Wednesday, July 20, 2016

Is Moving Mass Really a Thing?

0


At some point, in modern physics, we (will) study Einstein's relativity and come across with the stationary mass and moving mass terms. When I learned about it, it kind of made sense. But, over time I thought that this was strange. If you want to know why, take a look at the image below.


According to Einstein's theory of relativity, many things are not absolute, such as speed, object length, time, and so on. In fact, it all depends on which frame of reference we look at, there is nothing wrong with that. For the picture above, it can indeed be explained by a long contraction (length contraction). However, the question is, does the mass of the person actually change as he moves about a certain frame of reference?

To answer that, I've thought and done some research so that I can draw a conclusion: relativistic mass theory is probably obsolete! In essence, moving mass actually does not exist in my opinion.

What is mass?

According to Wikipedia, mass means property or ownership of an object. According to classical physics, the greater the mass of an object, the harder it is to make it accelerate when a force is applied to it. According to modern physics, mass is actually the same as energy, only in a different form. This is also known as mass-energy equivalence.

Modern physics has succeeded in explaining how an object can have a certain mass. Objects, apart from being composed of atomic nuclei (protons and neutrons) and electrons, are also composed of particles that cannot be seen by the naked eye. One type is the gluon sub-particle which bridges between the particles in the atomic nucleus to exert a strong force of attraction. The stronger the field flux produced by the gluon, the stronger the force. Well, the attractive force is the origin of the energy we know as bond energy. However, the actual mass of an object comes from that energy. So, that's the origin of the mass of objects.

Does velocity change mass?

(source: Studying Physics Made Practical by Aip Saripudin et al., in Indonesian)

According to this formula, the mass of an object depends on its velocity. Since the denominator is always less than 1, the moving mass will always be greater than the rest mass. The same statement is also found in the Physics textbook by Marthen Kanginan.

So, when we think a little, if we drop an object as small as sand at a speed close to light, say 290,000,000 m/s, the formula will be:

But:
The denominator approaches 0 as the speed approaches the speed of light. So, even moving mass must approach infinity! Very strange result, how can an object have such a large mass just because its velocity is large? That's what started my line of thought about this.

Secondly, if the mass of the object becomes very large because of the velocity, how does the velocity affect the sub-particles in the object so that the bond energy becomes very large? Through friction? However, in outer space there is no air resistance, right? Scientists at that time still could not explain this phenomenon. The concept of relativity becomes even more complicated with the moving mass term.

What goes beyond this

Now, scientists define mass as an inherent property of an object, another term is mass invariant. That is, the mass does not depend on the frame of reference of the observer of an object. If an observer at rest sees an object with a mass of three kilograms, an observer in motion will see an object with a mass of three kilograms as well.

In my opinion, what increases with the relativistic velocity is the kinetic energy. The greater the speed, the greater the kinetic energy. So, it is the increase in energy that makes an object seem heavier and denser, because of the mass-energy equivalence described above. Mass and energy are similar, so we think that mass is changing, when actually it is not.

Thursday, July 14, 2016

Medan Gravitasi atau Gaya Gravitasi?

0

Banyak yang tahu apa itu gravitasi. Mungkin sebagian orang menjawab, "Gravitasi itu yang membuat benda-benda jatuh." Beberapa yang lain mungkin mendefinisikannya sebagai tarik-menarik antara benda-benda yang ada di sekitar kita. Sejauh yang masyarakat awam pahami, itu penjelasan tentang apa itu gravitasi.

Masalahnya, definisi di atas terlalu umum. Saya sejak dulu penasaran, sebenarnya gravitasi itu medan atau gaya?

Waktu masih kecil, saya sering mempertanyakan banyak hal. Misalnya, saya pernah membaca suatu buku dan langsung paham bahwa gravitasi adalah gaya tarik menarik antara dua benda. Saat SMA, saya juga belajar bahwa gravitasi juga merupakan sebuah medan. Setelah itu, definisi gravitasi sendiri seperti menjadi lebih kompleks setelah teori Einstein keluar. Jadi, saya mencoba untuk melakukan sedikit riset.

Apa itu gravitasi menurut para ahli fisika klasik?

Menurut Aristotle, gravitasi adalah suatu hal yang menimbulkan kecenderungan benda-benda untuk jatuh ke pusat alam semesta

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: tidak dijelaskan.


Karena pusat alam semesta berimpit dengan pusat Bumi, maka benda-benda otomatis jatuh menuju pusat Bumi. Hal yang menjadi masalah adalah mengapa planet-planet dan Matahari nggak jatuh ke pusat Bumi juga? Karena pertanyaan ini, teori gravitasi Aristotle terabaikan.

Yang kedua, fisikawan asal Inggris, Isaac Newton, mempublikasikan teorinya dalam buku Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica seperti ini:

Semua partikel di alam semesta saling menarik partikel yang lain dengan besar gaya yang sebanding dengan hasil kali kedua massa partikel dan berbanding terbalik dengan jarak kuadrat kedua partikel tersebut. Arah dari gaya gravitasi searah dengan garis lurus yang menghubungkan kedua partikel.

Selain itu, Newton juga lebih menekankan percepatan gravitasi sebagai percepatan benda untuk menuju ke pusat Bumi, bukan sebagai kuat medan gravitasi itu sendiri. Hal ini disebabkan karena teori Newton ini dianalogikan sebagai teori tug-of-war, yaitu tarik-menarik.

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: gaya.




Analisis teori Einstein

Revolusi besar dalam pemahaman kita mengenai gravitasi terjadi pada 1907 ketika fisikawan asal Jerman, Albert Einstein, merilis teori tentang relativitas umum. 

Pertama-tama, Einstein menegaskan bahwa gravitasi sebenarnya adalah kelengkungan empat dimensi ruang-waktu karena adanya benda bermassa. Semakin besar massa suatu benda, semakin dalam lengkungannya. Ini gambarnya kalau kalian nggak paham dengan penjelasan verbal. 

(sumber: www.waykiwayki.com)

Setelah itu, Einstein mengatakan bahwa gravitasi jelas bukan gaya tarik-menarik seperti yang dikemukakan oleh Newton.

Para ilmuwan pun mengetes teori Einstein, dan memang teori ini bisa menjelaskan perubahan orbit Merkurius mengelilingi Matahari, perubahan arah cahaya saat mendekati Matahari di kondisi gerhana Matahari, serta penemuan exoplanet ketika dipadukan dengan teori efek Doppler.

Singkatnya, teori Einstein lebih luas dalam menjelaskan gravitasi. Bahkan, dalam suratnya, Einstein mengungkapkan permintaan maaf pada Newton. Jadi, kita akan menggunakan penjelasan teori ini untuk selanjutnya.

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: medan.

Jadi, gravitasi itu gaya atau medan?

Sebelum lanjut, ada baiknya kita bahas sedikit tentang gaya fiksi. 

Menurut Wikipedia, gaya fiksi (disebut juga gaya pseudo, gaya d'Alembert, atau gaya inersia) adalah gaya yang sebenarnya tidak ada menurut pengamat di luar, namun dapat dirasakan oleh pengamat yang berada dalam kerangka acuan yang mengalami percepatan. Misalnya gaya sentrifugal dan gaya Coriolis.

Ilustrasinya seperti ini:

(sumber: cnx.org)

Yang kiri adalah menurut pengamat yang ada di komidi putar (ada gaya fiksi ke luar), sedangkan yang kanan adalah menurut pengamat yang sedang diam di luar komidi putar (cuma ada gaya sentripetal menuju ke pusat lintasan).
Di teori relativitas umum, Einstein juga menjelaskan dengan prinsip ekuivalensi bahwa:

Keadaan suatu benda yang berada dalam medan gravitasi bisa dikatakan ekuivalen dengan suatu benda yang berada dalam kerangka yang mengalami percepatan ke atas.


Karena teori relativitas terlalu susah untuk dijelaskan secara matematis, jadi saya mencoba menjelaskan secara verbal. 

Pada gambar sebelah kiri, bola dijatuhkan di dalam elevator yang diam (a = 0) dan kemudian mengalami percepatan sebesar g. 

Di gambar kanan, elevator bergerak dengan percepatan -(arahnya ke atas) di ruang hampa, dalam arti gravitasi bisa diabaikan. Namun, orang tersebut merasakan, dengan kata lain, mengerjakan gaya reaksi terhadap lantai, hasil dari percepatan elevator ke atas sebesar F = mg. Jadi, menurut kerangka acuan orang tersebut, bola jatuh dengan percepatan g. Ini yang dimaksud dengan prinsip ekuivalensi. 
Menurut pemikiran saya, dengan menghubungkan prinsip ekuivalensi dan gaya fiksi, kita bisa mengatakan bahwa gaya gravitasi F = mg yang sudah kita bahas tadi adalah gaya fiksi. Ingat, elevator juga merupakan kerangka acuan yang dipercepat, jadi perbandingan antara komidi putar dan elevator ini analog. 

Konklusi

The bottom line, gravitasi adalah medan dan gaya. Medan gravitasi itulah yang menyebabkan adanya percepatan sehingga kita bisa merasakan gaya gravitasi yang sebenarnya gaya fiksi.  

Oke, saya udah berpikir dan menulis postingan ini selama empat jam lebih. Kurang lebih begitu penjelasannya. Kapan-kapan, saya akan coba berpikir lagi mengenai gaya gravitasi sebagai salah satu dari empat gaya fundamental di alam semesta ini.

P.S.: beberapa referensi saya untuk crosscheck adalah Wikipedia,
https://www.quora.com/Is-gravity-a-fictitious-force-How-so ,
serta buku berjudul Physics for Scientists and Engineers karya Serway dan Jewett.

Saturday, July 9, 2016

Apa Definisi Sukses Menurut Saya?

0

"Belajar yang bener, biar jadi orang sukses."
"Banyak-banyakan mobil aja; yang paling banyak dia yang lebih sukses."
"Yah, duitnya orang itu pas-pasan. Mungkin dia nggak sukses."

Pernah denger kata-kata seperti ini? Mungkin yang pertama itu kata orangtua, sedangkan sisanya bisa jadi kata teman atau orang yang sudah kaya. Orangtua mendefinisikan sukses sebagai kemampuan kita untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya; teman kita mendefinisikan sukses sebagai kemampuan kita untuk menggali uang sebanyak-banyaknya. Yeah, struktur kalimatnya sama, namun objeknya berbeda.

Definisi sukses itu objektif atau subjektif?

(sumber: www.pinterest.com)


Oke, mungkin tiga contoh di atas terlalu bias. Sekarang, saya mencoba untuk menunjukkan arti sukses secara objektif. Menurut KBBI seperti ini:

kesuksesan/ke·suk·ses·an/ n keberhasilan; keberuntungan: kebanyakan orang senang mempelajari - orang lain untuk ditiru

Keberhasilan di sini masih belum jelas artinya. Coba saya kutip sumber lainnya, misalnya dari Oxford Dictionary:

The accomplishment of an aim or purpose; The attainment of famewealth, or social status.

Seperti yang sudah kalian lihat, sukses berarti keberhasilan mencapai tujuan. Masalahnya, tujuan setiap orang nggak selalu sama. Yang membuatmu merasa sukses belum tentu membuat saya merasa sukses juga. Mungkin bagi sebagian orang, sukses itu berarti bisa beli rumah dan mobil. Bagi sebagian yang lain, sukses bisa juga berarti berhasil bangun pagi setiap harinya. Bagi yang sering sembelit, salah satu makna sukses berarti bisa buang air besar setiap paginya. Hore!

Kesimpulannya, definisi sukses itu sangat subjektif dan personal. Kita pasti punya definisi sukses sendiri-sendiri. Sudahkah kamu menemukan arti kesuksesanmu sendiri?

An example

(Warning: contoh ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan atau mengunggulkan jenis pekerjaan tertentu. Please be open-minded when reading this. Kalau rentan tersinggung, lompati saja bagian ini.)

Katakanlah ada dua orang yang bersahabat, yang satu bernama Budi dan satu lagi bernama Arif. Budi selalu gagal mendapat nilai bagus, sedangkan Arif selalu langganan menjadi juara kelas, bahkan juara umum di sekolah. Namun, Budi selalu dapat nilai jelek karena biasanya dia mengelola toko warisan ayahnya sampai malam sehingga bisa memperoleh omset yang banyak. Sampai sini, mana yang lebih sukses? Renungkan dulu.

Jawabannya, tergantung bagaimana kamu mendefinisikan kesuksesan. Sebagian menjawab Budi, sebagian lagi Arif, dan sisanya mungkin nggak menjawab sama sekali.

Kita lanjut. Beberapa tahun kemudian, Budi memutuskan untuk nggak kuliah karena ingin jadi pengusaha, sedangkan Arif kuliah dan selalu mendapat IP hampir sempurna setiap semesternya. Lalu, Arif pun bekerja biasa-biasa saja dengan gaji UMR, sedangkan Budi sudah memperoleh omset ratusan juta per tahun. 

Mana yang lebih sukses?

Sekali lagi, jawabannya subjektif. Ada yang menjawab, Arif suksesnya waktu sekolah aja, tapi waktu kerja nggak bisa apa-apa. Percuma dong sekolah tinggi-tinggi tapi gitu-gitu aja.

Definisi sukses menurut saya

Beberapa hari yang lalu, saya mengunduh e-book yang cukup intriguing and thought -provoking. Bukunya seperti ini:

(sumber: psychcentral.com)

Di dalamnya, ada kutipan dari seorang filsuf, yaitu Soren Kierkegaard yang seperti ini:

(sumber: www.pinterest.com)
Definisi sukses menurut saya kurang lebih adalah bagaimana kita bisa menjadi diri kita sendiri yang sebagaimana mestinya. Misal, kita mempunyai bakat seni, maka kita menyalurkan bakat kita ke bidang seni, bukan yang lain. Ya, hal itu memang berat, karena terkadang kita dipaksa untuk beralih ke bidang lain yang bergaji lebih tinggi. Saya juga mengalami seperti itu. Namun, bagaimana kita tidak membuang diri kita yang semestinya adalah hal yang membuat kita sukses. Intinya, do what you love.

Yang kedua, definisi sukses menurut saya adalah bagaimana saya menyalurkan bakat dan kemampuan kita agar dapat diterapkan oleh masyarakat. Sekarang, saya masih berpikir bagaimana kemampuan saya bisa berguna bagi masyarakat. 

Yang ketiga, sukses berarti bisa membuktikan pada orangtua bahwa kita bisa berdiri sendiri menghadapi dunia yang keras serta membuat mereka bahagia. Ayolah, orangtua mendidik kita susah payah, masa membuat orangtua bahagia sedikit saja nggak bisa?

What's your definition of success?


Tuesday, July 5, 2016

Mengapa Matematika dan Fisika Susah?

1

Oke, I’m back. Yah, setelah sekian lama nggak ngeblog—dua bulan tepatnya—karena perlu ngumpulin mood menulis lagi. Kebayang lah ya, buat nulis aja perlu mood, apalagi buat nyenengin gebetan. Nggak mungkin asal-asalan, soalnya udah bener-bener niat buat hal demikian. Oke, ini menyimpang dari topik.

Jadi, saya belakangan ini sering berpikir mengapa banyak dari teman-teman yang sering dapat nilai jelek waktu ulangan Matematika atau Fisika walaupun sudah belajar semalaman. Di sisi lain, ada segelintir kelompok yang seperti ini. Anggap aja kita A dan si genius gila itu B.

A: Kemarin nggak masuk, kan? Hari ini ulangan Matematika, Bro! Belum tau ya?
B: Oh ya?! Baca-baca dikit wes biar nggak buntu.

Dan setelah ujian, kita dapat 60 dan si B dapat 100. Paling jelek 90 lah. Hih, I know that feel lah. Rasanya pengen banting meja terus ngutuk diri sendiri.

Contoh berikutnya seperti ini:
A: Haduh, gimana sih ngintegralin ln^2(x)?! (Silakan post jawabannya di komentar kalau kalian nemu, ya.)
B: *lagi tidur di bangku sebelah, jawabannya udah ada*

By the way, kita sudah ngerjain dari setengah jam yang lalu, sementara si B sudah tidur sejak 25 menit yang lalu. Memang, ada dua kemungkinan, (1) si B jawabnya ngawur, jadi meski cepet jawabannya tetep saja salah, (2) si B memang bener. Tapi, di sini coba aja kita asumsikan dia ada di kemungkinan kedua. Rasanya sebel banget pengen makan buku.

Pertanyaannya, kenapa pelajaran eksakta, terutama Matematika dan Fisika, terasa sangat susah? Rasanya rumus-rumus seperti bahasa alien dan angka-angka seperti makhluk "sbfsdufhduieghurhfdjfyua" yang nggak masuk akal. *memang nggak ada sih*


Setelah menganalisis kedua contoh di atas dan berpikir tujuh malam, akhirnya saya menemukan kesimpulan mengapa hal-hal kayak di contoh itu bisa terjadi:

1. Otak kita sebenarnya diciptakan untuk memecahkan masalah-masalah yang konkret, sedangkan eksakta cenderung membahas permasalahan yang abstrak. Abstrak? Iya. Nggak percaya? Coba jelasin konsep limit delta-epsilon sekonkret mungkin dan yang terlihat seperti konsep itu applicable di dunia nyata. Bisa nggak?

Ini dia alasan fundamentalnya: susunan otak kita secara primitif memang seperti itu. Manusia zaman dulu hanya berpikir bagaimana untuk menghasilkan makanan, menghindari binatang buas, mencari tempat tinggal yang aman, dan semacamnya. Yah, meski peradaban sudah berkembang, kita masih menyimpan sebagian kecil dari bagian primitif manusia. Satu-satunya cara agar kita bisa mulai berpikir abstrak ya latihan dan menanamkan mindset yang benar.

2. Matematika dan Fisika memang makin lama makin susah. Dulu, waktu Om Newton masih hidup, rumusnya paling sebatas F= m.a alias gaya sama dengan massa dikali percepatan. Namun, ketika ilmuwan-ilmuwan lain nggak terima keadaannya begitu-begitu aja, akhirnya mereka membuat rumus-rumus yang makin lama makin njlimet. 

Itu persamaan Schrodinger yang terkenal untuk menghitung peluang adanya partikel dalam sistem kuantum. Gimana menurut kalian?

Masalahnya, bukannya mustahil kan kita menguasai konsep seperti ini?

3. Cara belajarnya salah. Biasanya, gimana sih cara kalian belajar Matematika? Katakan saja bab turunan. Mungkin kebanyakan dari kalian jawabnya, "Lihat caranya, terus contoh soal, terus cara kerjainnya." Ada juga yang jawab, "Hafalin aja rumusnya. Misal rumus lingkaran itu kan x^2+y^2=r^2."

Bisa-bisa aja sih sebenernya belajar seperti itu. Tapi, waktu soalnya diutak-atik sesukanya yang buat soal, kalian bisa apa? Matematika dan Fisika akan jadi terasa jauh lebih susah dari yang seharusnya!

Memang sih, sistem pendidikan kita mengedepankan hafalan, bukan pemahaman secara konseptual. Tapi, nggak ada salahnya kan kita mulai belajar konsepnya dulu? Misal, tau nggak kalau persamaan lingkaran itu sebenarnya dari segitiga di dalam lingkaran lalu kita cari komponen vektor dari jari-jari lingkaran supaya nemu rumus itu dalam bentuk persamaan Cartesius?

4. Memang nggak suka belajar Matematika dan Fisika. Ini nih yang paling helpless. Sekuat apa pun kapasitas otaknya, kalau sudah nggak niat, ilmunya buat masuk pun susah. Sebaliknya, kalau kita niat belajar (bukan cuma supaya dapat nilai bagus, tapi untuk ngerti ilmunya), ilmunya pun rasanya gampang banget masuk ke otak. 

Kalau dirangkum, kita bisa buat kesimpulan seperti ini:
(sumber: geniusquotes.org)

Jadi, Matematika dan Fisika terasa susah karena kita terkadang hanya belajar keras, tapi nggak belajar dengan cerdas. Akhirnya, keempat faktor di atas jadi batu sandungan yang sangat besar, padahal sebenarnya nggak besar-besar amat.

Begitu.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com