Wednesday, July 22, 2015

Anak Rumahan

0

Site di kilang minyak ini sudah kutempati selama setahun terakhir. Namun, akhirnya aku bisa libur beberapa minggu. Kabur dari rutinitas. Kupandangi cerobong-cerobong yang mirip rokok raksasa itu dari jarak yang agak jauh, dengan sedikit asap kelabu yang menggelitiki bagian dalam hidungku. Pekerjaan ini juga merupakan rumahku. Sejak awal masuk kerja. Sayangnya, baru kusadari kalau ini rumah kedua, bukan rumah pertama.
            Sekarang saatnya pulang. Pacarku pasti rindu. Rasanya sedih sudah meninggalkannya.
**

            Kata mendiang ayah dan ibuku, kalau sudah besar, aku bisa memilih jadi anak rumahan atau anak mandiri. Anak yang tinggal di zona nyaman atau anak yang mengepakkan sayapnya ke dunia luar. Mengambil salah satu, tidak keduanya.
            Selama ini, aku lebih condong ke tipe pertama. Sejak kecil, aku lebih sering tinggal di rumah bersama Ayah dan Ibu. Sejak hidup sendiri, Anita adalah rumahku. Tempat tinggal yang bukan diartikan secara harfiah. Kami berkenalan saat pertama kali masuk SMA. Dan makin dekat waktu mulai kuliah. Mata kelerengnya meneduhkan. Ketika Ayah baru menempati peristirahatan terakhirnya di bawah tanah tiga tahun silam, tangannya yang seputih kain kafan dan juga halus, memegangi tubuhku yang lemas. Kakiku gemetar lantaran rasa sedih yang menusuk-nusuk. Air terjun sudah mirip dengan tangisanku. Deras. Begitu terus sampai matahari rehat dan tugasnya digantikan rembulan sampai dia menanyakan, “Kamu nggak pulang, Di?”
            “Rumahku udah bukan kayak biasanya. Ibu meninggal, lalu sekarang Ayah.” Genangan bening yang sedari tadi menyelimuti lapisan terluar mata, kuhapus. Angin kering menyapu rambutku. Tidak sejuk sama sekali saat ini.
            “Terus, yang mana rumahmu?”
            “Kamu rumahku,” ujarku pelan. Lalu kami berpelukan, dengan tangan Anita yang menepuk pundakku secara konstan. Aku harap malam ini berlangsung lama.
            She is officially my home from then on.
**
            Sekarang 1 April pukul satu siang. Jadwal keberangkatan dari Balikpapan ke Surabaya. Ketika aku mulai meletakkan pantat di atas kursi pesawat dekat jendela, rasanya nyaman. Rumah sudah dekat, pikirku. Seperti anak kecil di iklan televisi yang berkata sumber air sudah dekat.
            Kukirimkan pesan teks ke nomornya, seperti ini:
            To: Anita
            Sayang, aku lagi otewe Surabaya. Kamu masih di rumah, kan?
            Lima menit berlalu, ponselku bergetar.
            From: Anita
            Aku mau ngomong sama kamu nanti. Y.
            Tidak sempat terbalas pesan itu, karena pramugari sudah berdiri di depan semua penumpang dan menyuruh untuk mematikan telepon genggam. Saat pesawat mulai melaju ke tengah-tengah hamparan angkasa, aku menggumam sendiri di balik sabuk pengaman. Aku mau ngomong sama kamu. Apa maksudnya? Kata-kata itu cukup horor kalau diucapkan oleh wanita. Setara dengan, “Aku positif hamil.”
            Dan satu huruf untuk “ya”? Biasanya, dia akan mengirim emoticon setelah pesannya. Tapi, sekarang tidak ada. Tanpa imbuhan ekspresi. Pandanganku bergulir ke jendela. Memandangi awan-awan yang mirip permen kapas dan beringsut pelan ke samping.
**
            Semestinya, aku tetap tinggal di sini. Tapi, apa daya? Beberapa hari yang lalu, aku melamar ke sebuah perusahaan perminyakan, dan mereka menerima. Syaratnya, aku harus bersedia ditempatkan di seluruh Indonesia. Untukku, Balikpapan.
            Hal itu segera kusampaikan kepada Anita saat kami sedang duduk di ruang tamu di rumahku. Senyuman langsung lari dari wajahnya. Dari canda tawa, sekarang aliran berupa keheningan yang mengudara di sini.
            “Kenapa, Odi Sencaka?”
            Ada sesuatu yang salah saat wanita menyebut nama lengkapmu.
            “Bagiku, pekerjaan udah kayak rumah, Sayang. Kerjaan yang sekarang gajinya kurang banyak.”
            Segera saja dia berdiri, dengan rambut yang nyaris menutupi matanya. “Terus kita gimana? Kan tahun depan kita mau nikah!”
            “Sekarang ini jangan bahas dulu, deh.” Aku menghela napas. “Yang penting itu kerjaan sama aku sendiri.”
            Dua kalimat yang kusesali sedetik kemudian. Lidahku jadi kelu tidak lama.
            “Jadi aku nggak penting?! Iya, kamu mesti gitu, egois. Bagimu, cuma ‘aku’, bukan ‘kita.’” Nadanya meninggi, namun tidak sampai berteriak. Lantas, dia mengucapkan sesuatu yang merobek hati, “Kita putus aja deh. Sana pacarin kerjaanmu.”
            Dia pun pergi. She was my home from then on. Cari rumah baru, bukan menetap di rumah yang biasa.
**
            Tanpa sadar, aku tertidur selama di pesawat tadi. Keluar dari bandara, aku mencari taksi. Ketemu. Segera setelah naik, kukirim pesan teks:
            To: Anita
            Sayang, aku lagi otewe rumahku. Terus jalan kaki ke rumahmu.
Rumah kami memang hanya berjarak ratusan meter. Tidak dibalas. Selama di dalam kendaraan, aku berpikir kalau memang hubungan kami sudah lumayan membaik. Beberapa bulan lalu, dia kutelepon. Agak susah menghubunginya. Tiga kali telepon, selalu ditolak. Yang keempat, harus kutunggu sampai nada kesembilan sebelum diangkat. Lalu aku meminta maaf atas segala kesalahan. Setengah menangis. Masih kuingat suaraku yang parau, mengudara. Memohon sebanyak lima kali, dan akhirnya dia mengiyakan. Kami pun balikan.
            Lamunanku terhapus saat sopir bilang kami sudah sampai di rumahku. Setelah masuk dan meletakkan koper, aku pergi ke kediamannya. Rumah yang sama seperti terakhir kali aku melihatnya. Kugerakkan kaki ke tangga yang menuju pintu utama. Kemudian mengetuk pintu. Lima menit, pintu masih bergeming. Tidak ada yang membuka. Jadi, kugedor pintu. Masih belum terbuka. Jadi, handel pintu kutekan.
            Tidak dikunci.
            Di dalam, lampu berwarna kuning berpendar temaram. Membuatku mengerjap-ngerjapkan mata karena di luar, matahari seperti nyaris membutakan mata. Saat retinaku sudah terbiasa, aku bisa melihat kalau tidak ada orang di sana. Di ruang tamu yang minimalis itu hanya ada meja kopi di antara dua sofa yang berhadap-hadapan.
            “Anita?” Aku menangkupkan kedua tangan di sekitar mulut. “Di mana kamu, Sayang?”
            Majulah kakiku sedikit, dan aku bisa mendengar sesuatu yang aneh.
            Desahan. Juga erangan. Ada suara pria di dalam salah satu kamar.
            “Sayang? Kamu kenapa?” Kugedor pintu kamarnya.
            Tidak lama, suara berhenti. Kekasihku keluar dari kamar dan segera menutup pintu. Mengenakan daster selutut berwarna hijau pastel. Rambutnya agak awut-awutan. Senyum tipis tersungging di wajahnya. “Aku lagi gituan sama pacar baruku. Kamu kok datang sekarang, sih? Tadi aku mau bilang gitu.”
            Dahiku mengernyit. Ini konyol. Dia rumahku, dan sekarang aku sudah pulang. Apa yang salah? Oh, mungkinkah kasusnya seperti ini: dia rumahku, tapi aku bukan rumahnya? Aku tahu, aku sudah menjadi seorang berengsek setahun terakhir. Tapi ini…, ini tidak masuk akal. Rasa panas merasuki mataku.
            Begini caranya, aku akan melabrak pacarnya—atau selingkuhannya atau apalah—dan segera menghajarnya di hidung. Saat kudobrak pintu dengan keras, tidak ada siapa pun. Hanya laptop di atas ranjang, dengan film dewasa yang di-pause terpampang di layar.
            “April Mop!” pekik Anita sambil berjalan ke arahku. “Selamat datang kembali, Sayang!”
            Mataku memandang nanar.
            “Aku lupa bilang kalau sekarang 1 April.”
            Segera kuterjang dia, berguling-guling di atas ranjangnya. Tidak peduli laptopnya. “Kamu nakal, ya!” Kami tertawa.
            “Yee, nggak boleh marah! Kan memang April Mop.” Kami pun berpelukan. “Ceritain gimana kisahnya waktu kamu kerja.”

            Mungkin inilah rumah sebenarnya: Anita, bukan pekerjaan bergaji puluhan juta per bulan. Aku bisa bercanda dengan rumahku. Shes still my home, and she will always be. Aku masih bisa jadi anak rumahan, sekaligus anak mandiri.

0 komentar:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com