Hai, ini aku, dirimu yang sudah berubah. Aku bukan seperti
dulu, bukan orang yang membenci dirinya sendiri seperti beberapa tahun silam.
Bukan pula orang yang terombang-ambing dalam kenggakjelasan siapa dirinya dan
mengapa dirinya dilahirkan. Kuharap kabarmu baik-baik saja dan kamu bisa
meluangkan sedikit waktu untuk membaca surat ini. Bukan maksudku untuk
menggurui, namun bacalah sebentar saja. Aku ingin berbagi sedikit cerita
denganmu.
Hidup itu nggak
berarti… sampai kamu memberinya makna.
Pada awal masa SMA, mungkin kamu merasa bangga karena bisa
mengenakan seragam putih abu-abu. Percayalah, aku juga merasakannya dulu. Nggak
ada perasaan yang dapat mengalahkannya. Kamu berpikir semuanya akan baik-baik
saja selama SMA.
Namun, kenyataannya lain. Kamu bingung bagaimana menjalani
masa SMA. Di kelas, kamu sekadar mengikuti pelajaran dari guru, nggak lebih.
Kamu mencari kesenangan semata dengan teman sekelompokmu di kelas, nggak peduli
dengan hari esok. Dan terbuanglah sudah satu tahun awal yang berguna tersebut.
Sampai akhirnya waktu pemilihan jurusan di kelas sebelas,
dan kamu harus memilih antara jurusan yang diminati teman-temanmu dan jurusan
yang kamu sukai. Seperti terbentang dua jalan di depanmu: mengikuti kata hatimu
atau kata orang-orang. Mulailah pikiranmu melayang ke mana-mana, bingung
membuat keputusan. Dilema.
Sekarang, yang ingin aku katakan adalah masa SMA nggak
sesepele itu, temanku. Ini tempatmu mencari arti dirimu dan siapa kamu
sebenarnya. Mungkin kamu berpikir bahwa kamu hanyalah seonggok campuran sel
telur dan sel sperma yang bertambah besar. Nggak, bukan begitu. Ketika kamu
melakukan hal yang berguna, jati dirimu akan muncul ke permukaan, dan kamu akan
berpikir, “Wah, aku berbeda!”
Jadi, jangan sia-siakan.
Kegagalan itu pasti
terjadi, tapi menganggapnya sebagai sebuah kegagalan adalah pilihan.
Di suatu titik, mungkin kamu merenungi hal yang sama persis
dengan tulisan ini. Akhirnya, kamu memutuskan untuk mencoba hal-hal yang baru
di luar sana. Berbagai kegiatan seperti organisasi sekolah, lomba akademik, dan
lain-lain nggak lupa kamu ikuti. Kamu berharap semuanya akan berjalan dengan
mulus.
Tetapi, semuanya berakhir dengan kegagalan. Kamu ditolak,
kamu kalah, kamu tersingkir. Mereka mulai mengejekmu karena mereka merasa kamu
bukanlah seseorang yang spesial. Kamu bukan siapa-siapa. Kata-kata mereka
merasuk ke dalam hatimu dan kamu menganggap memang dirimu yang salah. Hatimu
tergores, tetapi nggak berdarah. Kamu terjatuh, dan seperti nggak ada
tanda-tanda kamu akan mendarat. Kamu merasa nggak dilahirkan untuk menjadi
pemenang dan orang sukses. Orang-orang lain mulai kamu bandingkan dengan dirimu
sendiri.
“Kenapa dia lebih ganteng?”
“Kenapa dia multitalent?”
“Kenapa dia seperti nggak pernah gagal dalam hidupnya,
sedangkan aku selalu gagal?”
Begini, kegagalan pasti terjadi pada setiap manusia cepat
atau lambat. Thomas Alva Edison selalu gagal sebelum dia akhirnya berhasil mematenkan
bola lampu. Apakah dia merasa gagal? Nggak! Dia hanya menganggap caranya belum
tepat dan perlu diperbaiki. Apa yang terjadi ketika dia menganggap itu adalah
sebuah kegagalan pada percobaan pertama dan nggak mau belajar lagi?
Hidup memang kejam, namun itu terserah kamu untuk menganggap
kegagalan adalah sebuah kegagalan. Kamu bisa gagal satu kali saja. Tetapi, jika
kamu menganggap kegagalan adalah beban, pada percobaan pertama pun kamu akan
menyerah. Kegagalan ada untuk dipelajari, bukan untuk diratapi. Semakin sering
kamu merasakan kegagalan dan belajar darinya, semakin cepat kamu dewasa.
“He who has never
failed somewhere, that man cannot be great. Failure is the true test of
greatness.” – Herman Melville.
Kita nggak bisa
menyenangkan semua orang.
Oke, mungkin kamu sudah move
on dari kegagalan di masa lalu. Masalahnya, mereka masih ada. Mereka yang
setia menamparmu dengan kegagalanmu sendiri. Mereka yang bermulut tajam dan
berkata, “Yah, udah nggak lolos ini, nggak lolos itu juga.” Mereka yang nggak
akan mengerti ketika kamu balas dengan dalil atau nasihat. Dan kamu mulai
berpikir bagaimana caranya membuat mereka menyukai kamu. Kamu berpikir
masalahnya ada pada kamu, dan kamu memang belum menjadi manusia yang
berkualitas.
Lalu, bagaimana caranya? Nggak perlu mencoba hal seperti itu.
Sia-sia. Sebaik-baiknya malaikat, masih ada setan yang membencinya.
Sebaik-baiknya manusia, pasti ada yang nggak suka. No matter what we do, people will always have something to say.
Kamu nggak mungkin bisa menyenangkan semua orang. Ketika waktumu terbuang untuk
meladeni mereka yang membencimu, waktumu untuk bergaul dengan orang yang
menyukai kamu akan semakin tipis. Jadi, tetaplah berbuat yang terbaik dan abaikan
mereka. Hidupmu itu sebuah sandiwara. Kamu sebagai pemeran utama dan orang lain
hanya sebagai penonton. Yang masalah bukanlah apa kata penonton, namun mengapa
kamu berhenti berakting karena gentar dengan segelintir penonton itu.
Percayalah, aku sudah melalui hal-hal tersebut. Sekarang
giliranmu untuk merenungkan hal tersebut.
0 komentar:
Post a Comment