Monday, January 22, 2018

Am I Good Enough?

1

Belakangan ini, saya membatasi akses ke media sosial seperti Instagram. Capek. Capek sama drama yang ada di dalamnya. Yang bikin lebih capek lagi, saya capek sama "good life, better life, life goal" yang orang-orang tunjukkan. Makan di restoran mahal, show off waktu menang lomba, show off keterima PTN, show off barang baru hasil belanjaan, show off lagi jalan-jalan di luar negeri, dan banyak lagi. Listnya masih panjang, tapi saya capek nulisnya, saking banyaknya.

It drained me mentally. It made me question my self-confidence.

Apakah saya udah cukup bagus? Dibandingkan sama mereka yang kelihatannya punya segala sesuatu di hidup ini?

Saya pernah ditolak masuk OSIS berkali-kali waktu masih SMP maupun SMA, ditolak masuk panitia MOS waktu SMA, diolok-olok satu angkatan gara-gara ditolak OSIS dan panmos dan dikira aneh, dipermalukan guru di depan kelas dengan beliau bilang kalau saya nggak bisa ngomong di depan orang (literally "nggak bisa", bukan "belum bisa"), sampai yang paling mainstream: ditolak cewek berkali-kali bahkan sebelum nembak.

Saya pernah juga belasan kali gagal menang lomba bahkan sampai sekarang (maksimal cuma sampe final), gagal keterima beasiswa di dua universitas ternama di Singapura meski teman saya kayak gampang banget bisa keterima di dua-duanya saking pinternya. Sekarang, saya mulai insecure sama 5-10 tahun ke depan: takut nggak dapat kerja dan nggak bisa berguna buat orang lain.

Tapi, di titik yang paling rendah, saya mikir lagi mungkin saja saya yang kurang bersyukur.

Waktu saya bisa mencoba berorganisasi, meski ketolak sekalipun, banyak orang di luar sana yang bahkan nggak kenal siapa-siapa karena beneran hidup sendirian. Waktu saya mencoba fit in ke lingkungan sosial, banyak orang yang punya disabilitas mental sampai lebih susah lagi buat diterima. Waktu saya mencoba memenangkan hati lawan jenis dan gagal, saya ingat masih ada banyak tangan yang menopang. Ada tangan-Nya yang menopang dan saya nggak akan pernah sendirian.

Waktu saya sedih karena nggak bisa menang lomba dan nggak bisa kuliah di universitas ternama, saya sadar kalau sebenarnya banyak yang bahkan nggak bisa sekolah. Bukan karena mereka nggak mau sekolah, tapi memang nggak bisa sekolah. Some people are born with silver spoon in their mouth and some others are born in absolute poverty. Hidup memang sekejam itu.

Rasanya melegakan. Hal ini bahkan nggak ada di feeds Instagram yang isinya penuh dengan kesempurnaan.


Saturday, January 13, 2018

Flashback (Part 2)

0

Untuk part 1 bisa dibaca di sini.

Setelah SMA, kuliah menanti. Saya kira dunia kuliah itu kayak di FTV: pake baju bebas terus bisa jalan jalan di kampus menikmati udara segar sama temen-temen. Gitu terus sampai lulus. Eh nggak sesimple itu ternyata.

Di sini, saya menemukan tempat saya berpaling. Tempat untuk berbagi. Tempat untuk berjuang bersama selama kuliah. Di sini juga saya belajar mendewasakan diri melalui serangkaian proses yang disusun untuk kami. Kuliah untuk diri sendiri itu gampang: masuk kelas, absen, dengerin dosen, pulang, rapat panitia yang sebenernya cuma ikutan buat menuhin syarat lulus. Tapi, yang harus kami capai lebih dari itu. Hiduplah untuk orang lain: angkatan, jurusan, kampus, hingga negara. Kalau perlu malah lebih bagus untuk dunia. 
(saat kuliah lapangan. Halo TG05.)

(saat orientasi awal. Masih botak)

Setelah itu, perjalanan belum berakhir. Setelah mengamati fenomena "pendidikan" oleh himpunan jurusan masing-masing, saya sadar kalau gelar "maba itu bodoh" yang disematkan ternyata hanyalah tradisi. Mahasiswa baru belum tentu bodoh, dan mahasiswa lama belum tentu pintar. Ketika sudah "selesai" menjalani proses, maba seakan mendadak terlihat pintar. Tetapi, ketika sudah mengemban tanggung jawab masing-masing, apa yang terjadi? Ternyata sama saja.

Ketika kita sudah menjalankan kewajiban, jangan cepat puas. Bisa jadi, kita cuma "kebetulan bisa" menyelesaikan kewajiban tersebut. Buatlah "kebetulan bisa" itu jadi "memang bisa".


Monday, January 1, 2018

Kita Semua Takut

0

Kita semua pernah takut.

Waktu masih kecil, kita takut pergi ke toilet sendirian karena gelap. Kita takut pergi ke tempat sepi sendirian karena takut diculik atau takut lihat hantu.

Kita semua pernah takut.

Waktu masih remaja, kita takut nggak bisa dapat nilai bagus di sekolah. Kita takut nggak punya teman sebangku atau sekelompok. Kita takut nggak punya pacar ketika teman-teman kita sudah punya pacar.

Kita semua pernah takut.

Waktu sudah kuliah dan menuju sarjana, kita takut akan masa depan lebih daripada sebelumnya. Kita takut jadi sarjana kosongan, sarjana yang hanya punya gelar tanpa ilmu karena hari-hari di kelas dihabiskan dengan titip absen, tidur, dan main. Sarjana yang hanya punya gelar tanpa pencapaian dan pengalaman karena setelah kuliah langsung pulang ke rumah atau kost tanpa ikut organisasi atau lomba. Sarjana yang hanya punya gelar tanpa koneksi karena merasa semua itu nggak ada gunanya; koneksi bisa nanti-nanti aja. Kita takut nggak bisa kerja. Kita takut nggak bisa punya kehidupan yang stabil buat menunjang kita sendiri dan calon keluarga kita.

Kita semua pernah takut. Kita semua sedang takut. Kita semua akan takut.

Meski begitu, bebaskan, temanku. This too, shall pass. Lakukan yang terbaik.

Semangat.

Sunday, December 31, 2017

Flashback (Part 1)

0

Empat setengah tahun.

Sudah empat setengah tahun sejak saya masuk SMA. Masih young dumb and broke. Masih nggak ada arah dan tujuan. Jangankan lima tahun ke depan, rencana buat besok pun saya nggak punya. Sekarang masih young dumb and broke, sih. Tapi nggak parah banget.

(biarin young dumb and broke, yang penting pernah foto berdua sama bule.)

Hampir tiga tahun.

Sudah hampir tiga tahun sejak saya kenal komunitas di luar zona nyaman saya untuk pertama kalinya. Shout out to Kampus Fiksi angkatan 12. Tempat saya pertama kali menyadari bahwa setua apa pun kamu, nggak ada yang bisa melarang untuk terus terbang. Semuda apa pun kamu, nggak ada yang bisa melarang untuk mulai meniti batu-batu kecil itu, mulai berlari-lari kecil, dan mulai sadar kalau kamu bisa tersandung kapan saja. Jatuh dari ketinggian itu sakit, tapi mungkin saja lupa untuk menikmati hidup dengan berbicara melalui banyak media (termasuk dengan menulis) akan jauh lebih sakit. Itu yang saya resapi. Meski sudah jarang muncul di grup WhatsApp mereka, saya tetap berusaha mengingat mereka semua. Mengingat apa yang sudah kami lalui selama berproses. Kalian memang terbaik.

(hayo tebak saya yang mana)

Dua setengah tahun.

Bukan Dua Lipa, tapi dua setengah tahun. Waktu itu, baru sadar tau-tau udah kelas 12. Udah bukan waktunya main-main. Secara nggak langsung, lingkungan sekitar saya kayak berusaha nyinyir ke saya, "Hayoooo, kuliah mana nih jadinya? Atau nggak kuliah aja? Jadi penulis. Atau jadi rapper yang bisa go international ke Amerika, mumpung mukanya mirip."

Pusing. Peer pressure, teacher pressure, parent pressure, hydrostatic pressure, atmospheric pressure, semuanya ada. It was as if I could not decide future on my own. Meski dua tahun sudah berlalu sejak masuk SMA, saya masih saja meniti langkah-langkah kecil di batu-batu kecil itu. Belum siap untuk melintasi jurang dengan langkah-langkah yang besar. Lalu gimana? Should I give up, stand still, and eventually be consumed by the endless vortexes of life? Atau saya harus memaksa langkah saya biar besar?

Salah satu (salah dua) langkah besar yang saya coba ambil selama SMA adalah: mendaftar di universitas ternama di Singapura yaitu NTU dan NUS. Baca di sini dan sini biar bisa tahu pengalamannya.

Pada akhirnya, saya lolos. Terbukti saya bisa mengambil langkah besar itu. Saya dengan latar belakang yang medioker, bukan dari sekolah favorit, bukan siswa yang berprestasi, bisa berjalan sejauh itu. Tinggal satu senti lagi untuk sampai ke ujung jurang itu.

(bahkan sekarang masih saya tempel di pintu kamar)

Akan tetapi, shit happens sometimes. Saya nggak jadi berangkat ke sana karena ini dan itu. Rasanya seperti kamu bangun di suatu pagi, dan kakimu menyerah begitu saja tanpa alasan, dan kamu nggak bisa lanjut meski tujuanmu itu tinggal satu senti saja.

Untungnya, salah dua yang saya sebutkan, saya ganti jadi salah tiga. Ganti rencana jika dibutuhkan, paksa kakimu yang tersangkut itu, meski mungkin rasanya sakit seperti mau lepas. Apa satu lagi itu?Ya, mendaftar ke ITS, salah satu perguruan tinggi favorit di Surabaya, bahkan Indonesia.

Kalau kamu pernah jatuh, pasti kamu berpikir apa kamu bakal jatuh lagi. Itu yang saya rasakan. Apa saya bisa lolos ke ITS dengan segala keterbatasan latar belakang embel-embel sekolah favorit dan perbedaan yang bakal saya rasakan jika saya diterima di sana? 

Nyatanya, saya bisa, meski seperti lolos dari lubang jarum.

Terima kasih, masa remaja. Terima kasih, hidup. Hal omong kosong, tapi penting, apa lagi yang bakal kamu berikan besok?

Tunggu bagian ucapan terima kasih saya selanjutnya.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com