Tuesday, July 26, 2016

Si Payah di Sekolah Pasti Bakal Kaya?

0

Saya yakin kalian pasti udah nggak asing dengan kalimat ini:

"Belajar yang rajin biar nilai kamu bagus, terus bisa kerja."

Kamu mungkin percaya dengan kalimat tadi sampai jargon-jargon ini menyerang:

"Orang pinter jadi budaknya orang goblok."

"Kata Bob Sadino, percuma kepinteran, nanti ujung-ujungnya jadi bawahan."

"Orang yang nilai rapornya bagus pasti nggak bisa praktik waktu kerja."

"Anak IPA nggak bisa ngalahin anak IPS kalau urusan banyak-banyakan uang."

Ya, mungkin Indonesia jadi satu dari sedikit negara yang warga-warganya berpikir demikian. Katanya, lebih baik jadi goblok, asal pintar dagang sama pintar ngomong, dijamin kaya. Lebih baik nggak bisa hitung-hitungan, daripada nggak bisa kerja. Lebih baik nggak juara satu, daripada nggak juara jumlah duitnya di antara temen-temen. Intinya, si payah di sekolah pasti bakal kaya. Mungkin ada benernya, tapi kalimat-kalimat di atas serasa pedang bermata dua. Kenapa?


Sisi positif

Kemarin saya membaca How to Win Arguments karya Madsen Pirie, dan saya menemukan poin bahwa dalam berargumen, kita sebaiknya mempertimbangkan dua sisinya: baik dan buruk. Saya tidak ingin jatuh dalam one-sided assessment fallacy, jadi saya coba singgung bagian positif dari kalimat di atas terlebih dahulu.

Yang pertama, nilai sekolah memang nggak selalu menentukan kesuksesan. Contoh yang paling gampang saja, Bill Gates bahkan nggak menyelesaikan studi di Harvard, namun bisa kaya seperti sekarang. Contoh yang lain, saya pernah dengar dari teman saya bahwa ada orang yang suka bolos ke warnet semasa SMA, namun sekarang punya usaha yang sukses. Di sisi yang lain, orang pintar yang biasanya ngasih sontekan ke orang payah di sekolah itu, kerjanya jadi sales. Jelas jadi bawahan orang payah tadi.

Selanjutnya, nggak semua orang memang punya passion di bidang sains atau cabang akademik lainnya. Gampangnya, apa yang saya suka belum tentu kamu suka juga. Saya pernah kenal teman yang sangat jago IT, padahal nilainya biasa-biasa saja. Ada juga teman saya yang pintar main musik, khususnya drum, padahal nilainya biasa saja. Jadi, kalimat tadi bisa buat sedikit menyemangati mereka yang memang nggak terlalu bagus di bidang akademik.

Sisi negatif

Sayangnya, dari kalimat tadi, menurut saya lebih dominan sisi negatif daripada sisi positifnya.

Alasan utamanya adalah, kalimat ini merendahkan orang yang memang berbakat di bidang akademik. Katakanlah siswa yang bernama Budi memang pintar matematika sejak kecil, namun karena membaca atau mendengar pernyataan itu, dia rendah diri. Akhirnya, Budi mengubur dalam-dalam keinginannya untuk belajar dan nilainya pun terjun bebas. Budi pun nggak jadi seseorang yang berguna karena bakatnya nggak dipakai.

Ya, memang jumlah orang yang berbakat di bidang akademik lebih sedikit daripada yang tidak. Tetapi, itu bukan alasan untuk mendiskriminasikan mereka. Yang mayoritas belum tentu paling benar. Menurut saya, keduanya benar. Nggak ada yang salah.

Lagi pula, di Indonesia, memang ada bidang-bidang yang mendapat sedikit apresiasi dalam bentuk pendapatan maupun hak cipta, semisal sains dan teknologi. Meski begitu, itu bukan alasan untuk merendahkan mereka yang memang cemerlang di sekolah. Apa yang menurutmu sukses, belum tentu menurut mereka sukses. Misalnya, kalian mendefinisikan sukses itu bagaimana kalian punya banyak uang. Menurut mereka, bisa saja definisinya bukan seperti itu.

Yang nggak kalah penting, statement tadi bisa jadi excuse untuk mereka-mereka yang malas. Pertama-tama, mereka memilih masuk IPS karena merasa lebih santai, dikit PR, dan hitung-hitungannya nggak ribet. Ya, sebenarnya IPA dan IPS sama saja, namun IPS jadi rusak di mata khalayak umum karena orang-orang macam mereka. 

Kemudian, mentang-mentang beban di kelas cuma dikit, mereka sering bolos sekolah untuk pergi merokok atau main warnet. Waktu senggang mereka habiskan dengan hal yang sama. Ketika ditanyain, mereka cuma jawab, "Halah, sekolah nggak menentukan kesuksesan. Gue pasti sukses meski tanpa sekolah."

Plis, meski kalian nggak berbakat akademik, seenggaknya usaha buat dapat nilai yang cukup. Seenggaknya coba ngembangin bakat kalian. Seenggaknya coba kurang-kurangin asumsi yang sangat menyalahi logika itu.

Kesimpulannya, si payah di sekolah belum tentu kaya, dan si pintar di sekolah belum tentu biasa-biasa saja. Faktanya, Albert Einstein sebenarnya pintar di sekolah, dan dia terkenal sampai sekarang. Ya, pernyataan kalau Einstein bodoh waktu masih sekolah itu mitos, karena ada inversi skala nilai waktu itu. Kalian bisa baca di https://www.quora.com/Is-it-true-that-Albert-Einstein-failed-in-mathematics-many-times-during-his-school-days.

Semuanya kembali ke usaha kita, nggak peduli kita masuk ke "tim payah" atau "tim pintar". 

Sunday, July 24, 2016

Pengalaman SNMPTN 2016 Part 2: Nyaris Batal Masuk ITS!

2

Buat yang belum baca part 1, silakan baca di sini.

Post-SNMPTN

Saat tahu saya diterima di ITS lewat jalur SNMPTN, rasanya dunia jadi indah banget. Waktu jalan-jalan di Bali, baik di Beachwalk, Kuta Beach, Nusa Dua, atau lainnya, rasanya nggak bisa banget buat nahan senyum. Apalagi teman-teman di sana menyelamati saya, rasanya tambah senang.

Setelah pulang dari Bali, saya ikut tryout SBMPTN di Unesa pada 15 Mei. Yang mengadakan adalah pihak Unesa dan ITS. Ya, saya ikut tryout ini soalnya udah telanjur daftar, dan sayang banget kalau nggak jadi ikut. Alhasil, saya juara 1 tryout di bidang Saintek meski konsentrasi saya sempat pecah di kelas. Memang, banyak peserta lain yang kayak nggak niat ikut. Waktunya ngerjain malah ngobrol sama teman sebelahnya. Kan ngeselin, bikin yang niat malah terganggu.

Enam hari kemudian, sekolah saya mengadakan acara semacam wisuda. Di sana, saya diumumkan sebagai peraih nilai tertinggi sejurusan IPA di sekolah. Rasanya nggak masuk akal, mengingat waktu kelas 10 dan 11 saya hanya berada di sekitar peringkat 8. Nah, waktu itu rasanya saya bangga banget. Serasa di atas angin. Dan saya nggak sadar kalau saya ngerasa di atas angin. Ya, istilahnya agak terlena gitu.

Disaster

Jam 3 pagi, tanggal 22 Mei, entah kenapa saya seperti dapat bisikan, "Cek website ITS!"

Ya saya coba cek.

Pelan-pelan saya baca persyaratannya. Secermat mungkin. Tapi, dari kalimat pertama saja saya sudah kaget. Tercengang gitu. Langsung kosong pikiran saya.

Oh, shit. What have I done?

(ini dari smits.ac.id.)

Pikiran saya langsung terbang ke mana-mana. Sudah kelewat 4 hari dari tanggal pengisian. Aduh. Saya berpikir, "Masa iya aku nggak jadi masuk ITS cuma gara-gara kesalahan bodoh gini sih? Masa iya aku harus ngulang masuk tahun depan lewat SBMPTN? Buku SBMPTN-ku udah aku kasih ke temen nih. Temen sama guru-guru juga taunya aku masuk ITS tahun ini, mau bilang gimana coba?"

Ya, sejauh yang saya tahu, daftar ulang SNMPTN itu cuma tanggal 31 Mei 2016 saja. Jadi, saya nggak membaca info lebih lanjut di smits.ac.id. Dan itu kesalahan yang fatal banget. Saya terlalu merasa di atas, jadinya lupa melihat hal-hal kecil yang ada di bawah. Sejak itu, saya bertekad untuk tetap menjaga pikiran agar tidak terlena saat sudah berhasil.

Calming the storm 

Karena tanggal 22 itu hari Minggu, saya harus nunggu besoknya untuk ke ITS untuk mengajukan permohonan untuk mengisi data di sipmaba.its.ac.id. Untungnya, ada orangtua dan kedua koko yang membuat saya tenang dan ngasih solusi yang pas. Saya bersyukur banget, sih, punya keluarga kayak mereka. Kalau nggak, entah gimana saya bisa berpikir jernih. Mereka juga yang membantu saya cari dokumen-dokumen yang diperlukan untuk mengisi data online. I couldn't thank them more.

Besoknya, ke ITS pun sudah jadi kewajiban. Setelah mencari-cari tempat adminnya sipmaba, saya pun siapkan muka tembok kalau-kalau diomelin di sana, atau bahkan nggak boleh ngisi data lagi. Saya ketuk pintu, dan pelan-pelan bicara, "Bu, bisa saya mengisi data di sipmaba? Saya telat ngisi."

Ibu-ibunya bilang dengan muka nggak enak, "Lho, kok baru ngisi?"

"Iya, saya lupa. Baru sadar Sabtu malam kemarin."

Dan selanjutnya, saya diomelin sedikit. Tapi okelah, mereka tetep memperbolehkan saya mengisi data lewat akun admin, karena data akun yang dimiliki mahasiswa memang sudah dikunci dan nggak bisa diubah-ubah lagi.

Siang hari, prosesnya selesai, dan saya keluar layaknya habis keluar dari lautan yang tertutup badai. Nyaris saja saya hanyut terkena badai tersebut. Sejak itu, saya mengingat-ingat tanggal tes kesehatan, verifikasi rapor, sampai verifikasi biodata pada 31 Mei. Ealah, tanggal 31 Mei itu ternyata cuma verifikasi biodata. Saya kira verifikasi semuanya dilakukan tanggal 31. Bruh.

Dan inilah saya, sudah resmi diterima di Teknik Geofisika ITS. Di sini, saya menemukan teman-teman yang agak gesrek gitu, namun seru. Menurut jadwalnya, saya bakal menjalani orientasi seinstitut atau yang biasanya disebut Gerigi pada 26 Agustus 2016. Doakan semuanya lancar saja.

Tanpa perlu banyak ceramah lagi, saya yakin kalian bisa belajar dari pengalaman yang greget ini. Kalian belajar, saya juga belajar. Kita semua selalu belajar setiap harinya. Yah, begitu.

Saturday, July 23, 2016

Pengalaman SNMPTN 2016 Part 1: Lolos dari Lubang Jarum!

18

Sebelum cerita pengalaman SNMPTN ke kalian, ada baiknya saya kasih tahu sedikit info. Buat yang belum tahu, SNMPTN itu singkatan dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Kalian pasti sering bingung antara istilah SNMPTN dan SBMPTN. Oke, di sini saya coba jelasin bahwa keduanya berbeda, meski hanya beda di huruf kedua. Yang SBMPTN itu Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi. SNMPTN sistemnya seperti undangan dengan memperhatikan nilai rapor semester satu sampai lima, indeks sekolah, prestasi siswa di ajang perlombaan, dan lain-lain. Sedangkan SBMPTN sama seperti ujian tulis. Begitu.

Sebelum Pendaftaran

Awalnya, saya nggak punya niatan untuk masuk PTN, meski tahu bahwa PTN di Indonesia memang banyak yang ngetop, seperti ITB, ITS, UGM, UI. Tepatnya, saya masih bingung kuliah mana. Dan kebetulan, saya juga berharap untuk masuk dua perguruan tinggi ternama di Singapura. Ceritanya bisa kalian baca di sini atau sini.

Di sisi lain, teman-teman saya di awal-awal kelas 12, mungkin sama seperti kalian, bener-bener ngebet untuk masuk PTN. Jadilah mereka mulai cari info PTN, passing grade, bahkan sampai bimbel untuk persiapan SBMPTN. Gila, niat banget mereka, pikirku waktu itu. Saya masih belum tergerak untuk ikut daftar PTN. Cuma sesekali ikut ngerjain soal SBMPTN, itu pun karena memang ada temen yang nanya. Kalau nggak mana mungkin saya ngerjain. :)))

Pendaftaran

Setelah UEE NUS dan NTU, saya sadar bahwa saya harus cari cadangan tempat kuliah.

H- berapa gitu sebelum verifikasi nilai ditutup, guru BK mendadak masuk kelas dan nanya, "Pendaftaran SNMPTN udah dibuka, siapa mau daftar?" Sekitar sepuluh orang angkat tangan, termasuk saya, Iya, saya yang awalnya nggak minat ikut SNMPTN.

Pulang sekolah, kami ke ruang BK untuk mengambil username dan password untuk login ke PDSS, ngecek apakah nilainya sudah benar atau belum. FYI, untuk SNMPTN, awalnya pihak sekolah yang memasukkan nilai rapor kita ke PDSS, dan kita tinggal periksa lagi. Karena kalau nilai yang di PDSS nggak sesuai sama yang di rapor, tahu lah gimana.

Saya pulang dan ngecek. Wush, nilainya banyak yang salah. Jadilah saya nge-print transkrip dari PDSS dan menandai mana yang salah. Seingat saya itu sudah mepet banget, sekitar H-2 sebelum portalnya ditutup. Saya mulai ndredeg, takut si guru BK ini nggak keburu masukin nilainya sebelum hari H.

Untungnya, waktu pengisian di PDSS diperpanjang satu hari. Singkat cerita, semuanya kelar dan kami yang daftar SNMPTN dibawa ke suatu kelas untuk survei jurusan. Ya, kalian tahu bahwa di satu sekolah bisa saja ada beberapa yang mengambil jurusan yang sama di PTN yang sama. Jadi, tujuan survei ini untuk mencegah, atau seenggaknya meminimalisir kemungkinan, ketidaklolosan akibat "ditikung" teman sendiri.

Waktu itu, ada sekitar 40 atau 50 orang yang di dalam kelas. Satu per satu nama PTN yang biasanya banyak diminati seperti Unair, UGM, ITS, Udayana, disebut oleh guru BK saya tersebut. Ketika melihat papan tulis, saya hanya bisa geleng-geleng. Yang memilih jurusan Ilmu Hukum di Unair aja 5 orang, bro! Termasuk banyak lah. Ada juga yang daftar FK atau FKG Unair, saya lupa, dan dia langganan ranking paralel 1 di angkatan saya.

Ketika nama ITS disebut, saya bilang, "Teknik Fisika! Teknik Geofisika!" Ya, masing-masing itu pilihan pertama dan kedua saya. Untungnya, hanya saya di sekolah yang memilih jurusan tersebut. Kebanyakan di ITS memilih Arsitektur atau Teknik Sipil. Syukurlah, nggak bisa "ditikung" teman satu sekolah. Wajar, jurusan yang saya pilih memang nggak mainstream, karena saya ingin sesuatu yang beda. Berhubung saya suka Fisika juga, jadilah pilih itu.

Kemudian, kita tinggal menunggu 10 Mei, tanggal pengumuman SNMPTN. Tentu saya pasrah. Bicara keketatan, SNMPTN dan SBMPTN memang greget. Keduanya nggak jauh beda. Mengutip dari Zenius, begini persentasenya:

(Ini yang SNMPTN.)
(Dan ini yang SBMPTN.)



Jadilah setelah UN, saya mencicil belajar SBMPTN, just in case nggak diterima SNMPTN meski nilai rata-rata rapor aman di kisaran 90an. Menurut banyak cerita, memang banyak anak dengan nilai rapor memuaskan, namun nggak lolos SNMPTN. Lagi pula, sekolah saya swasta, jelas lebih sedikit kuotanya ketimbang sekolah negeri. Sekolah saya pun nggak punya rekam jejak yang bagus dalam lomba antarsekolah. Bahkan, sekolah saya pernah di-blacklist oleh ITS dan Unair karena ada yang diterima SNMPTN di sana namun nggak diambil.

Pengumuman SNMPTN

Ada satu berita menghebohkan saat itu: pengumuman SNMPTN dimajukan jadi 9 Mei jam 13.00 WIB. Mendekati pengumuman yang krusial itu, saya terus harap-harap cemas. Kebetulan, 9 Mei adalah tanggal saya berangkat ke Bali bersama teman-teman untuk liburan. Saya yang seharusnya tidur cepat karena pagi-pagi harus ke bandara, malah nggak bisa tidur.

Singkat cerita, saya menunggu di pinggir kolam renang hotel sembari melihat teman-teman berenang. 13.30, 13.31, 13.32 WITA (ingat, saya kan lagi di Bali waktu itu), rasanya waktu lambat banget. Karena nggak ingin mati penasaran, saya pun ikut terjun renang sampai 13.55. Pas banget 5 menit buat bersih-bersih. Saya kembali ke depan layar ponsel pada jam 13.59. Jujur, tangan saya gemetaran. Badan panas dingin. Kebetulan ada satu teman seperjalanan saya, namanya Tonny, yang ikut SNMPTN juga, dan saya mengingatkan, "Ton, ayo bareng buka web'e SNMPTN! Aku ga sabar iki wes'an."

Pukul 14.01 WITA, saya baru berhasil masuk ke laman input nomor peserta dan tanggal lahir. Saya dengan hati-hati mengetik nomornya. Dan betapa kagetnya saya ketika mengetahui bahwa saya, Christopher Salim, diterima di ITS lewat SNMPTN di pilihan kedua, Teknik Geofisika! Screenshot-nya kehapus, jadi ini saja:

(yang ini dari smits.ac.id.)

Sementara itu, saya juga denger bahwa teman-teman satu sekolah yang lain nggak lolos SNMPTN, termasuk teman saya yang milih jurusan kedokteran Unair itu. Jadilah saya satu-satunya yang lolos SNMPTN dari sekolah saya. Rasanya cukup prihatin, tapi tetap saja senang karena saya berhasil lolos di ITS. Saya saat itu mengabarkan hasil SNMPTN kepada orangtua dan guru. Mereka bangga dengan hasil ini. Saya juga bersyukur dan yakin kalau Tuhan menempatkan saya di ITS, dan jodoh nggak akan ke mana-mana. Buktinya, saya nggak perlu ikut SBMPTN, bersusah payah mengerjakan tes yang susahnya lima kali lipat dari UN. Nggak, saya nggak bermaksud sombong.

Selanjutnya, saya akan ceritakan pengalaman daftar ulang di ITS.

(Added: untuk part 2 bisa dilihat di sini.)

Wednesday, July 20, 2016

Is Moving Mass Really a Thing?

0


At some point, in modern physics, we (will) study Einstein's relativity and come across with the stationary mass and moving mass terms. When I learned about it, it kind of made sense. But, over time I thought that this was strange. If you want to know why, take a look at the image below.


According to Einstein's theory of relativity, many things are not absolute, such as speed, object length, time, and so on. In fact, it all depends on which frame of reference we look at, there is nothing wrong with that. For the picture above, it can indeed be explained by a long contraction (length contraction). However, the question is, does the mass of the person actually change as he moves about a certain frame of reference?

To answer that, I've thought and done some research so that I can draw a conclusion: relativistic mass theory is probably obsolete! In essence, moving mass actually does not exist in my opinion.

What is mass?

According to Wikipedia, mass means property or ownership of an object. According to classical physics, the greater the mass of an object, the harder it is to make it accelerate when a force is applied to it. According to modern physics, mass is actually the same as energy, only in a different form. This is also known as mass-energy equivalence.

Modern physics has succeeded in explaining how an object can have a certain mass. Objects, apart from being composed of atomic nuclei (protons and neutrons) and electrons, are also composed of particles that cannot be seen by the naked eye. One type is the gluon sub-particle which bridges between the particles in the atomic nucleus to exert a strong force of attraction. The stronger the field flux produced by the gluon, the stronger the force. Well, the attractive force is the origin of the energy we know as bond energy. However, the actual mass of an object comes from that energy. So, that's the origin of the mass of objects.

Does velocity change mass?

(source: Studying Physics Made Practical by Aip Saripudin et al., in Indonesian)

According to this formula, the mass of an object depends on its velocity. Since the denominator is always less than 1, the moving mass will always be greater than the rest mass. The same statement is also found in the Physics textbook by Marthen Kanginan.

So, when we think a little, if we drop an object as small as sand at a speed close to light, say 290,000,000 m/s, the formula will be:

But:
The denominator approaches 0 as the speed approaches the speed of light. So, even moving mass must approach infinity! Very strange result, how can an object have such a large mass just because its velocity is large? That's what started my line of thought about this.

Secondly, if the mass of the object becomes very large because of the velocity, how does the velocity affect the sub-particles in the object so that the bond energy becomes very large? Through friction? However, in outer space there is no air resistance, right? Scientists at that time still could not explain this phenomenon. The concept of relativity becomes even more complicated with the moving mass term.

What goes beyond this

Now, scientists define mass as an inherent property of an object, another term is mass invariant. That is, the mass does not depend on the frame of reference of the observer of an object. If an observer at rest sees an object with a mass of three kilograms, an observer in motion will see an object with a mass of three kilograms as well.

In my opinion, what increases with the relativistic velocity is the kinetic energy. The greater the speed, the greater the kinetic energy. So, it is the increase in energy that makes an object seem heavier and denser, because of the mass-energy equivalence described above. Mass and energy are similar, so we think that mass is changing, when actually it is not.

Thursday, July 14, 2016

Medan Gravitasi atau Gaya Gravitasi?

0

Banyak yang tahu apa itu gravitasi. Mungkin sebagian orang menjawab, "Gravitasi itu yang membuat benda-benda jatuh." Beberapa yang lain mungkin mendefinisikannya sebagai tarik-menarik antara benda-benda yang ada di sekitar kita. Sejauh yang masyarakat awam pahami, itu penjelasan tentang apa itu gravitasi.

Masalahnya, definisi di atas terlalu umum. Saya sejak dulu penasaran, sebenarnya gravitasi itu medan atau gaya?

Waktu masih kecil, saya sering mempertanyakan banyak hal. Misalnya, saya pernah membaca suatu buku dan langsung paham bahwa gravitasi adalah gaya tarik menarik antara dua benda. Saat SMA, saya juga belajar bahwa gravitasi juga merupakan sebuah medan. Setelah itu, definisi gravitasi sendiri seperti menjadi lebih kompleks setelah teori Einstein keluar. Jadi, saya mencoba untuk melakukan sedikit riset.

Apa itu gravitasi menurut para ahli fisika klasik?

Menurut Aristotle, gravitasi adalah suatu hal yang menimbulkan kecenderungan benda-benda untuk jatuh ke pusat alam semesta

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: tidak dijelaskan.


Karena pusat alam semesta berimpit dengan pusat Bumi, maka benda-benda otomatis jatuh menuju pusat Bumi. Hal yang menjadi masalah adalah mengapa planet-planet dan Matahari nggak jatuh ke pusat Bumi juga? Karena pertanyaan ini, teori gravitasi Aristotle terabaikan.

Yang kedua, fisikawan asal Inggris, Isaac Newton, mempublikasikan teorinya dalam buku Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica seperti ini:

Semua partikel di alam semesta saling menarik partikel yang lain dengan besar gaya yang sebanding dengan hasil kali kedua massa partikel dan berbanding terbalik dengan jarak kuadrat kedua partikel tersebut. Arah dari gaya gravitasi searah dengan garis lurus yang menghubungkan kedua partikel.

Selain itu, Newton juga lebih menekankan percepatan gravitasi sebagai percepatan benda untuk menuju ke pusat Bumi, bukan sebagai kuat medan gravitasi itu sendiri. Hal ini disebabkan karena teori Newton ini dianalogikan sebagai teori tug-of-war, yaitu tarik-menarik.

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: gaya.




Analisis teori Einstein

Revolusi besar dalam pemahaman kita mengenai gravitasi terjadi pada 1907 ketika fisikawan asal Jerman, Albert Einstein, merilis teori tentang relativitas umum. 

Pertama-tama, Einstein menegaskan bahwa gravitasi sebenarnya adalah kelengkungan empat dimensi ruang-waktu karena adanya benda bermassa. Semakin besar massa suatu benda, semakin dalam lengkungannya. Ini gambarnya kalau kalian nggak paham dengan penjelasan verbal. 

(sumber: www.waykiwayki.com)

Setelah itu, Einstein mengatakan bahwa gravitasi jelas bukan gaya tarik-menarik seperti yang dikemukakan oleh Newton.

Para ilmuwan pun mengetes teori Einstein, dan memang teori ini bisa menjelaskan perubahan orbit Merkurius mengelilingi Matahari, perubahan arah cahaya saat mendekati Matahari di kondisi gerhana Matahari, serta penemuan exoplanet ketika dipadukan dengan teori efek Doppler.

Singkatnya, teori Einstein lebih luas dalam menjelaskan gravitasi. Bahkan, dalam suratnya, Einstein mengungkapkan permintaan maaf pada Newton. Jadi, kita akan menggunakan penjelasan teori ini untuk selanjutnya.

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: medan.

Jadi, gravitasi itu gaya atau medan?

Sebelum lanjut, ada baiknya kita bahas sedikit tentang gaya fiksi. 

Menurut Wikipedia, gaya fiksi (disebut juga gaya pseudo, gaya d'Alembert, atau gaya inersia) adalah gaya yang sebenarnya tidak ada menurut pengamat di luar, namun dapat dirasakan oleh pengamat yang berada dalam kerangka acuan yang mengalami percepatan. Misalnya gaya sentrifugal dan gaya Coriolis.

Ilustrasinya seperti ini:

(sumber: cnx.org)

Yang kiri adalah menurut pengamat yang ada di komidi putar (ada gaya fiksi ke luar), sedangkan yang kanan adalah menurut pengamat yang sedang diam di luar komidi putar (cuma ada gaya sentripetal menuju ke pusat lintasan).
Di teori relativitas umum, Einstein juga menjelaskan dengan prinsip ekuivalensi bahwa:

Keadaan suatu benda yang berada dalam medan gravitasi bisa dikatakan ekuivalen dengan suatu benda yang berada dalam kerangka yang mengalami percepatan ke atas.


Karena teori relativitas terlalu susah untuk dijelaskan secara matematis, jadi saya mencoba menjelaskan secara verbal. 

Pada gambar sebelah kiri, bola dijatuhkan di dalam elevator yang diam (a = 0) dan kemudian mengalami percepatan sebesar g. 

Di gambar kanan, elevator bergerak dengan percepatan -(arahnya ke atas) di ruang hampa, dalam arti gravitasi bisa diabaikan. Namun, orang tersebut merasakan, dengan kata lain, mengerjakan gaya reaksi terhadap lantai, hasil dari percepatan elevator ke atas sebesar F = mg. Jadi, menurut kerangka acuan orang tersebut, bola jatuh dengan percepatan g. Ini yang dimaksud dengan prinsip ekuivalensi. 
Menurut pemikiran saya, dengan menghubungkan prinsip ekuivalensi dan gaya fiksi, kita bisa mengatakan bahwa gaya gravitasi F = mg yang sudah kita bahas tadi adalah gaya fiksi. Ingat, elevator juga merupakan kerangka acuan yang dipercepat, jadi perbandingan antara komidi putar dan elevator ini analog. 

Konklusi

The bottom line, gravitasi adalah medan dan gaya. Medan gravitasi itulah yang menyebabkan adanya percepatan sehingga kita bisa merasakan gaya gravitasi yang sebenarnya gaya fiksi.  

Oke, saya udah berpikir dan menulis postingan ini selama empat jam lebih. Kurang lebih begitu penjelasannya. Kapan-kapan, saya akan coba berpikir lagi mengenai gaya gravitasi sebagai salah satu dari empat gaya fundamental di alam semesta ini.

P.S.: beberapa referensi saya untuk crosscheck adalah Wikipedia,
https://www.quora.com/Is-gravity-a-fictitious-force-How-so ,
serta buku berjudul Physics for Scientists and Engineers karya Serway dan Jewett.

Saturday, July 9, 2016

Apa Definisi Sukses Menurut Saya?

0

"Belajar yang bener, biar jadi orang sukses."
"Banyak-banyakan mobil aja; yang paling banyak dia yang lebih sukses."
"Yah, duitnya orang itu pas-pasan. Mungkin dia nggak sukses."

Pernah denger kata-kata seperti ini? Mungkin yang pertama itu kata orangtua, sedangkan sisanya bisa jadi kata teman atau orang yang sudah kaya. Orangtua mendefinisikan sukses sebagai kemampuan kita untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya; teman kita mendefinisikan sukses sebagai kemampuan kita untuk menggali uang sebanyak-banyaknya. Yeah, struktur kalimatnya sama, namun objeknya berbeda.

Definisi sukses itu objektif atau subjektif?

(sumber: www.pinterest.com)


Oke, mungkin tiga contoh di atas terlalu bias. Sekarang, saya mencoba untuk menunjukkan arti sukses secara objektif. Menurut KBBI seperti ini:

kesuksesan/ke·suk·ses·an/ n keberhasilan; keberuntungan: kebanyakan orang senang mempelajari - orang lain untuk ditiru

Keberhasilan di sini masih belum jelas artinya. Coba saya kutip sumber lainnya, misalnya dari Oxford Dictionary:

The accomplishment of an aim or purpose; The attainment of famewealth, or social status.

Seperti yang sudah kalian lihat, sukses berarti keberhasilan mencapai tujuan. Masalahnya, tujuan setiap orang nggak selalu sama. Yang membuatmu merasa sukses belum tentu membuat saya merasa sukses juga. Mungkin bagi sebagian orang, sukses itu berarti bisa beli rumah dan mobil. Bagi sebagian yang lain, sukses bisa juga berarti berhasil bangun pagi setiap harinya. Bagi yang sering sembelit, salah satu makna sukses berarti bisa buang air besar setiap paginya. Hore!

Kesimpulannya, definisi sukses itu sangat subjektif dan personal. Kita pasti punya definisi sukses sendiri-sendiri. Sudahkah kamu menemukan arti kesuksesanmu sendiri?

An example

(Warning: contoh ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan atau mengunggulkan jenis pekerjaan tertentu. Please be open-minded when reading this. Kalau rentan tersinggung, lompati saja bagian ini.)

Katakanlah ada dua orang yang bersahabat, yang satu bernama Budi dan satu lagi bernama Arif. Budi selalu gagal mendapat nilai bagus, sedangkan Arif selalu langganan menjadi juara kelas, bahkan juara umum di sekolah. Namun, Budi selalu dapat nilai jelek karena biasanya dia mengelola toko warisan ayahnya sampai malam sehingga bisa memperoleh omset yang banyak. Sampai sini, mana yang lebih sukses? Renungkan dulu.

Jawabannya, tergantung bagaimana kamu mendefinisikan kesuksesan. Sebagian menjawab Budi, sebagian lagi Arif, dan sisanya mungkin nggak menjawab sama sekali.

Kita lanjut. Beberapa tahun kemudian, Budi memutuskan untuk nggak kuliah karena ingin jadi pengusaha, sedangkan Arif kuliah dan selalu mendapat IP hampir sempurna setiap semesternya. Lalu, Arif pun bekerja biasa-biasa saja dengan gaji UMR, sedangkan Budi sudah memperoleh omset ratusan juta per tahun. 

Mana yang lebih sukses?

Sekali lagi, jawabannya subjektif. Ada yang menjawab, Arif suksesnya waktu sekolah aja, tapi waktu kerja nggak bisa apa-apa. Percuma dong sekolah tinggi-tinggi tapi gitu-gitu aja.

Definisi sukses menurut saya

Beberapa hari yang lalu, saya mengunduh e-book yang cukup intriguing and thought -provoking. Bukunya seperti ini:

(sumber: psychcentral.com)

Di dalamnya, ada kutipan dari seorang filsuf, yaitu Soren Kierkegaard yang seperti ini:

(sumber: www.pinterest.com)
Definisi sukses menurut saya kurang lebih adalah bagaimana kita bisa menjadi diri kita sendiri yang sebagaimana mestinya. Misal, kita mempunyai bakat seni, maka kita menyalurkan bakat kita ke bidang seni, bukan yang lain. Ya, hal itu memang berat, karena terkadang kita dipaksa untuk beralih ke bidang lain yang bergaji lebih tinggi. Saya juga mengalami seperti itu. Namun, bagaimana kita tidak membuang diri kita yang semestinya adalah hal yang membuat kita sukses. Intinya, do what you love.

Yang kedua, definisi sukses menurut saya adalah bagaimana saya menyalurkan bakat dan kemampuan kita agar dapat diterapkan oleh masyarakat. Sekarang, saya masih berpikir bagaimana kemampuan saya bisa berguna bagi masyarakat. 

Yang ketiga, sukses berarti bisa membuktikan pada orangtua bahwa kita bisa berdiri sendiri menghadapi dunia yang keras serta membuat mereka bahagia. Ayolah, orangtua mendidik kita susah payah, masa membuat orangtua bahagia sedikit saja nggak bisa?

What's your definition of success?


Tuesday, July 5, 2016

Mengapa Matematika dan Fisika Susah?

1

Oke, I’m back. Yah, setelah sekian lama nggak ngeblog—dua bulan tepatnya—karena perlu ngumpulin mood menulis lagi. Kebayang lah ya, buat nulis aja perlu mood, apalagi buat nyenengin gebetan. Nggak mungkin asal-asalan, soalnya udah bener-bener niat buat hal demikian. Oke, ini menyimpang dari topik.

Jadi, saya belakangan ini sering berpikir mengapa banyak dari teman-teman yang sering dapat nilai jelek waktu ulangan Matematika atau Fisika walaupun sudah belajar semalaman. Di sisi lain, ada segelintir kelompok yang seperti ini. Anggap aja kita A dan si genius gila itu B.

A: Kemarin nggak masuk, kan? Hari ini ulangan Matematika, Bro! Belum tau ya?
B: Oh ya?! Baca-baca dikit wes biar nggak buntu.

Dan setelah ujian, kita dapat 60 dan si B dapat 100. Paling jelek 90 lah. Hih, I know that feel lah. Rasanya pengen banting meja terus ngutuk diri sendiri.

Contoh berikutnya seperti ini:
A: Haduh, gimana sih ngintegralin ln^2(x)?! (Silakan post jawabannya di komentar kalau kalian nemu, ya.)
B: *lagi tidur di bangku sebelah, jawabannya udah ada*

By the way, kita sudah ngerjain dari setengah jam yang lalu, sementara si B sudah tidur sejak 25 menit yang lalu. Memang, ada dua kemungkinan, (1) si B jawabnya ngawur, jadi meski cepet jawabannya tetep saja salah, (2) si B memang bener. Tapi, di sini coba aja kita asumsikan dia ada di kemungkinan kedua. Rasanya sebel banget pengen makan buku.

Pertanyaannya, kenapa pelajaran eksakta, terutama Matematika dan Fisika, terasa sangat susah? Rasanya rumus-rumus seperti bahasa alien dan angka-angka seperti makhluk "sbfsdufhduieghurhfdjfyua" yang nggak masuk akal. *memang nggak ada sih*


Setelah menganalisis kedua contoh di atas dan berpikir tujuh malam, akhirnya saya menemukan kesimpulan mengapa hal-hal kayak di contoh itu bisa terjadi:

1. Otak kita sebenarnya diciptakan untuk memecahkan masalah-masalah yang konkret, sedangkan eksakta cenderung membahas permasalahan yang abstrak. Abstrak? Iya. Nggak percaya? Coba jelasin konsep limit delta-epsilon sekonkret mungkin dan yang terlihat seperti konsep itu applicable di dunia nyata. Bisa nggak?

Ini dia alasan fundamentalnya: susunan otak kita secara primitif memang seperti itu. Manusia zaman dulu hanya berpikir bagaimana untuk menghasilkan makanan, menghindari binatang buas, mencari tempat tinggal yang aman, dan semacamnya. Yah, meski peradaban sudah berkembang, kita masih menyimpan sebagian kecil dari bagian primitif manusia. Satu-satunya cara agar kita bisa mulai berpikir abstrak ya latihan dan menanamkan mindset yang benar.

2. Matematika dan Fisika memang makin lama makin susah. Dulu, waktu Om Newton masih hidup, rumusnya paling sebatas F= m.a alias gaya sama dengan massa dikali percepatan. Namun, ketika ilmuwan-ilmuwan lain nggak terima keadaannya begitu-begitu aja, akhirnya mereka membuat rumus-rumus yang makin lama makin njlimet. 

Itu persamaan Schrodinger yang terkenal untuk menghitung peluang adanya partikel dalam sistem kuantum. Gimana menurut kalian?

Masalahnya, bukannya mustahil kan kita menguasai konsep seperti ini?

3. Cara belajarnya salah. Biasanya, gimana sih cara kalian belajar Matematika? Katakan saja bab turunan. Mungkin kebanyakan dari kalian jawabnya, "Lihat caranya, terus contoh soal, terus cara kerjainnya." Ada juga yang jawab, "Hafalin aja rumusnya. Misal rumus lingkaran itu kan x^2+y^2=r^2."

Bisa-bisa aja sih sebenernya belajar seperti itu. Tapi, waktu soalnya diutak-atik sesukanya yang buat soal, kalian bisa apa? Matematika dan Fisika akan jadi terasa jauh lebih susah dari yang seharusnya!

Memang sih, sistem pendidikan kita mengedepankan hafalan, bukan pemahaman secara konseptual. Tapi, nggak ada salahnya kan kita mulai belajar konsepnya dulu? Misal, tau nggak kalau persamaan lingkaran itu sebenarnya dari segitiga di dalam lingkaran lalu kita cari komponen vektor dari jari-jari lingkaran supaya nemu rumus itu dalam bentuk persamaan Cartesius?

4. Memang nggak suka belajar Matematika dan Fisika. Ini nih yang paling helpless. Sekuat apa pun kapasitas otaknya, kalau sudah nggak niat, ilmunya buat masuk pun susah. Sebaliknya, kalau kita niat belajar (bukan cuma supaya dapat nilai bagus, tapi untuk ngerti ilmunya), ilmunya pun rasanya gampang banget masuk ke otak. 

Kalau dirangkum, kita bisa buat kesimpulan seperti ini:
(sumber: geniusquotes.org)

Jadi, Matematika dan Fisika terasa susah karena kita terkadang hanya belajar keras, tapi nggak belajar dengan cerdas. Akhirnya, keempat faktor di atas jadi batu sandungan yang sangat besar, padahal sebenarnya nggak besar-besar amat.

Begitu.

Monday, April 25, 2016

Saya Lolos NUS!

5

Kalian tahu, hasil itu nggak pernah mengkhianati perjuangan. Ya, meskipun kadang mengkhianati karena faktor X yang kita nggak bisa kendalikan. Tetapi, kita tetap bisa mendapatkan yang terbaik jika kita mau berjuang semaksimal mungkin.

Dan lihatlah saya. Saya bukan anak genius yang bisa lolos ke Oimpiade Sains Nasional, apalagi mewakili Indonesia di kancah internasional. Saya bukan berasal dari sekolah favorit di Indonesia. Saya hanya anak SMA biasa yang menaruh harapan di atas tingkat rata-rata. Dulu, saya bermimpi untuk diterima di universitas top dunia seperti NUS atau NTU Singapura.

Namun, rasanya mimpi itu sirna setelah aku menerima penolakan dari NTU. Rasanya sakit setelah berjuang sekian lama dan sekeras mungkin, belajar materi anak kuliah setiap hari saat liburan hingga mencari buku-buku referensi, namun nggak membuahkan hasil.

Tetapi, ada satu hal yang mengubah cara pikirku saat itu.

Pada 25 April 2016, saya menerima email dari NUS seperti ini:
Begitu mengguncang pikiran. Saya pun tersentak kaget setelah membaca email tersebut karena sebelumnya sudah berpikir, "Wah, nggak keterima nih. Lainnya sudah dapet, sini belum."

Tapi, kenyataan berkata lain.

Saya termasuk satu dari segelintir anak Indonesia yang diterima NUS! Saya lolos NUS!

Ya, meski kelihatannya hanya waiting list awalnya.

Meski begitu, hal ini pasti menjadi suatu kebangaan, karena kesempatan ini sangatlah langka. Pada akhirnya, baik saya menerima atau menolak kursi kuliah dari NUS, hal ini akan terus terkenang menjadi memori yang baik.

Oh hidup, kamu tidak selalu kejam ternyata.

Saturday, April 23, 2016

Cara Keluar dari Black Hole

0

Lubang hitam atau yang sering kita sebut black hole adalah benda yang sangaaaatt, sangat kecil di alam semesta, nyaris menyerupai titik. Jika didefinisikan secara kasar, black hole ini merupakan sisa-sisa dari bintang yang sudah mati. Tetapi, nggak semua bintang yang sudah mati otomatis menjadi black hole. Ketika massa inti dari sebuah bintang melebihi dua atau tiga kali lipat dari massa Matahari, bintang itu akan terus menyusut oleh pengaruh gravitasinya sendiri sehingga menjadi titik yang sangat kecil, namun dengan kekuatan gravitasi yang diyakini bisa menarik apa pun di alam semesta, bahkan cahaya sekalipun.

Daerah yang terpengaruh oleh tarikan gravitasi black hole disebut dengan cakrawala kejadian atau event horizon (agak aneh kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia). Jari-jari Schwarzchild sendiri merupakan jari-jari dari event horizon, atau dalam tulisan ini berarti jarak minimum yang harus ditempuh untuk keluar dari tarikan gravitasi black hole.

Sekarang, bagaimana cara keluar dari black hole jika sudah terjebak di sana?

Bayangkan keadaan di Bumi ketika roket memerlukan kecepatan minimal untuk meluncur ke luar angkasa. Pada saat di titik tertinggi yang bisa dicapai roket, tentunya kecepatan sama dengan nol.

Ya, jadi kita memerlukan kecepatan yang bisa membawa kita keluar dari black hole, atau seenggaknya hanya menyentuh bagian terluar event horizon agar tidak tertarik oleh gaya tarik lubang hitam!

Pertanyaannya, seberapa cepat?

Mari kita buktikan dengan perhitungan menurut konsep gravitasi:

Kita bayangkan diri kita dan planet atau black hole sebagai suatu sistem yang dipengaruhi oleh gaya konservatif saja, yaitu gaya gravitasi. Jadi, energi mekanik selalu kekal.

Lalu, energi potensial yang digunakan di sini adalah energi potensial gravitasi, bukan energi potensial mgh, karena nilai kuat medan gravitasi di konteks ini semakin berkurang seiring bertambahnya jarak ke pusat planet.

(Jarak akhir sama dengan tak hingga, dan bilangan dibagi tak hingga sama dengan nol.)

Dengan G sebagai konstanta gravitasi universal, M sebagai massa planet atau bintang, dan r sebagai jari-jari planet atau bintang jika kita berada di permukaan planet/bintang.

Anggaplah kita terjebak di  XTE J1650-500 di konstelasi Ara yang merupakan black hole paling ringan saat ini. Massanya berkisar lima hingga sepuluh kali lipat massa Matahari, jadi kita ambil titik tengahnya saja, yaitu 7,5 kali lipat.


Namun, jika menggunakan cara yang sama untuk mengukur kecepatan minimal untuk keluar dari lubang hitam bermassa seratus kali massa Matahari, kita akan menemukan hasil yang hampir sama dengan hasil di atas.


Menurut hasil perhitungan di atas, kecepatan minimal untuk keluar dari black hole, baik yang bermassa kecil maupun besar, kurang lebih sama dengan kecepatan cahaya, yaitu 300.000.000 meter per sekon.

Hanya saja, dapat disimpulkan bahwa sangat berbahaya untuk melaju sebatas kecepatan minimal. Minimal di sini berarti kecepatan harus lebih besar dari hasil di atas, bukan harus lebih besar atau sama dengan. Cahaya sendiri dapat tertarik ke dalam lubang hitam.Oleh karena itu, kita memerlukan kecepatan yang lebih besar daripada hasil di atas. Masalahnya, para ilmuwan belum menemukan kemungkinan suatu benda bergerak lebih cepat dari cahaya.  Jika pada suatu saat ilmuwan sudah menemukan cara melaju lebih cepat dari cahaya, mungkin kita bisa keluar masuk area black hole sesuka hati untuk penelitian, melakukan teleportasi, atau bahkan menciptakan mesin waktu.

Jadi, jangan dekat-dekat event horizon lubang hitam kalau belum siap bergerak lebih cepat dari cahaya.

Friday, April 22, 2016

Lelucon yang Dibenci Para Jomblo

0

Hanya di Indonesia, kita bisa menjumpai adanya jurang yang besar antara orang-orang yang sudah punya pacar dan yang belum punya pacar. Hanya di Indonesia, kita bisa mendengar adanya cemoohan bagi para jomblo (jomlo di KBBI, namun kita pakai istilah populer saja). Hanya di Indonesia, kita bisa merasakan kegalauan dan kekosongan hati para jomblo yang diekspresikan di media sosial ataupun curhatannya.

Saya punya banyak teman yang jomblo, dan mereka sering diejek juga. Mentang-mentang sudah punya pacar, terus ngejek yang nggak punya. Mentang-mentang punya rumah, ngejek mereka yang nggak punya. Itu mah sombong namanya. Habis itu, yang jomblo pasti bilang, "Halah, jodoh nggak akan ke mana-mana! Lihat aja!"

Wajar sih ekspresi para jomblo jadi sepet, lah kadang-kadang bercandaan para orang yang "pernah jomblo" itu nggak masuk akal. Ya, jadi langsung saja saya sebutkan beberapa lelucon yang dibenci para jomblo:


  • "Truk aja punya gandengan, masa kamu nggak?"
Dengan logika kayak gitu, kamu (baca: yang pernah jomblo tapi sekarang nggak) membandingkan dirimu dan pasanganmu sendiri dengan truk, dong! Memangnya ada ya manusia yang mau disandingkan dengan benda mati?

  • "Jomblo mah seringnya doa supaya hujan di malam minggu."
Wah, ini generalisasi yang ngawur. Ya mungkin ada yang seperti itu, tapi para jomblo nggak selalu gitu, kok. Kebanyakan dari kumpulan jomblo malah doa minta pasangan yang pantas. Atau mungkin jomblo berusaha meningkatkan kualitas diri, seperti kerja paruh waktu atau belajar.

  • "Jomblo tuh kasian waktu malam minggu."
Siapa bilang? Jomblos do have friends, dude. Sori, jomblo nggak se-ngenes itu, masa udah nggak punya pacar, nggak punya teman juga. Jadi, selain meningkatkan kualitas diri, jomblo juga bisa memperluas pergaulan, ya dengan jalan-jalan sama teman ini. Daripada situ, jalannya sama pacar saja. *mampus kena skak*

  • "Nggak apa-apa belum punya pacar, Mblo, masih ada sabun kok."
Maksud L?

Jadi, secara nggak langsung, kamu para taken berkata bahwa cara "menyenangkan kebutuhan biologis" bagi yang sudah punya pacar adalah "ena-ena dengan pacar". Lah, ngapain yang udah punya pacar pakai sabun, kan lebih enak pakai pacar sendiri. Gitu kan logikanya?

Kesalahan pertama, kamu sih kebanyakan yang bilang gitu masih bocah SMP atau SMA, tapi sudah pengin enak-enak sama pacar? Sini saya tendang kamu sampai pusing tujuh galaksi. Kalau hamil, terus terpaksa nikah muda, rasain tuh nasib.

Kesalahan kedua, there's nothing wrong with sabun-ing. Hampir semua orang di dunia ini pernah... ya begitu.

  •  "Jomblo ngenes."
Ini yang paling populer dan sekaligus paling dibenci para jomblo. Dengan berkata demikian, berarti kalian berkata bahwa setiap orang perlu orang lain untuk jadi nggak ngenes. Otherwise, kamu akan ngenes seumur hidup.

Kenyataannya nggak seperti itu!

Jomblo justru yang lebih mandiri karena tetap bisa meningkatkan kualitas diri dan memperluas pergaulan meskipun nggak ada pacar di sisinya.

No woman/man, no problem!

Thursday, April 21, 2016

Pembuktian 1 = 2

0

Ada satu pertanyaan matematika yang sangat menarik: bisakah sebuah bilangan n sama dengan bilangan lain, misalnya 2n?

Jawabannya adalah bisa saja!

Pada post ini, kita akan mencoba membuktikan dengan konsep aljabar sederhana bahwa 1 = 2. Prinsip yang akan digunakan bisa diterapkan untuk membuktikan semua bilangan asli n sama dengan bilangan 2n. Mungkin proses yang akan digunakan sedikit aneh, namun pada akhirnya para pembaca akan terkejut dengan hasil akhirnya.

Kita mulai!

  1. Misalkan saja n = 1. Tentu saja satu sama dengan satu, dong. Jadi, kita bisa tulis n = n.
  2. Kuadratkan kedua ruas.
  3. Kurangkan kedua ruas dengan n kuadrat.
  4. Pada ruas kiri, keluarkan n. Sedangkan, pada ruas kanan, gunakan sifat (a+b)(a-b) yang sudah diajarkan di aljabar SMP.
  5. Coret yang sama.
  6. Maka ketemu n = 2n
Ini dia penggambaran lengkapnya:
Coba deh tebak, bagian mana yang salah?

Pada baris kedua dari terakhir, kita membagi kedua ruas dengan n-n. Nah, sedangkan n-n sendiri pasti sama dengan nol. Maka, secara tidak langsung, kita membagi kedua ruas dengan nol. Hal ini membuat hasilnya menjadi tidak terdefinisi, karena setiap bilangan yang dibagi nol adalah tidak terdefinisi. Jadi, bisa disimpulkan kalau pembuktian ini tidak valid.

Hal ini disebut sebagai kekeliruan matematika atau mathematical fallacy, yaitu pembuktian dengan prinsip yang salah. Lucunya, prinsip ini tertutupi, sehingga kesalahan ini nggak terlihat secara sekilas. Contohnya ya pembagian dengan nol di atas, namun tertutupi dengan penulisan aljabar n-n, sehingga kita lupa bahwa n-n sama dengan nol.

Kesimpulan akhirnya adalah: 1 tidak sama dengan 2.

Wednesday, April 20, 2016

Surat untuk Diriku

0

Hai, ini aku, dirimu yang sudah berubah. Aku bukan seperti dulu, bukan orang yang membenci dirinya sendiri seperti beberapa tahun silam. Bukan pula orang yang terombang-ambing dalam kenggakjelasan siapa dirinya dan mengapa dirinya dilahirkan. Kuharap kabarmu baik-baik saja dan kamu bisa meluangkan sedikit waktu untuk membaca surat ini. Bukan maksudku untuk menggurui, namun bacalah sebentar saja. Aku ingin berbagi sedikit cerita denganmu.

Hidup itu nggak berarti… sampai kamu memberinya makna.

Pada awal masa SMA, mungkin kamu merasa bangga karena bisa mengenakan seragam putih abu-abu. Percayalah, aku juga merasakannya dulu. Nggak ada perasaan yang dapat mengalahkannya. Kamu berpikir semuanya akan baik-baik saja selama SMA.

Namun, kenyataannya lain. Kamu bingung bagaimana menjalani masa SMA. Di kelas, kamu sekadar mengikuti pelajaran dari guru, nggak lebih. Kamu mencari kesenangan semata dengan teman sekelompokmu di kelas, nggak peduli dengan hari esok. Dan terbuanglah sudah satu tahun awal yang berguna tersebut.

Sampai akhirnya waktu pemilihan jurusan di kelas sebelas, dan kamu harus memilih antara jurusan yang diminati teman-temanmu dan jurusan yang kamu sukai. Seperti terbentang dua jalan di depanmu: mengikuti kata hatimu atau kata orang-orang. Mulailah pikiranmu melayang ke mana-mana, bingung membuat keputusan. Dilema.

Sekarang, yang ingin aku katakan adalah masa SMA nggak sesepele itu, temanku. Ini tempatmu mencari arti dirimu dan siapa kamu sebenarnya. Mungkin kamu berpikir bahwa kamu hanyalah seonggok campuran sel telur dan sel sperma yang bertambah besar. Nggak, bukan begitu. Ketika kamu melakukan hal yang berguna, jati dirimu akan muncul ke permukaan, dan kamu akan berpikir, “Wah, aku berbeda!”

Jadi, jangan sia-siakan.

Kegagalan itu pasti terjadi, tapi menganggapnya sebagai sebuah kegagalan adalah pilihan.

Di suatu titik, mungkin kamu merenungi hal yang sama persis dengan tulisan ini. Akhirnya, kamu memutuskan untuk mencoba hal-hal yang baru di luar sana. Berbagai kegiatan seperti organisasi sekolah, lomba akademik, dan lain-lain nggak lupa kamu ikuti. Kamu berharap semuanya akan berjalan dengan mulus.

Tetapi, semuanya berakhir dengan kegagalan. Kamu ditolak, kamu kalah, kamu tersingkir. Mereka mulai mengejekmu karena mereka merasa kamu bukanlah seseorang yang spesial. Kamu bukan siapa-siapa. Kata-kata mereka merasuk ke dalam hatimu dan kamu menganggap memang dirimu yang salah. Hatimu tergores, tetapi nggak berdarah. Kamu terjatuh, dan seperti nggak ada tanda-tanda kamu akan mendarat. Kamu merasa nggak dilahirkan untuk menjadi pemenang dan orang sukses. Orang-orang lain mulai kamu bandingkan dengan dirimu sendiri.

“Kenapa dia lebih ganteng?”

“Kenapa dia multitalent?”

“Kenapa dia seperti nggak pernah gagal dalam hidupnya, sedangkan aku selalu gagal?”

Begini, kegagalan pasti terjadi pada setiap manusia cepat atau lambat. Thomas Alva Edison selalu gagal sebelum dia akhirnya berhasil mematenkan bola lampu. Apakah dia merasa gagal? Nggak! Dia hanya menganggap caranya belum tepat dan perlu diperbaiki. Apa yang terjadi ketika dia menganggap itu adalah sebuah kegagalan pada percobaan pertama dan nggak mau belajar lagi?

Hidup memang kejam, namun itu terserah kamu untuk menganggap kegagalan adalah sebuah kegagalan. Kamu bisa gagal satu kali saja. Tetapi, jika kamu menganggap kegagalan adalah beban, pada percobaan pertama pun kamu akan menyerah. Kegagalan ada untuk dipelajari, bukan untuk diratapi. Semakin sering kamu merasakan kegagalan dan belajar darinya, semakin cepat kamu dewasa.

He who has never failed somewhere, that man cannot be great. Failure is the true test of greatness.” – Herman Melville.

Kita nggak bisa menyenangkan semua orang.

Oke, mungkin kamu sudah move on dari kegagalan di masa lalu. Masalahnya, mereka masih ada. Mereka yang setia menamparmu dengan kegagalanmu sendiri. Mereka yang bermulut tajam dan berkata, “Yah, udah nggak lolos ini, nggak lolos itu juga.” Mereka yang nggak akan mengerti ketika kamu balas dengan dalil atau nasihat. Dan kamu mulai berpikir bagaimana caranya membuat mereka menyukai kamu. Kamu berpikir masalahnya ada pada kamu, dan kamu memang belum menjadi manusia yang berkualitas.

Lalu, bagaimana caranya? Nggak perlu mencoba hal seperti itu. Sia-sia. Sebaik-baiknya malaikat, masih ada setan yang membencinya. Sebaik-baiknya manusia, pasti ada yang nggak suka. No matter what we do, people will always have something to say. Kamu nggak mungkin bisa menyenangkan semua orang. Ketika waktumu terbuang untuk meladeni mereka yang membencimu, waktumu untuk bergaul dengan orang yang menyukai kamu akan semakin tipis. Jadi, tetaplah berbuat yang terbaik dan abaikan mereka. Hidupmu itu sebuah sandiwara. Kamu sebagai pemeran utama dan orang lain hanya sebagai penonton. Yang masalah bukanlah apa kata penonton, namun mengapa kamu berhenti berakting karena gentar dengan segelintir penonton itu.


Percayalah, aku sudah melalui hal-hal tersebut. Sekarang giliranmu untuk merenungkan hal tersebut.

Tuesday, April 19, 2016

Apa Itu Hukum Newton?

0

Seseorang pernah berkata pada saya, 

"Fisika itu pelajaran hitung-hitungan!"

"Rumusnya banyak!"

Well, saya nggak mau bilang dia salah. Tapi, dia juga nggak sepenuhnya benar. Fisika memang penuh dengan rumus matematis, karena Matematika sendiri adalah bahasa Fisika. Tetapi, yang paling penting dari Fisika sendiri adalah....

Konsep.

Tanpa konsep, nggak akan ada rumus-rumus yang kita pusingkan sekarang. Tanpa konsep, nggak akan ada penjelasan tentang fenomena alam lainnya. Tanpa konsep, Fisika hanya jadi pelajaran yang nyaris nggak ada bedanya dengan Matematika.

Kita masuk ke satu contoh bab. Sebut saja tentang Hukum Newton. Rumusnya memang cuma satu: F = ma. Beres. Kayaknya, dengan menguasai rumus itu, kita juga sudah menguasai Hukum Newton dan bab yang berkaitan dengan dinamika gaya lainnya.

Salah besar!

Definisi "paham"-mu belum bisa dibilang paham kalau kamu belum bisa jawab pertanyaan ini:
  1. Mengapa besar percepatan berbanding terbalik dengan massa?
  2. Ketika mobil mengerem mendadak, ke arah manakah sebuah benda akan jatuh?
  3. Jika terdapat gaya luar sebesar 100 Newton dan gaya gesek sebesar 100 Newton juga, apakah keduanya termasuk sepasang gaya aksi-reaksi?
  4. Apakah benda bisa mengerjakan gaya pada dirinya sendiri?
Di sinilah konsep benar-benar diperlukan. Jadi, Fisika bukan sekadar rumus yang harus dihafal!

Mari kita bahas tentang Hukum Newton alias hukum yang mempelajari tentang gerak. Saya jelaskan menurut pengetahuan saya.

HUKUM I NEWTON

Zaman dulu, orang-orang mengira bahwa benda yang bergerak memiliki kecenderungan untuk berhenti pada suatu titik, misalnya saja bola yang ditendang. Setelah beberapa lama, bola itu akan melambat dan akhirnya berhenti. 

Namun, Galileo Galilei menentang pendapat tersebut. Beliau mencetuskan bahwa sebenarnya benda memiliki kecenderungan untuk menentang perubahan gerakan, yang sekarang kita kenal sebagai kelembaman atau inersia.

Kemudian, berdasarkan argumen Galileo, Isaac Newton mematenkan suatu teori yang kita gunakan hingga sekarang. Isinya kurang lebih seperti ini:

Jika tidak ada gaya luar yang bekerja, benda akan tetap diam atau bergerak dengan kecepatan konstan.

Salah satunya adalah gerak satelit di luar angkasa. Satelit tidak mengalami gaya yang searah dengan kecepatan (gaya yang dialami hanyalah gaya sentripetal yang tegak lurus dengan arah kecepatan). Oleh karena itu, satelit hanya mengorbit dengan kecepatan konstan.

Contoh yang kedua adalah ketika mobil mengerem mendadak, kita akan terdorong ke depan. Mengapa? Karena tubuh kita punya kecenderungan mempertahankan keadaan asalnya, yaitu bergerak ke depan. Ketika mobil mengalami perlambatan secara tiba-tiba, kita masih bergerak ke depan. Oleh karena itu, kita terdorong ke depan.

Berdasarkan teori tersebut, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
  1.  Hukum I Newton sebenarnya menjelaskan apa yang terjadi ketika tidak ada gaya luar yang bekerja, bukan ketika resultan atau total gaya yang bekerja pada suatu benda sama dengan nol. Ya, memang, pada akhirnya formula sigma F = 0 akan digunakan dalam kondisi tertentu.
  2. Dapat dikatakan bahwa semakin besar massa, inersia benda tersebut semakin besar. (Bukan momen inersia!)
  3. Berdasarkan prinsip ini, benda tidak bisa mengerjakan gaya pada dirinya sendiri, karena sifat alami benda yaitu tetap mempertahankan keadaannya. Seandainya benda bisa mengerjakan gaya pada diri sendiri, benda itu akan mengalami percepatan dan mengubah geraknya sendiri. Memang, ada gaya antarpartikel di dalam suatu benda, namun gaya-gaya tersebut saling meniadakan sehingga resultannya nol.
HUKUM II NEWTON

Hukum Newton ini menjelaskan tentang benda yang sedang bergerak dengan percepatan konstan.

Sekarang, coba pikirkan, ada sebuah balok bermassa 10 kilogram, lalu didorong dengan gaya konstan 50 N. Yang kedua, dengan balok yang sama, cobalah dorong dengan gaya sebesar 100 N. Mana yang lebih mudah bergerak atau mulai mengalami percepatan? Tentu gaya yang 100 N! Kita bisa menyimpulkan bahwa besar percepatan berbanding lurus dengan besarnya resultan gaya.

Yang kedua, dengan besar gaya yang sama, kita dorong satu balok bermassa 10 kg dan satu balok lain bermassa 30 kg. Mana yang lebih mudah bergerak? Tentu yang 10 kg. Hal ini sesuai dengan Hukum I Newton. Besar percepatan berbanding terbalik dengan massa benda. Semakin besar massa suatu benda, semakin susah benda tersebut untuk bergerak.

Itulah asal-usul rumus yang kita kenal sekarang: sigma F = ma.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
  1. Rumus "ma" menyatakan resultan gaya yang bergerak pada arah tertentu. Jadi, misalkan ada gaya dorong (F) dan gaya gesek (fg) pada suatu balok, maka yang benar adalah F-fg = ma, bukan F = ma. Rumus ini harus diperlakukan untuk sistem.
  2. Rumus ini hanya bisa diperlakukan untuk benda yang mengalami percepatan konstan. Jika percepatan berubah selama selang waktu tertentu, harus diselesaikan menggunakan pendekatan kalkulus.
  3. Rumus ini berlaku jika massa konstan. Jika massa berubah, misalkan pada peristiwa fusi atau fisi, rumus ini tidak bisa digunakan.
  4. Rumus ini berlaku jika kecepatan benda jauh lebih kecil dari kecepatan cahaya. Jika benda bergerak dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya, kita harus menggunakan konsep Relativitas Einstein untuk menjelaskan gerak benda ini.
  5. Bersesuaian dengan Hukum I Newton dan Hukum II Newton, gaya adalah pemicu perubahan gerak benda, bukan yang membuat benda bergerak. Jika tidak ada gaya, benda masih bisa bergerak dengan percepatan konstan. Pertanyaannya, apakah benda bisa bergerak tanpa gaya apa pun? Bisa, tapi percepatannya pasti nol.
HUKUM III NEWTON

Suatu gaya memiliki pasangannya. Gaya yang dikerjakan ini disebut gaya aksi, dan gaya yang timbul akibat gaya aksi ini disebut gaya reaksi. Oleh karena itu. sepasang gaya tersebut dinamakan gaya aksi-reaksi.

Hal-hal yang harus diperhatikan:
  1. Gaya aksi-reaksi besarnya sama dan arahnya berlawanan.
  2. Gaya aksi dan gaya reaksi bekerja pada benda yang berbeda.
Misalkan saja kita memukul tembok, lalu kita merasa kesakitan. Mula-mula, tangan kita mengerjakan gaya aksi pada tembok. Kemudian, tembok tersebut mengerjakan gaya reaksi kepada tangan kita. Gaya aksi bekerja pada tembok dan gaya reaksi bekerja pada tangan. Kedua gaya bekerja pada dua benda yang berbeda. Oleh karena itu, peristiwa ini memenuhi Hukum III Newton.

Selanjutnya, ada suatu buku di atas tanah. Buku mengerjakan gaya gravitasi atau gaya tarik-menarik pada Bumi, dan gaya reaksinya adalah Bumi mengerjakan gaya gravitasi pada buku. Jadi, sebenarnya Bumi tertarik karena gaya gravitasi antara Bumi dan buku, hanya saja percepatannya sangat kecil sehingga kita tidak dapat merasakan pergerakan Bumi.

Sebenarnya, Hukum Newton ini nyaris nggak ada rumus. Hanya saja, kita perlu menguasai konsep agar dapat menjelaskan keadaan sehari-hari.
luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com