Belakangan ini, saya membatasi akses ke media sosial seperti Instagram. Capek. Capek sama drama yang ada di dalamnya. Yang bikin lebih capek lagi, saya capek sama "good life, better life, life goal" yang orang-orang tunjukkan. Makan di restoran mahal, show off waktu menang lomba, show off keterima PTN, show off barang baru hasil belanjaan, show off lagi jalan-jalan di luar negeri, dan banyak lagi. Listnya masih panjang, tapi saya capek nulisnya, saking banyaknya.
It drained me mentally. It made me question my self-confidence.
Apakah saya udah cukup bagus? Dibandingkan sama mereka yang kelihatannya punya segala sesuatu di hidup ini?
Saya pernah ditolak masuk OSIS berkali-kali waktu masih SMP maupun SMA, ditolak masuk panitia MOS waktu SMA, diolok-olok satu angkatan gara-gara ditolak OSIS dan panmos dan dikira aneh, dipermalukan guru di depan kelas dengan beliau bilang kalau saya nggak bisa ngomong di depan orang (literally "nggak bisa", bukan "belum bisa"), sampai yang paling mainstream: ditolak cewek berkali-kali bahkan sebelum nembak.
Saya pernah juga belasan kali gagal menang lomba bahkan sampai sekarang (maksimal cuma sampe final), gagal keterima beasiswa di dua universitas ternama di Singapura meski teman saya kayak gampang banget bisa keterima di dua-duanya saking pinternya. Sekarang, saya mulai insecure sama 5-10 tahun ke depan: takut nggak dapat kerja dan nggak bisa berguna buat orang lain.
Tapi, di titik yang paling rendah, saya mikir lagi mungkin saja saya yang kurang bersyukur.
Waktu saya bisa mencoba berorganisasi, meski ketolak sekalipun, banyak orang di luar sana yang bahkan nggak kenal siapa-siapa karena beneran hidup sendirian. Waktu saya mencoba fit in ke lingkungan sosial, banyak orang yang punya disabilitas mental sampai lebih susah lagi buat diterima. Waktu saya mencoba memenangkan hati lawan jenis dan gagal, saya ingat masih ada banyak tangan yang menopang. Ada tangan-Nya yang menopang dan saya nggak akan pernah sendirian.
Waktu saya sedih karena nggak bisa menang lomba dan nggak bisa kuliah di universitas ternama, saya sadar kalau sebenarnya banyak yang bahkan nggak bisa sekolah. Bukan karena mereka nggak mau sekolah, tapi memang nggak bisa sekolah. Some people are born with silver spoon in their mouth and some others are born in absolute poverty. Hidup memang sekejam itu.
Rasanya melegakan. Hal ini bahkan nggak ada di feeds Instagram yang isinya penuh dengan kesempurnaan.
It drained me mentally. It made me question my self-confidence.
Apakah saya udah cukup bagus? Dibandingkan sama mereka yang kelihatannya punya segala sesuatu di hidup ini?
Saya pernah ditolak masuk OSIS berkali-kali waktu masih SMP maupun SMA, ditolak masuk panitia MOS waktu SMA, diolok-olok satu angkatan gara-gara ditolak OSIS dan panmos dan dikira aneh, dipermalukan guru di depan kelas dengan beliau bilang kalau saya nggak bisa ngomong di depan orang (literally "nggak bisa", bukan "belum bisa"), sampai yang paling mainstream: ditolak cewek berkali-kali bahkan sebelum nembak.
Saya pernah juga belasan kali gagal menang lomba bahkan sampai sekarang (maksimal cuma sampe final), gagal keterima beasiswa di dua universitas ternama di Singapura meski teman saya kayak gampang banget bisa keterima di dua-duanya saking pinternya. Sekarang, saya mulai insecure sama 5-10 tahun ke depan: takut nggak dapat kerja dan nggak bisa berguna buat orang lain.
Tapi, di titik yang paling rendah, saya mikir lagi mungkin saja saya yang kurang bersyukur.
Waktu saya bisa mencoba berorganisasi, meski ketolak sekalipun, banyak orang di luar sana yang bahkan nggak kenal siapa-siapa karena beneran hidup sendirian. Waktu saya mencoba fit in ke lingkungan sosial, banyak orang yang punya disabilitas mental sampai lebih susah lagi buat diterima. Waktu saya mencoba memenangkan hati lawan jenis dan gagal, saya ingat masih ada banyak tangan yang menopang. Ada tangan-Nya yang menopang dan saya nggak akan pernah sendirian.
Waktu saya sedih karena nggak bisa menang lomba dan nggak bisa kuliah di universitas ternama, saya sadar kalau sebenarnya banyak yang bahkan nggak bisa sekolah. Bukan karena mereka nggak mau sekolah, tapi memang nggak bisa sekolah. Some people are born with silver spoon in their mouth and some others are born in absolute poverty. Hidup memang sekejam itu.
Rasanya melegakan. Hal ini bahkan nggak ada di feeds Instagram yang isinya penuh dengan kesempurnaan.