Sunday, January 1, 2017

Goodbye, 2016!

0

Kebetulan banget post pertama saya di tahun ini persis waktu tahun baru 2017. Anyway, selamat tahun baru 2017 buat yang merayakan. Semoga tahun ini bisa lebih baik dari tahun sebelumnya. Jangan lupa, umur kita nambah satu tahun di tahun ini.

Bicara tahun baru, bagi saya dan teman-teman yang lain, tentu nggak lepas dari refleksi tahun sebelumnya. Kita merenungkan apa yang udah terjadi setahun ke belakang. Hal-hal yang bagus maupun yang kurang mengenakkan terjadi di tahun sebelumnya. Sialnya, cukup banyak hal yang kurang bagus di tahun 2016. Mulai dari munculnya Awkarin yang butthurt sampai lapor polisi (pengikutnya juga ikut muncul, dari Awatit sampai Aw ah Gelap), krisis di Syria, Brexit yang sempat bikin nilai mata uang Inggris anjlok nggak keruan, kasus Ahok, aksi damai yang jadinya malah ngejarah minimarket, sampai Trump jadi presiden Amerika Serikat. 

Seriously, Americans? You did chose Trump as your president?

Beberapa orang penting meninggal di tahun 2016. Satu yang saya ingat: Alan Rickman. 

(sumber: http://www.dnaindia.com/entertainment/report-top-10-memorable-quotes-by-alan-rickman-2165880)

Heran aja sih, kenapa beliau bisa kuat tinggal di Hogwarts berpuluh-puluh tahun tapi sialnya beliau nggak kuat menjalani 2016 sampai selesai?

Tren-tren nggak masuk akal juga muncul di 2016. Kita pasti nggak asing dengan ini:

Mannequin challenge.

Serius deh, apa esensi dari jadi patung selama kurang lebih beberapa puluh detik? Kalau saya disuruh begitu, saya jelas nggak mau. Capek. Terus ada juga bottle flip challenge yang agak ngeselin, soalnya bikin minuman jadi nggak enak diminum lagi. We also may not want to omit that "Kalian semua suci aku penuh dosa" quote.

Oh, satu lagi dari bintang cilik kita. Autotune detected:



Aduh, lupa satu lagi (serius, ini terakhir): om telolet om.


Di balik semua itu, saya tetap bersyukur karena saya masih bisa menyelesaikan resolusi di tahun 2016, walaupun nggak semua. Saya berhasil diterima masuk NUS (baca di sini), lolos masuk ITS, salah satu kampus terbaik di Indonesia (baca di sini), dan dapat nilai UN memuaskan. Keluarga saya juga sehat-sehat aja, dan itu udah sangat cukup buat saya. Hal-hal baik itu lumayan mengompensasi hal yang buruk tadi.

Di tahun yang baru ini, saya juga ingin membuat resolusi baru dan menyelesaikannya, ya, meski resolusinya saya rasa nggak perlu disebar ke orang banyak. Di tahun yang baru ini, saya berharap semua orang bisa bertumbuh ke arah yang lebih baik. Harapannya, tahun sebelumnya bisa jadi pembelajaran dan evaluasi untuk ke depannya. Bagi saya, tahun baru itu bukan masalah pesta mewah untuk menyongsong tahun baru dengan segala macam makanan dan minuman enak, Bukan juga masalah melempar kembang api tepat pada 1 Januari pukul 00.00. Ini bukan hari pesta sejuta umat; bukan juga hari kembang api sedunia

Ini hari tahun baru.

Bukan sekadar momen Bumi telah selesai melakukan satu kali revolusi, tetapi tahun baru adalah waktu yang tepat bagi kita untuk membuka halaman baru dalam kehidupan: membuat resolusi dan mengambil tindakan untuk menyelesaikannya. Apakah saya akan membuat perubahan? Apakah saya akan berpikir dan bertindak lebih bijak dari tahun sebelumnya?

Go ahead. Think and make a change.

Tuesday, July 26, 2016

Si Payah di Sekolah Pasti Bakal Kaya?

0

Saya yakin kalian pasti udah nggak asing dengan kalimat ini:

"Belajar yang rajin biar nilai kamu bagus, terus bisa kerja."

Kamu mungkin percaya dengan kalimat tadi sampai jargon-jargon ini menyerang:

"Orang pinter jadi budaknya orang goblok."

"Kata Bob Sadino, percuma kepinteran, nanti ujung-ujungnya jadi bawahan."

"Orang yang nilai rapornya bagus pasti nggak bisa praktik waktu kerja."

"Anak IPA nggak bisa ngalahin anak IPS kalau urusan banyak-banyakan uang."

Ya, mungkin Indonesia jadi satu dari sedikit negara yang warga-warganya berpikir demikian. Katanya, lebih baik jadi goblok, asal pintar dagang sama pintar ngomong, dijamin kaya. Lebih baik nggak bisa hitung-hitungan, daripada nggak bisa kerja. Lebih baik nggak juara satu, daripada nggak juara jumlah duitnya di antara temen-temen. Intinya, si payah di sekolah pasti bakal kaya. Mungkin ada benernya, tapi kalimat-kalimat di atas serasa pedang bermata dua. Kenapa?


Sisi positif

Kemarin saya membaca How to Win Arguments karya Madsen Pirie, dan saya menemukan poin bahwa dalam berargumen, kita sebaiknya mempertimbangkan dua sisinya: baik dan buruk. Saya tidak ingin jatuh dalam one-sided assessment fallacy, jadi saya coba singgung bagian positif dari kalimat di atas terlebih dahulu.

Yang pertama, nilai sekolah memang nggak selalu menentukan kesuksesan. Contoh yang paling gampang saja, Bill Gates bahkan nggak menyelesaikan studi di Harvard, namun bisa kaya seperti sekarang. Contoh yang lain, saya pernah dengar dari teman saya bahwa ada orang yang suka bolos ke warnet semasa SMA, namun sekarang punya usaha yang sukses. Di sisi yang lain, orang pintar yang biasanya ngasih sontekan ke orang payah di sekolah itu, kerjanya jadi sales. Jelas jadi bawahan orang payah tadi.

Selanjutnya, nggak semua orang memang punya passion di bidang sains atau cabang akademik lainnya. Gampangnya, apa yang saya suka belum tentu kamu suka juga. Saya pernah kenal teman yang sangat jago IT, padahal nilainya biasa-biasa saja. Ada juga teman saya yang pintar main musik, khususnya drum, padahal nilainya biasa saja. Jadi, kalimat tadi bisa buat sedikit menyemangati mereka yang memang nggak terlalu bagus di bidang akademik.

Sisi negatif

Sayangnya, dari kalimat tadi, menurut saya lebih dominan sisi negatif daripada sisi positifnya.

Alasan utamanya adalah, kalimat ini merendahkan orang yang memang berbakat di bidang akademik. Katakanlah siswa yang bernama Budi memang pintar matematika sejak kecil, namun karena membaca atau mendengar pernyataan itu, dia rendah diri. Akhirnya, Budi mengubur dalam-dalam keinginannya untuk belajar dan nilainya pun terjun bebas. Budi pun nggak jadi seseorang yang berguna karena bakatnya nggak dipakai.

Ya, memang jumlah orang yang berbakat di bidang akademik lebih sedikit daripada yang tidak. Tetapi, itu bukan alasan untuk mendiskriminasikan mereka. Yang mayoritas belum tentu paling benar. Menurut saya, keduanya benar. Nggak ada yang salah.

Lagi pula, di Indonesia, memang ada bidang-bidang yang mendapat sedikit apresiasi dalam bentuk pendapatan maupun hak cipta, semisal sains dan teknologi. Meski begitu, itu bukan alasan untuk merendahkan mereka yang memang cemerlang di sekolah. Apa yang menurutmu sukses, belum tentu menurut mereka sukses. Misalnya, kalian mendefinisikan sukses itu bagaimana kalian punya banyak uang. Menurut mereka, bisa saja definisinya bukan seperti itu.

Yang nggak kalah penting, statement tadi bisa jadi excuse untuk mereka-mereka yang malas. Pertama-tama, mereka memilih masuk IPS karena merasa lebih santai, dikit PR, dan hitung-hitungannya nggak ribet. Ya, sebenarnya IPA dan IPS sama saja, namun IPS jadi rusak di mata khalayak umum karena orang-orang macam mereka. 

Kemudian, mentang-mentang beban di kelas cuma dikit, mereka sering bolos sekolah untuk pergi merokok atau main warnet. Waktu senggang mereka habiskan dengan hal yang sama. Ketika ditanyain, mereka cuma jawab, "Halah, sekolah nggak menentukan kesuksesan. Gue pasti sukses meski tanpa sekolah."

Plis, meski kalian nggak berbakat akademik, seenggaknya usaha buat dapat nilai yang cukup. Seenggaknya coba ngembangin bakat kalian. Seenggaknya coba kurang-kurangin asumsi yang sangat menyalahi logika itu.

Kesimpulannya, si payah di sekolah belum tentu kaya, dan si pintar di sekolah belum tentu biasa-biasa saja. Faktanya, Albert Einstein sebenarnya pintar di sekolah, dan dia terkenal sampai sekarang. Ya, pernyataan kalau Einstein bodoh waktu masih sekolah itu mitos, karena ada inversi skala nilai waktu itu. Kalian bisa baca di https://www.quora.com/Is-it-true-that-Albert-Einstein-failed-in-mathematics-many-times-during-his-school-days.

Semuanya kembali ke usaha kita, nggak peduli kita masuk ke "tim payah" atau "tim pintar". 

Sunday, July 24, 2016

Pengalaman SNMPTN 2016 Part 2: Nyaris Batal Masuk ITS!

2

Buat yang belum baca part 1, silakan baca di sini.

Post-SNMPTN

Saat tahu saya diterima di ITS lewat jalur SNMPTN, rasanya dunia jadi indah banget. Waktu jalan-jalan di Bali, baik di Beachwalk, Kuta Beach, Nusa Dua, atau lainnya, rasanya nggak bisa banget buat nahan senyum. Apalagi teman-teman di sana menyelamati saya, rasanya tambah senang.

Setelah pulang dari Bali, saya ikut tryout SBMPTN di Unesa pada 15 Mei. Yang mengadakan adalah pihak Unesa dan ITS. Ya, saya ikut tryout ini soalnya udah telanjur daftar, dan sayang banget kalau nggak jadi ikut. Alhasil, saya juara 1 tryout di bidang Saintek meski konsentrasi saya sempat pecah di kelas. Memang, banyak peserta lain yang kayak nggak niat ikut. Waktunya ngerjain malah ngobrol sama teman sebelahnya. Kan ngeselin, bikin yang niat malah terganggu.

Enam hari kemudian, sekolah saya mengadakan acara semacam wisuda. Di sana, saya diumumkan sebagai peraih nilai tertinggi sejurusan IPA di sekolah. Rasanya nggak masuk akal, mengingat waktu kelas 10 dan 11 saya hanya berada di sekitar peringkat 8. Nah, waktu itu rasanya saya bangga banget. Serasa di atas angin. Dan saya nggak sadar kalau saya ngerasa di atas angin. Ya, istilahnya agak terlena gitu.

Disaster

Jam 3 pagi, tanggal 22 Mei, entah kenapa saya seperti dapat bisikan, "Cek website ITS!"

Ya saya coba cek.

Pelan-pelan saya baca persyaratannya. Secermat mungkin. Tapi, dari kalimat pertama saja saya sudah kaget. Tercengang gitu. Langsung kosong pikiran saya.

Oh, shit. What have I done?

(ini dari smits.ac.id.)

Pikiran saya langsung terbang ke mana-mana. Sudah kelewat 4 hari dari tanggal pengisian. Aduh. Saya berpikir, "Masa iya aku nggak jadi masuk ITS cuma gara-gara kesalahan bodoh gini sih? Masa iya aku harus ngulang masuk tahun depan lewat SBMPTN? Buku SBMPTN-ku udah aku kasih ke temen nih. Temen sama guru-guru juga taunya aku masuk ITS tahun ini, mau bilang gimana coba?"

Ya, sejauh yang saya tahu, daftar ulang SNMPTN itu cuma tanggal 31 Mei 2016 saja. Jadi, saya nggak membaca info lebih lanjut di smits.ac.id. Dan itu kesalahan yang fatal banget. Saya terlalu merasa di atas, jadinya lupa melihat hal-hal kecil yang ada di bawah. Sejak itu, saya bertekad untuk tetap menjaga pikiran agar tidak terlena saat sudah berhasil.

Calming the storm 

Karena tanggal 22 itu hari Minggu, saya harus nunggu besoknya untuk ke ITS untuk mengajukan permohonan untuk mengisi data di sipmaba.its.ac.id. Untungnya, ada orangtua dan kedua koko yang membuat saya tenang dan ngasih solusi yang pas. Saya bersyukur banget, sih, punya keluarga kayak mereka. Kalau nggak, entah gimana saya bisa berpikir jernih. Mereka juga yang membantu saya cari dokumen-dokumen yang diperlukan untuk mengisi data online. I couldn't thank them more.

Besoknya, ke ITS pun sudah jadi kewajiban. Setelah mencari-cari tempat adminnya sipmaba, saya pun siapkan muka tembok kalau-kalau diomelin di sana, atau bahkan nggak boleh ngisi data lagi. Saya ketuk pintu, dan pelan-pelan bicara, "Bu, bisa saya mengisi data di sipmaba? Saya telat ngisi."

Ibu-ibunya bilang dengan muka nggak enak, "Lho, kok baru ngisi?"

"Iya, saya lupa. Baru sadar Sabtu malam kemarin."

Dan selanjutnya, saya diomelin sedikit. Tapi okelah, mereka tetep memperbolehkan saya mengisi data lewat akun admin, karena data akun yang dimiliki mahasiswa memang sudah dikunci dan nggak bisa diubah-ubah lagi.

Siang hari, prosesnya selesai, dan saya keluar layaknya habis keluar dari lautan yang tertutup badai. Nyaris saja saya hanyut terkena badai tersebut. Sejak itu, saya mengingat-ingat tanggal tes kesehatan, verifikasi rapor, sampai verifikasi biodata pada 31 Mei. Ealah, tanggal 31 Mei itu ternyata cuma verifikasi biodata. Saya kira verifikasi semuanya dilakukan tanggal 31. Bruh.

Dan inilah saya, sudah resmi diterima di Teknik Geofisika ITS. Di sini, saya menemukan teman-teman yang agak gesrek gitu, namun seru. Menurut jadwalnya, saya bakal menjalani orientasi seinstitut atau yang biasanya disebut Gerigi pada 26 Agustus 2016. Doakan semuanya lancar saja.

Tanpa perlu banyak ceramah lagi, saya yakin kalian bisa belajar dari pengalaman yang greget ini. Kalian belajar, saya juga belajar. Kita semua selalu belajar setiap harinya. Yah, begitu.

Saturday, July 23, 2016

Pengalaman SNMPTN 2016 Part 1: Lolos dari Lubang Jarum!

18

Sebelum cerita pengalaman SNMPTN ke kalian, ada baiknya saya kasih tahu sedikit info. Buat yang belum tahu, SNMPTN itu singkatan dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Kalian pasti sering bingung antara istilah SNMPTN dan SBMPTN. Oke, di sini saya coba jelasin bahwa keduanya berbeda, meski hanya beda di huruf kedua. Yang SBMPTN itu Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi. SNMPTN sistemnya seperti undangan dengan memperhatikan nilai rapor semester satu sampai lima, indeks sekolah, prestasi siswa di ajang perlombaan, dan lain-lain. Sedangkan SBMPTN sama seperti ujian tulis. Begitu.

Sebelum Pendaftaran

Awalnya, saya nggak punya niatan untuk masuk PTN, meski tahu bahwa PTN di Indonesia memang banyak yang ngetop, seperti ITB, ITS, UGM, UI. Tepatnya, saya masih bingung kuliah mana. Dan kebetulan, saya juga berharap untuk masuk dua perguruan tinggi ternama di Singapura. Ceritanya bisa kalian baca di sini atau sini.

Di sisi lain, teman-teman saya di awal-awal kelas 12, mungkin sama seperti kalian, bener-bener ngebet untuk masuk PTN. Jadilah mereka mulai cari info PTN, passing grade, bahkan sampai bimbel untuk persiapan SBMPTN. Gila, niat banget mereka, pikirku waktu itu. Saya masih belum tergerak untuk ikut daftar PTN. Cuma sesekali ikut ngerjain soal SBMPTN, itu pun karena memang ada temen yang nanya. Kalau nggak mana mungkin saya ngerjain. :)))

Pendaftaran

Setelah UEE NUS dan NTU, saya sadar bahwa saya harus cari cadangan tempat kuliah.

H- berapa gitu sebelum verifikasi nilai ditutup, guru BK mendadak masuk kelas dan nanya, "Pendaftaran SNMPTN udah dibuka, siapa mau daftar?" Sekitar sepuluh orang angkat tangan, termasuk saya, Iya, saya yang awalnya nggak minat ikut SNMPTN.

Pulang sekolah, kami ke ruang BK untuk mengambil username dan password untuk login ke PDSS, ngecek apakah nilainya sudah benar atau belum. FYI, untuk SNMPTN, awalnya pihak sekolah yang memasukkan nilai rapor kita ke PDSS, dan kita tinggal periksa lagi. Karena kalau nilai yang di PDSS nggak sesuai sama yang di rapor, tahu lah gimana.

Saya pulang dan ngecek. Wush, nilainya banyak yang salah. Jadilah saya nge-print transkrip dari PDSS dan menandai mana yang salah. Seingat saya itu sudah mepet banget, sekitar H-2 sebelum portalnya ditutup. Saya mulai ndredeg, takut si guru BK ini nggak keburu masukin nilainya sebelum hari H.

Untungnya, waktu pengisian di PDSS diperpanjang satu hari. Singkat cerita, semuanya kelar dan kami yang daftar SNMPTN dibawa ke suatu kelas untuk survei jurusan. Ya, kalian tahu bahwa di satu sekolah bisa saja ada beberapa yang mengambil jurusan yang sama di PTN yang sama. Jadi, tujuan survei ini untuk mencegah, atau seenggaknya meminimalisir kemungkinan, ketidaklolosan akibat "ditikung" teman sendiri.

Waktu itu, ada sekitar 40 atau 50 orang yang di dalam kelas. Satu per satu nama PTN yang biasanya banyak diminati seperti Unair, UGM, ITS, Udayana, disebut oleh guru BK saya tersebut. Ketika melihat papan tulis, saya hanya bisa geleng-geleng. Yang memilih jurusan Ilmu Hukum di Unair aja 5 orang, bro! Termasuk banyak lah. Ada juga yang daftar FK atau FKG Unair, saya lupa, dan dia langganan ranking paralel 1 di angkatan saya.

Ketika nama ITS disebut, saya bilang, "Teknik Fisika! Teknik Geofisika!" Ya, masing-masing itu pilihan pertama dan kedua saya. Untungnya, hanya saya di sekolah yang memilih jurusan tersebut. Kebanyakan di ITS memilih Arsitektur atau Teknik Sipil. Syukurlah, nggak bisa "ditikung" teman satu sekolah. Wajar, jurusan yang saya pilih memang nggak mainstream, karena saya ingin sesuatu yang beda. Berhubung saya suka Fisika juga, jadilah pilih itu.

Kemudian, kita tinggal menunggu 10 Mei, tanggal pengumuman SNMPTN. Tentu saya pasrah. Bicara keketatan, SNMPTN dan SBMPTN memang greget. Keduanya nggak jauh beda. Mengutip dari Zenius, begini persentasenya:

(Ini yang SNMPTN.)
(Dan ini yang SBMPTN.)



Jadilah setelah UN, saya mencicil belajar SBMPTN, just in case nggak diterima SNMPTN meski nilai rata-rata rapor aman di kisaran 90an. Menurut banyak cerita, memang banyak anak dengan nilai rapor memuaskan, namun nggak lolos SNMPTN. Lagi pula, sekolah saya swasta, jelas lebih sedikit kuotanya ketimbang sekolah negeri. Sekolah saya pun nggak punya rekam jejak yang bagus dalam lomba antarsekolah. Bahkan, sekolah saya pernah di-blacklist oleh ITS dan Unair karena ada yang diterima SNMPTN di sana namun nggak diambil.

Pengumuman SNMPTN

Ada satu berita menghebohkan saat itu: pengumuman SNMPTN dimajukan jadi 9 Mei jam 13.00 WIB. Mendekati pengumuman yang krusial itu, saya terus harap-harap cemas. Kebetulan, 9 Mei adalah tanggal saya berangkat ke Bali bersama teman-teman untuk liburan. Saya yang seharusnya tidur cepat karena pagi-pagi harus ke bandara, malah nggak bisa tidur.

Singkat cerita, saya menunggu di pinggir kolam renang hotel sembari melihat teman-teman berenang. 13.30, 13.31, 13.32 WITA (ingat, saya kan lagi di Bali waktu itu), rasanya waktu lambat banget. Karena nggak ingin mati penasaran, saya pun ikut terjun renang sampai 13.55. Pas banget 5 menit buat bersih-bersih. Saya kembali ke depan layar ponsel pada jam 13.59. Jujur, tangan saya gemetaran. Badan panas dingin. Kebetulan ada satu teman seperjalanan saya, namanya Tonny, yang ikut SNMPTN juga, dan saya mengingatkan, "Ton, ayo bareng buka web'e SNMPTN! Aku ga sabar iki wes'an."

Pukul 14.01 WITA, saya baru berhasil masuk ke laman input nomor peserta dan tanggal lahir. Saya dengan hati-hati mengetik nomornya. Dan betapa kagetnya saya ketika mengetahui bahwa saya, Christopher Salim, diterima di ITS lewat SNMPTN di pilihan kedua, Teknik Geofisika! Screenshot-nya kehapus, jadi ini saja:

(yang ini dari smits.ac.id.)

Sementara itu, saya juga denger bahwa teman-teman satu sekolah yang lain nggak lolos SNMPTN, termasuk teman saya yang milih jurusan kedokteran Unair itu. Jadilah saya satu-satunya yang lolos SNMPTN dari sekolah saya. Rasanya cukup prihatin, tapi tetap saja senang karena saya berhasil lolos di ITS. Saya saat itu mengabarkan hasil SNMPTN kepada orangtua dan guru. Mereka bangga dengan hasil ini. Saya juga bersyukur dan yakin kalau Tuhan menempatkan saya di ITS, dan jodoh nggak akan ke mana-mana. Buktinya, saya nggak perlu ikut SBMPTN, bersusah payah mengerjakan tes yang susahnya lima kali lipat dari UN. Nggak, saya nggak bermaksud sombong.

Selanjutnya, saya akan ceritakan pengalaman daftar ulang di ITS.

(Added: untuk part 2 bisa dilihat di sini.)
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com