Site
di kilang minyak ini sudah kutempati selama setahun terakhir. Namun,
akhirnya aku bisa libur beberapa minggu. Kabur dari rutinitas. Kupandangi
cerobong-cerobong yang mirip rokok raksasa itu dari jarak yang agak jauh,
dengan sedikit asap kelabu yang menggelitiki bagian dalam hidungku. Pekerjaan
ini juga merupakan rumahku. Sejak awal masuk kerja. Sayangnya, baru kusadari
kalau ini rumah kedua, bukan rumah pertama.
Sekarang
saatnya pulang. Pacarku pasti rindu. Rasanya sedih sudah meninggalkannya.
**
Kata
mendiang ayah dan ibuku, kalau sudah besar, aku bisa memilih jadi anak rumahan
atau anak mandiri. Anak yang tinggal di zona nyaman atau anak yang mengepakkan
sayapnya ke dunia luar. Mengambil salah satu, tidak keduanya.
Selama ini,
aku lebih condong ke tipe pertama. Sejak kecil, aku lebih sering tinggal di
rumah bersama Ayah dan Ibu. Sejak hidup sendiri, Anita adalah rumahku. Tempat
tinggal yang bukan diartikan secara harfiah. Kami berkenalan saat pertama kali
masuk SMA. Dan makin dekat waktu mulai kuliah. Mata kelerengnya meneduhkan.
Ketika Ayah baru menempati peristirahatan terakhirnya di bawah tanah tiga
tahun silam, tangannya yang seputih kain kafan dan juga halus, memegangi
tubuhku yang lemas. Kakiku gemetar lantaran rasa sedih yang menusuk-nusuk. Air
terjun sudah mirip dengan tangisanku. Deras. Begitu terus sampai matahari rehat
dan tugasnya digantikan rembulan sampai dia menanyakan, “Kamu nggak pulang,
Di?”
“Rumahku udah
bukan kayak biasanya. Ibu meninggal, lalu sekarang Ayah.” Genangan bening yang sedari tadi menyelimuti lapisan terluar mata, kuhapus. Angin kering
menyapu rambutku. Tidak sejuk sama sekali saat ini.
“Terus,
yang mana rumahmu?”
“Kamu
rumahku,” ujarku pelan. Lalu kami berpelukan, dengan tangan Anita yang menepuk
pundakku secara konstan. Aku harap malam ini berlangsung lama.
She is officially my home from then on.
**
Sekarang 1
April pukul satu siang. Jadwal keberangkatan dari Balikpapan ke Surabaya.
Ketika aku mulai meletakkan pantat di atas kursi pesawat dekat jendela, rasanya
nyaman. Rumah sudah dekat, pikirku. Seperti anak kecil di iklan televisi yang
berkata sumber air sudah dekat.
Kukirimkan
pesan teks ke nomornya, seperti ini:
To: Anita
Sayang, aku lagi otewe Surabaya. Kamu masih di rumah,
kan?
Lima menit
berlalu, ponselku bergetar.
From: Anita
Aku mau ngomong sama kamu nanti. Y.
Tidak
sempat terbalas pesan itu, karena pramugari sudah berdiri di depan semua
penumpang dan menyuruh untuk mematikan telepon genggam. Saat pesawat mulai
melaju ke tengah-tengah hamparan angkasa, aku menggumam sendiri di balik sabuk
pengaman. Aku mau ngomong sama kamu. Apa maksudnya? Kata-kata itu cukup horor
kalau diucapkan oleh wanita. Setara dengan, “Aku positif hamil.”
Dan satu
huruf untuk “ya”? Biasanya, dia akan mengirim emoticon setelah pesannya. Tapi, sekarang tidak ada. Tanpa imbuhan
ekspresi. Pandanganku bergulir ke jendela. Memandangi awan-awan yang mirip
permen kapas dan beringsut pelan ke samping.
**
Semestinya,
aku tetap tinggal di sini. Tapi, apa daya? Beberapa hari yang lalu, aku melamar
ke sebuah perusahaan perminyakan, dan mereka menerima. Syaratnya, aku harus
bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia. Untukku, Balikpapan.
Hal itu
segera kusampaikan kepada Anita saat kami sedang duduk di ruang tamu di
rumahku. Senyuman langsung lari dari wajahnya. Dari canda tawa, sekarang aliran
berupa keheningan yang mengudara di sini.
“Kenapa,
Odi Sencaka?”
Ada sesuatu
yang salah saat wanita menyebut nama lengkapmu.
“Bagiku,
pekerjaan udah kayak rumah, Sayang. Kerjaan yang sekarang gajinya kurang
banyak.”
Segera saja
dia berdiri, dengan rambut yang nyaris menutupi matanya. “Terus kita gimana?
Kan tahun depan kita mau nikah!”
“Sekarang
ini jangan bahas dulu, deh.” Aku menghela napas. “Yang penting itu kerjaan sama
aku sendiri.”
Dua kalimat
yang kusesali sedetik kemudian. Lidahku jadi kelu tidak lama.
“Jadi aku
nggak penting?! Iya, kamu mesti gitu, egois. Bagimu, cuma ‘aku’, bukan ‘kita.’”
Nadanya meninggi, namun tidak sampai berteriak. Lantas, dia mengucapkan sesuatu
yang merobek hati, “Kita putus aja deh. Sana pacarin kerjaanmu.”
Dia pun
pergi. She was my home from then on.
Cari rumah baru, bukan menetap di rumah yang biasa.
**
Tanpa
sadar, aku tertidur selama di pesawat tadi. Keluar dari bandara, aku mencari
taksi. Ketemu. Segera setelah naik, kukirim pesan teks:
To: Anita
Sayang, aku lagi otewe rumahku. Terus jalan kaki ke
rumahmu.
Rumah kami memang hanya berjarak
ratusan meter. Tidak dibalas. Selama di dalam kendaraan, aku berpikir kalau
memang hubungan kami sudah lumayan membaik. Beberapa bulan lalu, dia kutelepon.
Agak susah menghubunginya. Tiga kali telepon, selalu ditolak. Yang keempat,
harus kutunggu sampai nada kesembilan sebelum diangkat. Lalu aku meminta maaf
atas segala kesalahan. Setengah menangis. Masih kuingat suaraku yang parau, mengudara. Memohon sebanyak lima kali, dan akhirnya dia mengiyakan. Kami pun
balikan.
Lamunanku
terhapus saat sopir bilang kami sudah sampai di rumahku. Setelah masuk dan
meletakkan koper, aku pergi ke kediamannya. Rumah yang sama seperti terakhir
kali aku melihatnya. Kugerakkan kaki ke tangga yang menuju pintu utama.
Kemudian mengetuk pintu. Lima menit, pintu masih bergeming. Tidak ada yang
membuka. Jadi, kugedor pintu. Masih belum terbuka. Jadi, handel pintu kutekan.
Tidak
dikunci.
Di dalam,
lampu berwarna kuning berpendar temaram. Membuatku mengerjap-ngerjapkan mata
karena di luar, matahari seperti nyaris membutakan mata. Saat retinaku sudah
terbiasa, aku bisa melihat kalau tidak ada orang di sana. Di ruang tamu yang
minimalis itu hanya ada meja kopi di antara dua sofa yang berhadap-hadapan.
“Anita?”
Aku menangkupkan kedua tangan di sekitar mulut. “Di mana kamu, Sayang?”
Majulah
kakiku sedikit, dan aku bisa mendengar sesuatu yang aneh.
Desahan.
Juga erangan. Ada suara pria di dalam salah satu kamar.
“Sayang?
Kamu kenapa?” Kugedor pintu kamarnya.
Tidak lama,
suara berhenti. Kekasihku keluar dari kamar dan segera menutup pintu.
Mengenakan daster selutut berwarna hijau pastel. Rambutnya agak awut-awutan.
Senyum tipis tersungging di wajahnya. “Aku lagi gituan sama pacar baruku. Kamu
kok datang sekarang, sih? Tadi aku mau bilang gitu.”
Dahiku
mengernyit. Ini konyol. Dia rumahku, dan sekarang aku sudah pulang. Apa yang
salah? Oh, mungkinkah kasusnya seperti ini: dia rumahku, tapi aku bukan
rumahnya? Aku tahu, aku sudah menjadi seorang berengsek setahun terakhir. Tapi
ini…, ini tidak masuk akal. Rasa panas merasuki mataku.
Begini
caranya, aku akan melabrak pacarnya—atau selingkuhannya atau apalah—dan segera
menghajarnya di hidung. Saat kudobrak pintu dengan keras, tidak ada siapa pun.
Hanya laptop di atas ranjang, dengan film dewasa yang di-pause terpampang di layar.
“April
Mop!” pekik Anita sambil berjalan ke arahku. “Selamat datang kembali, Sayang!”
Mataku
memandang nanar.
“Aku lupa
bilang kalau sekarang 1 April.”
Segera
kuterjang dia, berguling-guling di atas ranjangnya. Tidak peduli laptopnya.
“Kamu nakal, ya!” Kami tertawa.
“Yee, nggak
boleh marah! Kan memang April Mop.” Kami pun berpelukan. “Ceritain gimana
kisahnya waktu kamu kerja.”
Mungkin
inilah rumah sebenarnya: Anita, bukan pekerjaan bergaji puluhan juta per bulan.
Aku bisa bercanda dengan rumahku. She’s still my home, and she
will always be. Aku masih bisa jadi anak rumahan, sekaligus anak mandiri.
0 komentar:
Post a Comment