Thursday, March 31, 2016

Apakah Kuliah Penting?

0

Selepas masa sekolah, biasanya para siswa dihadapkan pada dua pilihan: lanjut kuliah atau langsung kerja saja. Ya memang, banyak pilihan lain (nikah muda misalnya, meski tidak disarankan. LOL). Tapi, jika digeneralisir, pilihannya ya hanya dua itu. Mau punya embel-embel gelar di belakang nama lengkap, atau punya embel-embel "pengusaha sukses". Kurang lebih pandangan masyarakat seperti itu.

Masalahnya, apakah kuliah itu penting?

Sekadar informasi, di dunia perkuliahan, terutama yang bergelar sarjana, lebih mengedepankan teori daripada praktik. Misalnya, mahasiswa jurusan manajemen bisnis tentu lebih sering belajar teori ekonomi seperti perilaku pasar. Mereka yang ada di jurusan teknik belajar teori Matematika dan Fisika dasar untuk penerapan pada mata kuliah di semester-semester berikutnya.

Lho, justru bagus dong?

Menurut sebagian pihak, kuliah hanya menghambat mereka. Teori yang berbelit-belit merupakan sebuah impedansi besar. (Agak fisika.) Kalau mau berdagang, ya dagang aja. Kalau kerja, kerja aja. Susah amat. Kebanyakan teori malah bingung untuk mengaplikasikannya.

Yang kedua, mereka menganggap kuliah tidak menentukan kesuksesan. Jika kita bertanya pada orang-orang di kubu ini, mereka akan menjawab, "Lah, Bill Gates nggak kuliah aja bisa jadi miliader gitu! Zucky bisa bikin Facebook, terus sekarang tinggal tidur-tidur di rumah nikmatin duit. Bahkan, banyak sarjana yang ujung-ujungnya jadi pengangguran. Daripada susah-susah belajar empat tahun terus nganggur, mending nggak kuliah sekalian, to?"

Saya termasuk pihak yang kurang setuju dengan pernyataan di atas. Menurut opini saya, kuliah itu penting.

Sangat penting.

Kenapa?

1. Bagaimanapun, kerja perlu pemahaman dasar.
Ibarat rumah yang perlu pondasi sebelum dibangun sampai jadi, orang juga perlu ilmu dasar sebelum bisa bekerja dengan matang. Kuliah membantu kita mendapatkan konsep dasar dari suatu pekerjaan. Ya, meski Om Bill bisa tanpa kuliah, tapi beliau adalah one of a kind. Jarang ada yang seperti itu.
Bagi yang tidak ingin menjadi pengusaha, namun menjadi engineer atau saintis, ilmu ini jauh lebih diperlukan. Tanda mutlak dimutlakkan lagi.

2. Kuliah membantu kita mendapatkan pengalaman organisasi dan relasi.
Zaman sekarang, banyak kok kegiatan organisasi mahasiswa. Tinggal pilih saja. Yang terpenting, maksimalkan peluang adanya organisasi di kampus. Dengan demikian, kita dapat belajar kepemimpinan, manajemen waktu dan emosi, pengelolaan SDM, dan kemampuan berbicara di depan orang banyak. Selain itu, kuliah juga memperluas koneksi kita. Bayangkan, orang yang kita temui di kampus bukan hanya teman seangkatan. Banyak! Jadi, seandainya setelah lulus kuliah ingin bekerja di suatu perusahaan, koneksi kita yang membantu. Kalau mau berbisnis pun bisa dapat lebih banyak pelanggan. Tidak rugi, kan?

3. Sebagai backup seandainya bisnis kita kelimpungan.
Pesaing semakin banyak. Bisa saja suatu saat bisnis kita jatuh. Kalau sudah demikian, bagaimana kita mencukupi kebutuhan?
Lamar kerja.
Sayangnya, sudah hampir tidak ada perusahaan yang menerima lulusan SMA. Bisa saja sih, tapi di posisi apa? Ketika punya ijazah, kita masih punya peluang.

4. Melatih rasa tanggung jawab.
Di dunia perkuliahan, kita dituntut untuk memenuhi absensi dan tugas-tugas yang harus dikerjakan. Kalau tidak, siap-siap jadi mahasiswa abadi, ya. Intinya, kita belajar untuk menerima konsekuensi.

Apakah kuliah penting?

Menurut saya, ya. Kuliah membantu banyak aspek kehidupan manusia, seperti ilmu pengetahuan, etika, rasa tanggung jawab, dan kemampuan interpersonal. Namun, saya tidak memberi stempel bahwa tidak kuliah itu haram, dosa, sia-sia. Hampir tidak ada hal yang murni hitam atau putih di dunia ini. Ada juga banyak hal yang bisa dipelajari di luar ruang kuliah.

Jadi, semuanya kembali lagi ke Anda. Ini kan pendapat belaka.

Tuesday, March 22, 2016

Apa yang Terjadi, Indonesia? Saatnya Belajar!

0

Sepuluh tahun lagi, dunia sudah maju. Masalahnya, apa yang terjadi dengan Indonesia? Saya setiap hari memikirkan hal tersebut. Apakah bakal makin maju jadinya? Makin terbelakang? Atau jalan di tempat saja? Sebelum saya melanjutkan, saya minta Anda menutup mata sejenak. Bayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia sepuluh tahun lagi? Apakah negara ini sudah saatnya belajar?

Rasakan dalam pikiran Anda. Visualisasikan. Anggaplah Anda bermimpi tentang masa depan.

Saya tidak mengajak Anda menjadi mentalist. Hanya kemampuan berpikir kritis yang ingin saya tularkan.

Oke, kita kembali ke permasalahan. Sekarang tahun 2016. Artinya, sudah nyaris 71 tahun negara ini merdeka ketika saya menulis artikel ini.  Tujuh. Puluh. Satu. Bukan angka yang kecil.

Masalahnya, apa negara ini sudah dewasa?

Kita sering kenal jargon, "Tua belum tentu dewasa." Saya pernah menjumpai seorang pria berusia tiga puluhan, namun dari segi mental, dia seperti masih berumur praremaja. Emosinya nggak stabil. Ada yang nggak bener sedikit langsung bentak-bentak.

Coba melirik sebentar ke negara lain. Singapura baru merdeka tahun 1965. Lebih telat dua puluh tahun dibanding Indonesia. Secara teritorial, Singapura lebih kecil dari Jakarta. Menurut pemikiran teoretis, harusnya Indonesia bisa menang, dong?

Nyatanya tidak. Lihat Singapura sekarang. Satu contoh saja, kenapa banyak pelajar Indonesia yang mencoba belajar di Singapura?
Masalahnya, kenapa jarang sekali, atau tidak pernah, pelajar Singapura mengenyam pendidikan di Indonesia?

Pikirkan baik-baik. Apa yang salah? Apa yang terjadi? Kok bisa?

Mungkin contoh di atas bisa membuat Anda sedikit lebih membayangkan bagaimana kondisi Indonesia sekarang.

Kita masuk ke contoh lain.

Kalau Singapura menganggap budaya kiasu-nya yang paling sempurna di dunia, apakah negara itu bisa seperti sekarang? Kalau Amerika Serikat menolak kerja sama dengan negara lain karena merasa sudah menjadi negara superpower, apa yang terjadi sekarang?

Ada satu hal yang tidak dimiliki Indonesia, namun dimiliki negara lain: berpikir secara luas. Masyarakat secara gamblang mengungkapan bahwa pemerintah beragama atau suku lain hendaknya ditolak. Mereka lebih baik memilih pemimpin yang beragama sama, namun tetap saja akhirnya korupsi.

Masyarakat membela yang pandai berbicara daripada pandai berpikir. Masyarakat mendukung mereka yang berduit banyak. Masyarakat lebih mendukung demonstrasi anarkis daripada mufakat.

Logika dari mana?

Masyarakat secara gamblang mengungkapkan bahwa adegan pornografi harus dihapuskan dari televisi dan internet. Bahkan, tupai berpakaian dalam pun disensor. Negara yang sangat menjunjung nilai akhlak, bukan?

Tapi, apakah tingkat pemerkosaan di Indonesia berkurang? Saya belum melihat perkembangan yang signifikan.

Bayangkan film Fast and Furious diproduksi di Indonesia, pasti sudah sepi penonton. Kenapa? Karena disensor semua! Balapan disensor, karena memberi contoh yang tidak baik: balap liar. Baku hantam, sensor juga. Ciuman, sensor juga. Kurang apa?

Awalnya, saya percaya Indonesia bisa berkembang. Ini kan negara terbesar keempat di dunia dengan sumber daya alam yang berlimpah dan sumber daya manusia yang beragam? Ini kan negara kepulauan yang menjunjung demokrasi? Ini kan negara yang "katanya" menjunjung nilai ketuhanan?

Salah satu yang perlu negara kita lakukan adalah berbenah. Jangan jadi masyarakat yang konservatif. Kita bukan hidup di masa di mana kebebasan diopresi. Kita bukan masyarakat yang stagnan. Ingat, waktu terus berjalan. Dunia terus berkembang. Dunia ini tidak hanya Indonesia.

Bukalah mata, lihat baik-baik bagaimana negara maju mengembangkan perekonomiannya. Bagaimana kehidupan antarmasyarakat di negara maju. Di sana, masyarakat berpikiran terbuka. Ketika warga lain menganut agama yang berbeda, silakan. Ketika warga lain berpakaian agak terbuka, silakan. Asal tidak merugikan diri sendiri dan sesama. Anehnya, di Indonesia, orang lebih suka mengurusi urusan pribadi orang lain (agama, kepercayaan) ketimbang berbenah bagaimana supaya tidak merugikan pribadi lain.

Ah, tapi rasanya susah untuk maju dalam waktu dekat ini. Lah perkembangan teknologi saja didemo. Sopir taksi konvensional memprotes taksi berbasis teknologi.

Ayolah, Indonesia. Saatnya belajar. Jangan mundur lima belas tahun ke belakang.

Tuesday, March 8, 2016

Membahas H2 Math (Latihan UEE NTU dan NUS)

0

Sesuai yang dijanjikan sebelumnya, saya bakal post tentang contoh soal H2 Math.
            Apa sih H2 Math?
            Jadi, H2 Math itu Matematika yang diajarkan di Junior College Singapura (setara SMA di Indonesia). Kok namanya bukan A-Level? Iya, sebenarnya ini memang setara dengan A-Level, hanya saja Ministry of Education-nya Singapura memodifikasi soalnya lagi supaya lebih berbobot. Jadilah H2 Math. H2 Math sendiri adalah lanjutan dari H1 Math, jadi anggapannya H2 Math lebih advanced dari H1 Math.
Materinya banyak yang berbeda dari materi di SMA Indonesia, misalkan saja di sana sudah diajarkan complex number, sedangkan kita belum. Cara pengerjaannya juga berbeda. Di Indonesia, matematikanya tentang hafal rumus. Di Singapura, kebanyakan soal matematika pertanyaannya hanya: “Show that … equals to ….” Murid dituntut untuk menggunakan logika, bukan sekadar hafal rumus. Apa ini menunjukkan kurikulum Indonesia tertinggal dengan kurikulum luar negeri? Bisa saja. Mungkin hal ini bisa jadi bahan introspeksi bagi pemerintah, tidak hanya menjadikan kurikulum sebagai alat politik. *no offense*
Jadi, begitulah pengantarnya. Sekarang saya bahas beberapa soal. Lumayan, bisa jadi soal latihan UEE NTU dan NUS. From now on, I’m using English, since you have to do the test, i.e. NTU and/or NUS’s UEE, in English, too. Well, you have to be used to it, otherwise you would struggle in doing the test.
PS:  I DO NOT own the question. All credit goes to mathdistinction.com. However, I worked on the solution by myself. I did it on Microsoft Word and used snipping tool.
Question 1

You can see that you are going to be told about the marks of each question.
            Let’s go straight to the problem.
            Analysis Step
            Look at the first inequality. Well, how should I solve this problem? Do I have to multiply each side by x-2? Or do I have to subtract x+1 from each side?
            Be aware. I said, BE AWARE.
            On the first glance, I know you would be tempted to multiply each side by x-2. But, you don’t know whether x-2 is a negative number or not. If it is negative, then you have to change the inequality sign. If it is not, then you do not have to.
            Such a gambling, isn’t it?
            So, the most righteous way to do this is to subtract x+1 from each side.
            “Working on the problem” Step
As I told before.

Almost done, folks. Just add here and subtract there.

The minus sign annoys me, so I multiply each side by -1. The sign changes from “greater than or equal to” to “less than or equal to”. Then, factorise.

From here on, use sign test. I’m sure you’ve learned it in your Senior High.
Before advancing, I want you to look at the denominator. The sign is a “less than or equal to”. But, since you cannot have zero at the denominator, you have to change it a little bit. ONLY for x-2, it has to be a strict inequality, not a weak inequality. By all means, you do not include 2 in the sign test.

See? The circle for 2 is hollow while the other circles are solid. I did this to distinct strict inequality and weak inequality.
As we need the negative result, the set of values of x are:

Let’s move to the second part.
When you see “hence”, then you do not have to think too far from your previous solution.

It seems like you have to work from scratch, but don’t!
There is an easier way to solve this.
Remember the first inequality?

Just replace x with 1/x.



Then, it is just algebra thing. We get the second inequality.
From the first solution, replace x with 1/x, again.

This is just a recriprocal business. When you change 1/x to x again, keep in mind that the sign has to be REVERSED.

Voila.

Ya, jadi itu soal tentang pertidaksamaan. Untuk mengerjakan pertidaksamaan, kita hanya perlu berlatih dan berlatih.

Sunday, March 6, 2016

Pengalaman UEE NTU (+Pengumuman)

2

            WARNING: I’m gonna write in English, as I need myself getting used to writing in English. Hope you can grasp the meaning of this post.
            Nanyang Technological University (NTU) is a Singapore public government university, besides  National University of Singapore (NUS) and Singapore Management University (SMU). Yes, since Singaporean appreciate merit, these kind of public universities are more reputable than private ones (e.g. SIM, PSB, James Cook) *no offense*. If you’re admitted by one of them, in this case NTU (because I’m only talking about NTU in this post), then I guess you must be smart enough. The reason why NTU only pick the best ones is because their rank in QS World University is… ah, I can’t tell. Go look up for it in Google, and you’ll find yourself astonished.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com