Wednesday, April 20, 2016

Surat untuk Diriku

0

Hai, ini aku, dirimu yang sudah berubah. Aku bukan seperti dulu, bukan orang yang membenci dirinya sendiri seperti beberapa tahun silam. Bukan pula orang yang terombang-ambing dalam kenggakjelasan siapa dirinya dan mengapa dirinya dilahirkan. Kuharap kabarmu baik-baik saja dan kamu bisa meluangkan sedikit waktu untuk membaca surat ini. Bukan maksudku untuk menggurui, namun bacalah sebentar saja. Aku ingin berbagi sedikit cerita denganmu.

Hidup itu nggak berarti… sampai kamu memberinya makna.

Pada awal masa SMA, mungkin kamu merasa bangga karena bisa mengenakan seragam putih abu-abu. Percayalah, aku juga merasakannya dulu. Nggak ada perasaan yang dapat mengalahkannya. Kamu berpikir semuanya akan baik-baik saja selama SMA.

Namun, kenyataannya lain. Kamu bingung bagaimana menjalani masa SMA. Di kelas, kamu sekadar mengikuti pelajaran dari guru, nggak lebih. Kamu mencari kesenangan semata dengan teman sekelompokmu di kelas, nggak peduli dengan hari esok. Dan terbuanglah sudah satu tahun awal yang berguna tersebut.

Sampai akhirnya waktu pemilihan jurusan di kelas sebelas, dan kamu harus memilih antara jurusan yang diminati teman-temanmu dan jurusan yang kamu sukai. Seperti terbentang dua jalan di depanmu: mengikuti kata hatimu atau kata orang-orang. Mulailah pikiranmu melayang ke mana-mana, bingung membuat keputusan. Dilema.

Sekarang, yang ingin aku katakan adalah masa SMA nggak sesepele itu, temanku. Ini tempatmu mencari arti dirimu dan siapa kamu sebenarnya. Mungkin kamu berpikir bahwa kamu hanyalah seonggok campuran sel telur dan sel sperma yang bertambah besar. Nggak, bukan begitu. Ketika kamu melakukan hal yang berguna, jati dirimu akan muncul ke permukaan, dan kamu akan berpikir, “Wah, aku berbeda!”

Jadi, jangan sia-siakan.

Kegagalan itu pasti terjadi, tapi menganggapnya sebagai sebuah kegagalan adalah pilihan.

Di suatu titik, mungkin kamu merenungi hal yang sama persis dengan tulisan ini. Akhirnya, kamu memutuskan untuk mencoba hal-hal yang baru di luar sana. Berbagai kegiatan seperti organisasi sekolah, lomba akademik, dan lain-lain nggak lupa kamu ikuti. Kamu berharap semuanya akan berjalan dengan mulus.

Tetapi, semuanya berakhir dengan kegagalan. Kamu ditolak, kamu kalah, kamu tersingkir. Mereka mulai mengejekmu karena mereka merasa kamu bukanlah seseorang yang spesial. Kamu bukan siapa-siapa. Kata-kata mereka merasuk ke dalam hatimu dan kamu menganggap memang dirimu yang salah. Hatimu tergores, tetapi nggak berdarah. Kamu terjatuh, dan seperti nggak ada tanda-tanda kamu akan mendarat. Kamu merasa nggak dilahirkan untuk menjadi pemenang dan orang sukses. Orang-orang lain mulai kamu bandingkan dengan dirimu sendiri.

“Kenapa dia lebih ganteng?”

“Kenapa dia multitalent?”

“Kenapa dia seperti nggak pernah gagal dalam hidupnya, sedangkan aku selalu gagal?”

Begini, kegagalan pasti terjadi pada setiap manusia cepat atau lambat. Thomas Alva Edison selalu gagal sebelum dia akhirnya berhasil mematenkan bola lampu. Apakah dia merasa gagal? Nggak! Dia hanya menganggap caranya belum tepat dan perlu diperbaiki. Apa yang terjadi ketika dia menganggap itu adalah sebuah kegagalan pada percobaan pertama dan nggak mau belajar lagi?

Hidup memang kejam, namun itu terserah kamu untuk menganggap kegagalan adalah sebuah kegagalan. Kamu bisa gagal satu kali saja. Tetapi, jika kamu menganggap kegagalan adalah beban, pada percobaan pertama pun kamu akan menyerah. Kegagalan ada untuk dipelajari, bukan untuk diratapi. Semakin sering kamu merasakan kegagalan dan belajar darinya, semakin cepat kamu dewasa.

He who has never failed somewhere, that man cannot be great. Failure is the true test of greatness.” – Herman Melville.

Kita nggak bisa menyenangkan semua orang.

Oke, mungkin kamu sudah move on dari kegagalan di masa lalu. Masalahnya, mereka masih ada. Mereka yang setia menamparmu dengan kegagalanmu sendiri. Mereka yang bermulut tajam dan berkata, “Yah, udah nggak lolos ini, nggak lolos itu juga.” Mereka yang nggak akan mengerti ketika kamu balas dengan dalil atau nasihat. Dan kamu mulai berpikir bagaimana caranya membuat mereka menyukai kamu. Kamu berpikir masalahnya ada pada kamu, dan kamu memang belum menjadi manusia yang berkualitas.

Lalu, bagaimana caranya? Nggak perlu mencoba hal seperti itu. Sia-sia. Sebaik-baiknya malaikat, masih ada setan yang membencinya. Sebaik-baiknya manusia, pasti ada yang nggak suka. No matter what we do, people will always have something to say. Kamu nggak mungkin bisa menyenangkan semua orang. Ketika waktumu terbuang untuk meladeni mereka yang membencimu, waktumu untuk bergaul dengan orang yang menyukai kamu akan semakin tipis. Jadi, tetaplah berbuat yang terbaik dan abaikan mereka. Hidupmu itu sebuah sandiwara. Kamu sebagai pemeran utama dan orang lain hanya sebagai penonton. Yang masalah bukanlah apa kata penonton, namun mengapa kamu berhenti berakting karena gentar dengan segelintir penonton itu.


Percayalah, aku sudah melalui hal-hal tersebut. Sekarang giliranmu untuk merenungkan hal tersebut.

0 komentar:

Post a Comment

luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com