajar!

0

Sepuluh tahun lagi, dunia sudah maju. Masalahnya, apa yang terjadi dengan Indonesia? Saya setiap hari memikirkan hal tersebut. Apakah bakal makin maju jadinya? Makin terbelakang? Atau jalan di tempat saja? Sebelum saya melanjutkan, saya minta Anda menutup mata sejenak. Bayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia sepuluh tahun lagi? Apakah negara ini sudah saatnya belajar?

Rasakan dalam pikiran Anda. Visualisasikan. Anggaplah Anda bermimpi tentang masa depan.

Saya tidak mengajak Anda menjadi mentalist. Hanya kemampuan berpikir kritis yang ingin saya tularkan.

Oke, kita kembali ke permasalahan. Sekarang tahun 2016. Artinya, sudah nyaris 71 tahun negara ini merdeka ketika saya menulis artikel ini.  Tujuh. Puluh. Satu. Bukan angka yang kecil.

Masalahnya, apa negara ini sudah dewasa?

Kita sering kenal jargon, "Tua belum tentu dewasa." Saya pernah menjumpai seorang pria berusia tiga puluhan, namun dari segi mental, dia seperti masih berumur praremaja. Emosinya nggak stabil. Ada yang nggak bener sedikit langsung bentak-bentak.

Coba melirik sebentar ke negara lain. Singapura baru merdeka tahun 1965. Lebih telat dua puluh tahun dibanding Indonesia. Secara teritorial, Singapura lebih kecil dari Jakarta. Menurut pemikiran teoretis, harusnya Indonesia bisa menang, dong?

Nyatanya tidak. Lihat Singapura sekarang. Satu contoh saja, kenapa banyak pelajar Indonesia yang mencoba belajar di Singapura?
Masalahnya, kenapa jarang sekali, atau tidak pernah, pelajar Singapura mengenyam pendidikan di Indonesia?

Pikirkan baik-baik. Apa yang salah? Apa yang terjadi? Kok bisa?

Mungkin contoh di atas bisa membuat Anda sedikit lebih membayangkan bagaimana kondisi Indonesia sekarang.

Kita masuk ke contoh lain.

Kalau Singapura menganggap budaya kiasu-nya yang paling sempurna di dunia, apakah negara itu bisa seperti sekarang? Kalau Amerika Serikat menolak kerja sama dengan negara lain karena merasa sudah menjadi negara superpower, apa yang terjadi sekarang?

Ada satu hal yang tidak dimiliki Indonesia, namun dimiliki negara lain: berpikir secara luas. Masyarakat secara gamblang mengungkapan bahwa pemerintah beragama atau suku lain hendaknya ditolak. Mereka lebih baik memilih pemimpin yang beragama sama, namun tetap saja akhirnya korupsi.

Masyarakat membela yang pandai berbicara daripada pandai berpikir. Masyarakat mendukung mereka yang berduit banyak. Masyarakat lebih mendukung demonstrasi anarkis daripada mufakat.

Logika dari mana?

Masyarakat secara gamblang mengungkapkan bahwa adegan pornografi harus dihapuskan dari televisi dan internet. Bahkan, tupai berpakaian dalam pun disensor. Negara yang sangat menjunjung nilai akhlak, bukan?

Tapi, apakah tingkat pemerkosaan di Indonesia berkurang? Saya belum melihat perkembangan yang signifikan.

Bayangkan film Fast and Furious diproduksi di Indonesia, pasti sudah sepi penonton. Kenapa? Karena disensor semua! Balapan disensor, karena memberi contoh yang tidak baik: balap liar. Baku hantam, sensor juga. Ciuman, sensor juga. Kurang apa?

Awalnya, saya percaya Indonesia bisa berkembang. Ini kan negara terbesar keempat di dunia dengan sumber daya alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang beragam? Ini kan negara kepulauan yang menjunjung demokrasi? Ini kan negara yang "katanya" menjunjung nilai ketuhanan?

Salah satu yang perlu negara kita lakukan adalah berbenah. Jangan jadi masyarakat yang konservatif. Kita bukan hidup di masa di mana kebebasan diopresi. Kita bukan masyarakat yang stagnan. Ingat, waktu terus berjalan. Dunia terus berkembang. Dunia ini tidak hanya Indonesia.

Bukalah mata, lihat baik-baik bagaimana negara maju mengembangkan perekonomiannya. Bagaimana kehidupan antarmasyarakat di negara maju. Di sana, masyarakat berpikiran terbuka. Ketika warga lain menganut agama yang berbeda, silakan. Ketika warga lain berpakaian agak terbuka, silakan. Asal tidak merugikan diri sendiri dan sesama. Anehnya, di Indonesia, orang lebih suka mengurusi urusan pribadi orang lain (agama, kepercayaan) ketimbang berbenah bagaimana supaya tidak merugikan pribadi lain.

Ah, tapi rasanya susah untuk maju dalam waktu dekat ini. Lah perkembangan teknologi saja didemo. Sopir taksi konvensional memprotes taksi berbasis teknologi.

Ayolah, Indonesia. Saatnya belajar. Jangan mundur lima belas tahun ke belakang.

Thursday, February 18, 2016

Pengalaman UEE NUS: Greget!

20

Maaf beberapa bulan ini saya nggak nge-post di blog, karena sempat terhanyut oleh rutinitas *halah. Oke, jadi intinya ini posting pertama sejak Oktober 2015. Lama banget, ya? Iya, memang. Jadi, langsung saja saya cerita.

Bagi yang belum tahu, NUS itu singkatan dari National University of Singapore. Lokasinya di pusat kota (downtown) Singapura, bisa dibilang strategis. Kayaknya keren gitu, kan? Iya, memang, secara universitas ini menduduki peringkat 12 di QS World University Ranking (ceknya sih pada 18 Februari 2016, jadi bisa saja besok-besok peringkatnya berubah).

Friday, January 23, 2015

Perkenalan Blog

0

Satu kata yang sering dibicarakan orang. Satu kata yang sering muncul di laman Google. Satu kata yang kelihatan sederhana, tapi menarik. Sebut aja blog.
Aku jadi tertarik buat blog, dan tentunya posting perdana ini. Mungkin, dengan punya blog, aku bisa menguasai dunia.
...
Bercanda. Jangan dimasukin ke hati. Kenapa aku buat blog? Karena...

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com