Monday, January 22, 2018

Am I Good Enough?

1

Belakangan ini, saya membatasi akses ke media sosial seperti Instagram. Capek. Capek sama drama yang ada di dalamnya. Yang bikin lebih capek lagi, saya capek sama "good life, better life, life goal" yang orang-orang tunjukkan. Makan di restoran mahal, show off waktu menang lomba, show off keterima PTN, show off barang baru hasil belanjaan, show off lagi jalan-jalan di luar negeri, dan banyak lagi. Listnya masih panjang, tapi saya capek nulisnya, saking banyaknya.

It drained me mentally. It made me question my self-confidence.

Apakah saya udah cukup bagus? Dibandingkan sama mereka yang kelihatannya punya segala sesuatu di hidup ini?

Saya pernah ditolak masuk OSIS berkali-kali waktu masih SMP maupun SMA, ditolak masuk panitia MOS waktu SMA, diolok-olok satu angkatan gara-gara ditolak OSIS dan panmos dan dikira aneh, dipermalukan guru di depan kelas dengan beliau bilang kalau saya nggak bisa ngomong di depan orang (literally "nggak bisa", bukan "belum bisa"), sampai yang paling mainstream: ditolak cewek berkali-kali bahkan sebelum nembak.

Saya pernah juga belasan kali gagal menang lomba bahkan sampai sekarang (maksimal cuma sampe final), gagal keterima beasiswa di dua universitas ternama di Singapura meski teman saya kayak gampang banget bisa keterima di dua-duanya saking pinternya. Sekarang, saya mulai insecure sama 5-10 tahun ke depan: takut nggak dapat kerja dan nggak bisa berguna buat orang lain.

Tapi, di titik yang paling rendah, saya mikir lagi mungkin saja saya yang kurang bersyukur.

Waktu saya bisa mencoba berorganisasi, meski ketolak sekalipun, banyak orang di luar sana yang bahkan nggak kenal siapa-siapa karena beneran hidup sendirian. Waktu saya mencoba fit in ke lingkungan sosial, banyak orang yang punya disabilitas mental sampai lebih susah lagi buat diterima. Waktu saya mencoba memenangkan hati lawan jenis dan gagal, saya ingat masih ada banyak tangan yang menopang. Ada tangan-Nya yang menopang dan saya nggak akan pernah sendirian.

Waktu saya sedih karena nggak bisa menang lomba dan nggak bisa kuliah di universitas ternama, saya sadar kalau sebenarnya banyak yang bahkan nggak bisa sekolah. Bukan karena mereka nggak mau sekolah, tapi memang nggak bisa sekolah. Some people are born with silver spoon in their mouth and some others are born in absolute poverty. Hidup memang sekejam itu.

Rasanya melegakan. Hal ini bahkan nggak ada di feeds Instagram yang isinya penuh dengan kesempurnaan.


Saturday, January 13, 2018

Flashback (Part 2)

0

Untuk part 1 bisa dibaca di sini.

Setelah SMA, kuliah menanti. Saya kira dunia kuliah itu kayak di FTV: pake baju bebas terus bisa jalan jalan di kampus menikmati udara segar sama temen-temen. Gitu terus sampai lulus. Eh nggak sesimple itu ternyata.

Di sini, saya menemukan tempat saya berpaling. Tempat untuk berbagi. Tempat untuk berjuang bersama selama kuliah. Di sini juga saya belajar mendewasakan diri melalui serangkaian proses yang disusun untuk kami. Kuliah untuk diri sendiri itu gampang: masuk kelas, absen, dengerin dosen, pulang, rapat panitia yang sebenernya cuma ikutan buat menuhin syarat lulus. Tapi, yang harus kami capai lebih dari itu. Hiduplah untuk orang lain: angkatan, jurusan, kampus, hingga negara. Kalau perlu malah lebih bagus untuk dunia. 
(saat kuliah lapangan. Halo TG05.)

(saat orientasi awal. Masih botak)

Setelah itu, perjalanan belum berakhir. Setelah mengamati fenomena "pendidikan" oleh himpunan jurusan masing-masing, saya sadar kalau gelar "maba itu bodoh" yang disematkan ternyata hanyalah tradisi. Mahasiswa baru belum tentu bodoh, dan mahasiswa lama belum tentu pintar. Ketika sudah "selesai" menjalani proses, maba seakan mendadak terlihat pintar. Tetapi, ketika sudah mengemban tanggung jawab masing-masing, apa yang terjadi? Ternyata sama saja.

Ketika kita sudah menjalankan kewajiban, jangan cepat puas. Bisa jadi, kita cuma "kebetulan bisa" menyelesaikan kewajiban tersebut. Buatlah "kebetulan bisa" itu jadi "memang bisa".


Monday, January 1, 2018

Kita Semua Takut

0

Kita semua pernah takut.

Waktu masih kecil, kita takut pergi ke toilet sendirian karena gelap. Kita takut pergi ke tempat sepi sendirian karena takut diculik atau takut lihat hantu.

Kita semua pernah takut.

Waktu masih remaja, kita takut nggak bisa dapat nilai bagus di sekolah. Kita takut nggak punya teman sebangku atau sekelompok. Kita takut nggak punya pacar ketika teman-teman kita sudah punya pacar.

Kita semua pernah takut.

Waktu sudah kuliah dan menuju sarjana, kita takut akan masa depan lebih daripada sebelumnya. Kita takut jadi sarjana kosongan, sarjana yang hanya punya gelar tanpa ilmu karena hari-hari di kelas dihabiskan dengan titip absen, tidur, dan main. Sarjana yang hanya punya gelar tanpa pencapaian dan pengalaman karena setelah kuliah langsung pulang ke rumah atau kost tanpa ikut organisasi atau lomba. Sarjana yang hanya punya gelar tanpa koneksi karena merasa semua itu nggak ada gunanya; koneksi bisa nanti-nanti aja. Kita takut nggak bisa kerja. Kita takut nggak bisa punya kehidupan yang stabil buat menunjang kita sendiri dan calon keluarga kita.

Kita semua pernah takut. Kita semua sedang takut. Kita semua akan takut.

Meski begitu, bebaskan, temanku. This too, shall pass. Lakukan yang terbaik.

Semangat.

Sunday, December 31, 2017

Flashback (Part 1)

0

Empat setengah tahun.

Sudah empat setengah tahun sejak saya masuk SMA. Masih young dumb and broke. Masih nggak ada arah dan tujuan. Jangankan lima tahun ke depan, rencana buat besok pun saya nggak punya. Sekarang masih young dumb and broke, sih. Tapi nggak parah banget.

(biarin young dumb and broke, yang penting pernah foto berdua sama bule.)

Hampir tiga tahun.

Sudah hampir tiga tahun sejak saya kenal komunitas di luar zona nyaman saya untuk pertama kalinya. Shout out to Kampus Fiksi angkatan 12. Tempat saya pertama kali menyadari bahwa setua apa pun kamu, nggak ada yang bisa melarang untuk terus terbang. Semuda apa pun kamu, nggak ada yang bisa melarang untuk mulai meniti batu-batu kecil itu, mulai berlari-lari kecil, dan mulai sadar kalau kamu bisa tersandung kapan saja. Jatuh dari ketinggian itu sakit, tapi mungkin saja lupa untuk menikmati hidup dengan berbicara melalui banyak media (termasuk dengan menulis) akan jauh lebih sakit. Itu yang saya resapi. Meski sudah jarang muncul di grup WhatsApp mereka, saya tetap berusaha mengingat mereka semua. Mengingat apa yang sudah kami lalui selama berproses. Kalian memang terbaik.

(hayo tebak saya yang mana)

Dua setengah tahun.

Bukan Dua Lipa, tapi dua setengah tahun. Waktu itu, baru sadar tau-tau udah kelas 12. Udah bukan waktunya main-main. Secara nggak langsung, lingkungan sekitar saya kayak berusaha nyinyir ke saya, "Hayoooo, kuliah mana nih jadinya? Atau nggak kuliah aja? Jadi penulis. Atau jadi rapper yang bisa go international ke Amerika, mumpung mukanya mirip."

Pusing. Peer pressure, teacher pressure, parent pressure, hydrostatic pressure, atmospheric pressure, semuanya ada. It was as if I could not decide future on my own. Meski dua tahun sudah berlalu sejak masuk SMA, saya masih saja meniti langkah-langkah kecil di batu-batu kecil itu. Belum siap untuk melintasi jurang dengan langkah-langkah yang besar. Lalu gimana? Should I give up, stand still, and eventually be consumed by the endless vortexes of life? Atau saya harus memaksa langkah saya biar besar?

Salah satu (salah dua) langkah besar yang saya coba ambil selama SMA adalah: mendaftar di universitas ternama di Singapura yaitu NTU dan NUS. Baca di sini dan sini biar bisa tahu pengalamannya.

Pada akhirnya, saya lolos. Terbukti saya bisa mengambil langkah besar itu. Saya dengan latar belakang yang medioker, bukan dari sekolah favorit, bukan siswa yang berprestasi, bisa berjalan sejauh itu. Tinggal satu senti lagi untuk sampai ke ujung jurang itu.

(bahkan sekarang masih saya tempel di pintu kamar)

Akan tetapi, shit happens sometimes. Saya nggak jadi berangkat ke sana karena ini dan itu. Rasanya seperti kamu bangun di suatu pagi, dan kakimu menyerah begitu saja tanpa alasan, dan kamu nggak bisa lanjut meski tujuanmu itu tinggal satu senti saja.

Untungnya, salah dua yang saya sebutkan, saya ganti jadi salah tiga. Ganti rencana jika dibutuhkan, paksa kakimu yang tersangkut itu, meski mungkin rasanya sakit seperti mau lepas. Apa satu lagi itu?Ya, mendaftar ke ITS, salah satu perguruan tinggi favorit di Surabaya, bahkan Indonesia.

Kalau kamu pernah jatuh, pasti kamu berpikir apa kamu bakal jatuh lagi. Itu yang saya rasakan. Apa saya bisa lolos ke ITS dengan segala keterbatasan latar belakang embel-embel sekolah favorit dan perbedaan yang bakal saya rasakan jika saya diterima di sana? 

Nyatanya, saya bisa, meski seperti lolos dari lubang jarum.

Terima kasih, masa remaja. Terima kasih, hidup. Hal omong kosong, tapi penting, apa lagi yang bakal kamu berikan besok?

Tunggu bagian ucapan terima kasih saya selanjutnya.

Thursday, August 3, 2017

Kuliah Itu Lebih Bebas?

2

Banyak adik kelas saya yang pengen cepat-cepat kuliah. Katanya, mereka capek harus duduk terus di kelas dari jam 7 pagi sampai 3 sore. Nggak terus-terusan juga sih, soalnya kepotong jam istirahat. Tapi, tetep saja duduknya lama. Lalu, mereka juga capek lantaran harus pakai seragam terus setiap ke sekolah. Belum lagi ketentuan-ketentuan lain seperti rambut nggak boleh melebihi kerah, alis, dan telinga buat yang cowok, dilarang pakai sepatu berwarna, sampai dilarang mengecat rambut. Pokoknya, kata mereka, kuliah itu bebas sebebas-bebasnya!

Untuk masalah akademik, jamnya lebih fleksibel. Bisa milih gitu katanya. Jamnya nggak full kayak waktu sekolah. Untuk masalah kelas, enak banget bisa pindah-pindah. Banyak sekolah di Indonesia yang belum pakai sistem moving class, jadi mungkin banyak yang baru merasakan hal demikian setelah lulus SMA. Kalau waktu sekolah, biasanya absen dua kali aja udah ribet perkaranya ke wali kelas sama guru BK.

Duh, pengen cepet kuliah! Katanya sih gitu.

Katanya lebih bebas waktu sudah kuliah.

Kenyataannya?

Jawabannya, ya. Tapi nggak sepenuhnya bener.

Kenapa?

Kita bahas pelan-pelan di bawah, ya.

Pertama-tama, jam kuliah itu memang nggak full kayak pas sekolah. Ada jedanya, dan jedanya bisa lama banget, sampai 3-4 jam. Tapi, itu nggak bener-bener hasil pilihan kita. Jadi nggak sepenuhnya bebas untuk masalah jam kuliah.

Kok bisa?

Begini, di beberapa kampus ada peraturan yang mewajibkan mahasiswa barunya (tahun pertama) untuk mengambil sistem kuliah paket. Ya, sudah kelihatan kalau jadwalnya nggak bisa diubah-ubah lagi. Kalau di jadwalnya nulis kamu harus masuk kelas jam 7 pagi, ya itu jadwalmu suka nggak suka. Pengalaman saya sendiri sih, nggak suka bangun pagi tapi hampir semua kelasnya mulai jam 7 pagi.

Terus, waktu kita udah punya kebebasan ngambil mata kuliah, ada perang saudara yang "berdarah-darah" antara kamu sama teman-teman seangkatan, bahkan angkatan lain. Bener sekali, rebutan kelas. Jadi, biasanya di kebanyakan kampus akan menentukan hari untuk mengisi formulir/kartu rencana studi lewat akun masing-masing. Nah, di hari tersebut para mahasiswa sudah siap-siap sama laptop plus koneksi internet yang super kenceng, katanya sih biar nggak lemot waktu loading list kelasnya. Begitu jumlah pemilih suatu kelas sudah sampai batas maksimum, kelas tersebut dinyatakan sudah penuh. Mau nggak mau, mereka yang nggak kebagian harus ambil jam yang berbeda dengan dosen yang berbeda. Nah, biasanya kelas-kelas sisa ini ada dua kemungkinan: dosennya nggak disukai mahasiswa dan/atau jam mulai kuliahnya ngganggu waktu istirahat banget (pagi atau sore banget).

Kelihatan kan kalau sebenarnya milih jam kuliah nggak bebas-bebas banget? Lebih ribet dari zaman anak sekolahan malah.

Yang kedua, untuk aturan berpakaian, memang nggak ada ketentuan seragam kecuali untuk jurusan-jurusan tertentu. Bahkan, ada dosen yang memperbolehkan mahasiswanya pakai kaos oblong sama celana jins doang. Contohnya kelas-kelas di jurusan Desain ITS. Tapi, kebebasan di sini yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Nggak mungkin kan ke kampus pakai sandal jepit sama celana pendek? Amannya minimal kaos berkerah sama celana panjang yang nggak terlalu ketat sama sepatu tertutup. Robek-robek? It's a big no no. Dosen sudah tahu kalau mahasiswanya udah dewasa. Udah bisa menakar sendiri berpakaian yang sopan itu seperti apa, makanya biasanya nggak ada aturan yang ketat masalah berpakaian di kampus.

Yang ketiga, masalah nggak masuk kelas dan nggak ngerjain tugas. Memang, dosen nggak terlalu masalahin kamu masuk kelas apa nggak. Tapi, ada tapinya. Ada batas minimal kehadiran supaya bisa ikut ujian. Biasanya 75-80% kehadiran. Nah, berarti nggak bisa dong bolos terus, waktu ujian aja baru muncul. Dosen juga termasuk cuek apa mahasiswanya udah ikut ujian atau ngumpulin tugas. Terserah kamu. Balik lagi ke atas, kan kamu udah dianggap dewasa. Udah tau apa konsekuensi dari perbuatan sendiri, nggak perlu diomelin lagi kayak waktu sekolah.

Setelah baca-baca di atas, masih nganggep kuliah itu lebih enak karena lebih bebas? Belum tentu, kadang tanggung jawab untuk mandiri selayaknya mahasiswa yang udah dewasa itu malah menakutkan.

Tapi itulah yang membuat kita belajar dan berkembang.

Saturday, February 11, 2017

Are We Scared to Be Lonely?

0

Pagi ini, saat membuka laman Youtube, saya menemukan lagu ini di kolom Recommended:


Kesan pertama dari lagu ini: beat-nya mantap, terus suara penyanyinya lumayan lah. Saya suka lagu ini. Jadi, alih-alih skip ke lagu lain, saya repeat play.

Kesan kedua, ketiga, dan seterusnya: liriknya deep banget. Kalau kita coba dengerin lagu ini beberapa kali, pasti dapet maksud dari lagu ini.

 Menurut saya, pas sekali lagu ini rilis menjelang hari Valentine, hari yang katanya orang-orang hari para pasangan bersuka cita dan yang jomblo berduka cita. Intinya, di Scared to Be Lonely, liriknya kurang lebih bercerita tentang satu pasangan yang susah melepaskan satu sama lain karena bisa saja mereka takut menjomblo. Meskipun hubungan mereka penuh pertengkaran dan ketidakcocokan, mereka tetap lanjut. 

All the fucked up fights
And slamming doors
Magnifying all our flaws
And I wonder why
Wonder what for
It's like we keep coming back for more


Dan bagian refrain menurut saya sangat mengena:


Is the only reason you're holding me tonight
'Cause we're scared to be lonely?
Do we need somebody
Just to feel like we're alright?


Dari sini, saya mulai berpikir bagian ini bener banget. Kadang kita ngerasa jadi jomblo itu kesepian, suram, ngenes, nggak ada enak-enaknya. Sementara itu, yang pacaran lebih enak. Kadang juga kita susah buat ngomong putus, soalnya dunia jomblo di luar sana kelihatannya dingin, gelap, sendirian. Kita bisa jadi bukan takut kehilangan hubungan, tapi kita takut kehilangan kebahagiaan. Pertanyaannya, apakah kita memang perlu orang lain untuk bahagia? Apakah kita nggak bisa bahagia dari diri kita sendiri?

Ada banyak filosofi tentang kebahagiaan yang bisa dibaca sendiri di sini, dan saya nggak akan mengulas lebih jauh. Dari filosofi-filosofi tadi, sudah kelihatan kalau kebahagiaan bisa bersumber dari macam-macam hal, nggak cuma dari pasangan hidup. Contohnya, saya sudah 18 tahun menjomblo di hari Valentine, dan mungkin akan jadi 19 tahun di tahun ini. Tapi, apakah saya terlihat se-desperate itu karena jomblo yang nggak berkesudahan?

Nggak. Saya bahagia sekarang. Karena saya sadar kalau dengan atau tanpa pasangan, saya bisa bahagia dan nggak merasa kesepian. Saya punya hobi, teman-teman, dan keluarga yang luar biasa di sini. Dan itu masih sebagian kecil yang saya sebutkan.

Sekarang saya balik pertanyaannya, gimana dengan kamu? Kesepian nggak kalau tanpa pasangan hidup? Udah bahagia belum sekarang? Pesan saya cuma satu sih: kamu bisa bahagia, sendirian ataupun berdua ataupun beramai-ramai. Jadi, jangan lupa bahagia.



Wednesday, February 8, 2017

Natural Numbers (e) for Dummies

2

In this piece of writing, I assume you already have sufficient knowledge of what natural number is. I am also sure many of you are familiar with the constant in middle, or even high school. The value of e itself was discovered by Leonhard Euler and is defined by an approximation as follows:

e = 2.718281828.....

I have no idea why it is named e, instead of any other letters, but I do know that e is not derived from the initials of Euler's name. This constant is very well known in the world of mathematics and plays an important role in calculus and other fields of mathematics.

Where does e come from, again?

In 1683, someone named Jacob Bernoulli studied compound interest in banks. The initial problem was this: I had $1, then deposited it in a bank that (somehow, seems a bit unrealistic) paid 100% interest once annually. With that, by the end of the year, the account should have $2.

Then, what if the interest was 50%, but was given every 6 months or twice a year? Would the amount of money in the end be different?

With a simple calculation, on the first interest payment, the amount of money becomes:

$1 x 50% + $1 = $1.5

In the second payment, the amount of money is:

$1.5 x 50% + $1.5 = $2.25

or

$1 x 1.5 x 1.5 = $2.25

Now, if the bank were to pay interest four times a year, 25% each for every 3 months, the result would be:

$1 x 1.25 x 1.25 x 1.25 x 1.25 = $2.4414...

If the interest was paid daily, then:
The calculations above converges to a specific value as we increase the amount of payment per year indefinitely, or mathematically speaking, as x goes towards infinity:
This is how e was found.

Unique Properties of e

In everyday life, the natural number e is often synonymous with the exponential growth rate. For example, population growth, radioactive decay, and economic income growth. The question is, why e?

In mathematics, the exponential function with the number e has the following graph:


Consider the green graph. It can be observed that as x or the independent variable gets bigger, the value of y will increase faster. This is quite in line with population growth, where the population continues to increase rapidly, instead of in a linear trend. So, the exponential graph can be the right approach to find the rate of population growth.

This still does not solve the bigger question, if we wanted to use a constant number as a base, why has it to be e, instead of some other arbitrary numbers like 2 or 3?

We will see how the constant e greatly simplifies calculus. The derivative of the e to the x is the function itself:

{\frac {d}{dx}}e^{x}=e^{x}

And the integral of the function is the function itself, plus the constant C.

\int e^{x}\,dx=e^{x}+C.

Another thing that makes an exponential function with the number e is that the value of the gradient and the value of y at a point, as well as the area from a point to negative infinity, are always the same for all real x values! Please prove it yourself.

When we use other numbers, other constants will appear which complicate further calculations. For example:
This has shown that e is a special number, just like 0, 1, phi (3.1415...), and i (an imaginary number defined as the root of minus 1). When we see math as something that means a lot beyond just numbers, math becomes a lot more fun. As a bonus, there's one simple formula from Euler (Eulerian identity) that combines the constants elegantly in my opinion:




Tuesday, January 24, 2017

How Far Have You Gone?

0

Waktu masih kecil, sekitar usia SD, saya sering ikut orangtua saya pergi ke Banyuwangi. Perjalanan dari Surabaya ke Banyuwangi makan waktu tujuh jam lebih, jadi lebih enak tidur di mobil daripada bosan. Sesekali, saya bangun lalu nanya ke Mama, "Udah sampai mana, Ma?"

Mungkin nggak cuma saya yang punya cerita kayak gini.

Mungkin nggak cuma di kasus seperti ini kita berpikir, "Udah sampai mana kita sejauh ini?"

Waktu sudah lebih tua sedikit, saya sering berpikir sendiri, "PR-ku udah sampai mana, ya?" atau tugas atau ulangan atau progres sama gebetan pertama atau udah sampai mana saya ditolak sama gebetan pertama tadi.

Itu waktu masalah terbesar di hidup saya cuma PR, tugas, ulangan, dan ditolak gebetan.

Sekarang, ceritanya beda. Hanya saja, yang masih sama adalah bagaimana saya tetap bertanya, "Udah sejauh mana saya sekarang?"

Menjelang ujian masuk NUS dan NTU setahun silam, saya terus berpikir sejauh mana materi yang sudah saya kuasai. Sesekali, saya berhenti belajar dan merefleksikan materi apa yang terbilang susah. Setelah kembali ke rutinitas, saya kembali menggenjot materi yang belum saya kuasai betul-betul tersebut. Akhirnya, hasilnya pun lebih efektif.

Saat mendekati penutupan SNMPTN, saya kembali berpikir apakah pilihan PTN beserta jurusan saya sudah tepat. Kemudian, saya sedikit merombak pilihan yang awalnya ITB jadi ITS. Kembali lagi, itu karena saya bertanya, "Udah sejauh mana kemampuan saya dan faktor sekolah saya berpengaruh?" Dan saya menemukan bahwa sekolah saya nggak punya riwayat meluluskan siswanya ke ITB, seenggaknya dalam sepuluh tahun ke belakang. Maka saya pun mengubur impian memilih kampus gajah duduk tersebut dan memilih kampus yang lebih realistis untuk dijangkau.

Setelah satu semester kuliah pun, saya tetap bertanya demikian dan menemukan jawaban:

"Belum, masih jauh."

Ya, meski IP semester 1 sangat memuaskan, saya belum merasa memberikan kontribusi yang maksimal untuk kampus, termasuk jurusan. Dalam pengaderan, angkatan saya masih terlihat banyak cela, dan saya termasuk bertanggung jawab di dalamnya. Kami semua bertanggung jawab. Dan masih banyak lagi hal yang saya temukan sembari berhenti sejenak dari rutinitas dan mempertanyakan, "Udah sampe mana?"

Sama persis seperti saat saya masih kecil yang berhenti sejenak dari tidur lalu bertanya demikian.

Dan saya yakin saya bakal bertanya seperti itu untuk waktu yang lama, karena hidup terasa masih panjang.

Kalau kamu? How far have you gone?

Sunday, January 1, 2017

Goodbye, 2016!

0

Kebetulan banget post pertama saya di tahun ini persis waktu tahun baru 2017. Anyway, selamat tahun baru 2017 buat yang merayakan. Semoga tahun ini bisa lebih baik dari tahun sebelumnya. Jangan lupa, umur kita nambah satu tahun di tahun ini.

Bicara tahun baru, bagi saya dan teman-teman yang lain, tentu nggak lepas dari refleksi tahun sebelumnya. Kita merenungkan apa yang udah terjadi setahun ke belakang. Hal-hal yang bagus maupun yang kurang mengenakkan terjadi di tahun sebelumnya. Sialnya, cukup banyak hal yang kurang bagus di tahun 2016. Mulai dari munculnya Awkarin yang butthurt sampai lapor polisi (pengikutnya juga ikut muncul, dari Awatit sampai Aw ah Gelap), krisis di Syria, Brexit yang sempat bikin nilai mata uang Inggris anjlok nggak keruan, kasus Ahok, aksi damai yang jadinya malah ngejarah minimarket, sampai Trump jadi presiden Amerika Serikat. 

Seriously, Americans? You did chose Trump as your president?

Beberapa orang penting meninggal di tahun 2016. Satu yang saya ingat: Alan Rickman. 

(sumber: http://www.dnaindia.com/entertainment/report-top-10-memorable-quotes-by-alan-rickman-2165880)

Heran aja sih, kenapa beliau bisa kuat tinggal di Hogwarts berpuluh-puluh tahun tapi sialnya beliau nggak kuat menjalani 2016 sampai selesai?

Tren-tren nggak masuk akal juga muncul di 2016. Kita pasti nggak asing dengan ini:

Mannequin challenge.

Serius deh, apa esensi dari jadi patung selama kurang lebih beberapa puluh detik? Kalau saya disuruh begitu, saya jelas nggak mau. Capek. Terus ada juga bottle flip challenge yang agak ngeselin, soalnya bikin minuman jadi nggak enak diminum lagi. We also may not want to omit that "Kalian semua suci aku penuh dosa" quote.

Oh, satu lagi dari bintang cilik kita. Autotune detected:



Aduh, lupa satu lagi (serius, ini terakhir): om telolet om.


Di balik semua itu, saya tetap bersyukur karena saya masih bisa menyelesaikan resolusi di tahun 2016, walaupun nggak semua. Saya berhasil diterima masuk NUS (baca di sini), lolos masuk ITS, salah satu kampus terbaik di Indonesia (baca di sini), dan dapat nilai UN memuaskan. Keluarga saya juga sehat-sehat aja, dan itu udah sangat cukup buat saya. Hal-hal baik itu lumayan mengompensasi hal yang buruk tadi.

Di tahun yang baru ini, saya juga ingin membuat resolusi baru dan menyelesaikannya, ya, meski resolusinya saya rasa nggak perlu disebar ke orang banyak. Di tahun yang baru ini, saya berharap semua orang bisa bertumbuh ke arah yang lebih baik. Harapannya, tahun sebelumnya bisa jadi pembelajaran dan evaluasi untuk ke depannya. Bagi saya, tahun baru itu bukan masalah pesta mewah untuk menyongsong tahun baru dengan segala macam makanan dan minuman enak, Bukan juga masalah melempar kembang api tepat pada 1 Januari pukul 00.00. Ini bukan hari pesta sejuta umat; bukan juga hari kembang api sedunia

Ini hari tahun baru.

Bukan sekadar momen Bumi telah selesai melakukan satu kali revolusi, tetapi tahun baru adalah waktu yang tepat bagi kita untuk membuka halaman baru dalam kehidupan: membuat resolusi dan mengambil tindakan untuk menyelesaikannya. Apakah saya akan membuat perubahan? Apakah saya akan berpikir dan bertindak lebih bijak dari tahun sebelumnya?

Go ahead. Think and make a change.

Tuesday, July 26, 2016

Si Payah di Sekolah Pasti Bakal Kaya?

0

Saya yakin kalian pasti udah nggak asing dengan kalimat ini:

"Belajar yang rajin biar nilai kamu bagus, terus bisa kerja."

Kamu mungkin percaya dengan kalimat tadi sampai jargon-jargon ini menyerang:

"Orang pinter jadi budaknya orang goblok."

"Kata Bob Sadino, percuma kepinteran, nanti ujung-ujungnya jadi bawahan."

"Orang yang nilai rapornya bagus pasti nggak bisa praktik waktu kerja."

"Anak IPA nggak bisa ngalahin anak IPS kalau urusan banyak-banyakan uang."

Ya, mungkin Indonesia jadi satu dari sedikit negara yang warga-warganya berpikir demikian. Katanya, lebih baik jadi goblok, asal pintar dagang sama pintar ngomong, dijamin kaya. Lebih baik nggak bisa hitung-hitungan, daripada nggak bisa kerja. Lebih baik nggak juara satu, daripada nggak juara jumlah duitnya di antara temen-temen. Intinya, si payah di sekolah pasti bakal kaya. Mungkin ada benernya, tapi kalimat-kalimat di atas serasa pedang bermata dua. Kenapa?


Sisi positif

Kemarin saya membaca How to Win Arguments karya Madsen Pirie, dan saya menemukan poin bahwa dalam berargumen, kita sebaiknya mempertimbangkan dua sisinya: baik dan buruk. Saya tidak ingin jatuh dalam one-sided assessment fallacy, jadi saya coba singgung bagian positif dari kalimat di atas terlebih dahulu.

Yang pertama, nilai sekolah memang nggak selalu menentukan kesuksesan. Contoh yang paling gampang saja, Bill Gates bahkan nggak menyelesaikan studi di Harvard, namun bisa kaya seperti sekarang. Contoh yang lain, saya pernah dengar dari teman saya bahwa ada orang yang suka bolos ke warnet semasa SMA, namun sekarang punya usaha yang sukses. Di sisi yang lain, orang pintar yang biasanya ngasih sontekan ke orang payah di sekolah itu, kerjanya jadi sales. Jelas jadi bawahan orang payah tadi.

Selanjutnya, nggak semua orang memang punya passion di bidang sains atau cabang akademik lainnya. Gampangnya, apa yang saya suka belum tentu kamu suka juga. Saya pernah kenal teman yang sangat jago IT, padahal nilainya biasa-biasa saja. Ada juga teman saya yang pintar main musik, khususnya drum, padahal nilainya biasa saja. Jadi, kalimat tadi bisa buat sedikit menyemangati mereka yang memang nggak terlalu bagus di bidang akademik.

Sisi negatif

Sayangnya, dari kalimat tadi, menurut saya lebih dominan sisi negatif daripada sisi positifnya.

Alasan utamanya adalah, kalimat ini merendahkan orang yang memang berbakat di bidang akademik. Katakanlah siswa yang bernama Budi memang pintar matematika sejak kecil, namun karena membaca atau mendengar pernyataan itu, dia rendah diri. Akhirnya, Budi mengubur dalam-dalam keinginannya untuk belajar dan nilainya pun terjun bebas. Budi pun nggak jadi seseorang yang berguna karena bakatnya nggak dipakai.

Ya, memang jumlah orang yang berbakat di bidang akademik lebih sedikit daripada yang tidak. Tetapi, itu bukan alasan untuk mendiskriminasikan mereka. Yang mayoritas belum tentu paling benar. Menurut saya, keduanya benar. Nggak ada yang salah.

Lagi pula, di Indonesia, memang ada bidang-bidang yang mendapat sedikit apresiasi dalam bentuk pendapatan maupun hak cipta, semisal sains dan teknologi. Meski begitu, itu bukan alasan untuk merendahkan mereka yang memang cemerlang di sekolah. Apa yang menurutmu sukses, belum tentu menurut mereka sukses. Misalnya, kalian mendefinisikan sukses itu bagaimana kalian punya banyak uang. Menurut mereka, bisa saja definisinya bukan seperti itu.

Yang nggak kalah penting, statement tadi bisa jadi excuse untuk mereka-mereka yang malas. Pertama-tama, mereka memilih masuk IPS karena merasa lebih santai, dikit PR, dan hitung-hitungannya nggak ribet. Ya, sebenarnya IPA dan IPS sama saja, namun IPS jadi rusak di mata khalayak umum karena orang-orang macam mereka. 

Kemudian, mentang-mentang beban di kelas cuma dikit, mereka sering bolos sekolah untuk pergi merokok atau main warnet. Waktu senggang mereka habiskan dengan hal yang sama. Ketika ditanyain, mereka cuma jawab, "Halah, sekolah nggak menentukan kesuksesan. Gue pasti sukses meski tanpa sekolah."

Plis, meski kalian nggak berbakat akademik, seenggaknya usaha buat dapat nilai yang cukup. Seenggaknya coba ngembangin bakat kalian. Seenggaknya coba kurang-kurangin asumsi yang sangat menyalahi logika itu.

Kesimpulannya, si payah di sekolah belum tentu kaya, dan si pintar di sekolah belum tentu biasa-biasa saja. Faktanya, Albert Einstein sebenarnya pintar di sekolah, dan dia terkenal sampai sekarang. Ya, pernyataan kalau Einstein bodoh waktu masih sekolah itu mitos, karena ada inversi skala nilai waktu itu. Kalian bisa baca di https://www.quora.com/Is-it-true-that-Albert-Einstein-failed-in-mathematics-many-times-during-his-school-days.

Semuanya kembali ke usaha kita, nggak peduli kita masuk ke "tim payah" atau "tim pintar". 

Sunday, July 24, 2016

Pengalaman SNMPTN 2016 Part 2: Nyaris Batal Masuk ITS!

2

Buat yang belum baca part 1, silakan baca di sini.

Post-SNMPTN

Saat tahu saya diterima di ITS lewat jalur SNMPTN, rasanya dunia jadi indah banget. Waktu jalan-jalan di Bali, baik di Beachwalk, Kuta Beach, Nusa Dua, atau lainnya, rasanya nggak bisa banget buat nahan senyum. Apalagi teman-teman di sana menyelamati saya, rasanya tambah senang.

Setelah pulang dari Bali, saya ikut tryout SBMPTN di Unesa pada 15 Mei. Yang mengadakan adalah pihak Unesa dan ITS. Ya, saya ikut tryout ini soalnya udah telanjur daftar, dan sayang banget kalau nggak jadi ikut. Alhasil, saya juara 1 tryout di bidang Saintek meski konsentrasi saya sempat pecah di kelas. Memang, banyak peserta lain yang kayak nggak niat ikut. Waktunya ngerjain malah ngobrol sama teman sebelahnya. Kan ngeselin, bikin yang niat malah terganggu.

Enam hari kemudian, sekolah saya mengadakan acara semacam wisuda. Di sana, saya diumumkan sebagai peraih nilai tertinggi sejurusan IPA di sekolah. Rasanya nggak masuk akal, mengingat waktu kelas 10 dan 11 saya hanya berada di sekitar peringkat 8. Nah, waktu itu rasanya saya bangga banget. Serasa di atas angin. Dan saya nggak sadar kalau saya ngerasa di atas angin. Ya, istilahnya agak terlena gitu.

Disaster

Jam 3 pagi, tanggal 22 Mei, entah kenapa saya seperti dapat bisikan, "Cek website ITS!"

Ya saya coba cek.

Pelan-pelan saya baca persyaratannya. Secermat mungkin. Tapi, dari kalimat pertama saja saya sudah kaget. Tercengang gitu. Langsung kosong pikiran saya.

Oh, shit. What have I done?

(ini dari smits.ac.id.)

Pikiran saya langsung terbang ke mana-mana. Sudah kelewat 4 hari dari tanggal pengisian. Aduh. Saya berpikir, "Masa iya aku nggak jadi masuk ITS cuma gara-gara kesalahan bodoh gini sih? Masa iya aku harus ngulang masuk tahun depan lewat SBMPTN? Buku SBMPTN-ku udah aku kasih ke temen nih. Temen sama guru-guru juga taunya aku masuk ITS tahun ini, mau bilang gimana coba?"

Ya, sejauh yang saya tahu, daftar ulang SNMPTN itu cuma tanggal 31 Mei 2016 saja. Jadi, saya nggak membaca info lebih lanjut di smits.ac.id. Dan itu kesalahan yang fatal banget. Saya terlalu merasa di atas, jadinya lupa melihat hal-hal kecil yang ada di bawah. Sejak itu, saya bertekad untuk tetap menjaga pikiran agar tidak terlena saat sudah berhasil.

Calming the storm 

Karena tanggal 22 itu hari Minggu, saya harus nunggu besoknya untuk ke ITS untuk mengajukan permohonan untuk mengisi data di sipmaba.its.ac.id. Untungnya, ada orangtua dan kedua koko yang membuat saya tenang dan ngasih solusi yang pas. Saya bersyukur banget, sih, punya keluarga kayak mereka. Kalau nggak, entah gimana saya bisa berpikir jernih. Mereka juga yang membantu saya cari dokumen-dokumen yang diperlukan untuk mengisi data online. I couldn't thank them more.

Besoknya, ke ITS pun sudah jadi kewajiban. Setelah mencari-cari tempat adminnya sipmaba, saya pun siapkan muka tembok kalau-kalau diomelin di sana, atau bahkan nggak boleh ngisi data lagi. Saya ketuk pintu, dan pelan-pelan bicara, "Bu, bisa saya mengisi data di sipmaba? Saya telat ngisi."

Ibu-ibunya bilang dengan muka nggak enak, "Lho, kok baru ngisi?"

"Iya, saya lupa. Baru sadar Sabtu malam kemarin."

Dan selanjutnya, saya diomelin sedikit. Tapi okelah, mereka tetep memperbolehkan saya mengisi data lewat akun admin, karena data akun yang dimiliki mahasiswa memang sudah dikunci dan nggak bisa diubah-ubah lagi.

Siang hari, prosesnya selesai, dan saya keluar layaknya habis keluar dari lautan yang tertutup badai. Nyaris saja saya hanyut terkena badai tersebut. Sejak itu, saya mengingat-ingat tanggal tes kesehatan, verifikasi rapor, sampai verifikasi biodata pada 31 Mei. Ealah, tanggal 31 Mei itu ternyata cuma verifikasi biodata. Saya kira verifikasi semuanya dilakukan tanggal 31. Bruh.

Dan inilah saya, sudah resmi diterima di Teknik Geofisika ITS. Di sini, saya menemukan teman-teman yang agak gesrek gitu, namun seru. Menurut jadwalnya, saya bakal menjalani orientasi seinstitut atau yang biasanya disebut Gerigi pada 26 Agustus 2016. Doakan semuanya lancar saja.

Tanpa perlu banyak ceramah lagi, saya yakin kalian bisa belajar dari pengalaman yang greget ini. Kalian belajar, saya juga belajar. Kita semua selalu belajar setiap harinya. Yah, begitu.

Saturday, July 23, 2016

Pengalaman SNMPTN 2016 Part 1: Lolos dari Lubang Jarum!

18

Sebelum cerita pengalaman SNMPTN ke kalian, ada baiknya saya kasih tahu sedikit info. Buat yang belum tahu, SNMPTN itu singkatan dari Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Kalian pasti sering bingung antara istilah SNMPTN dan SBMPTN. Oke, di sini saya coba jelasin bahwa keduanya berbeda, meski hanya beda di huruf kedua. Yang SBMPTN itu Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi. SNMPTN sistemnya seperti undangan dengan memperhatikan nilai rapor semester satu sampai lima, indeks sekolah, prestasi siswa di ajang perlombaan, dan lain-lain. Sedangkan SBMPTN sama seperti ujian tulis. Begitu.

Sebelum Pendaftaran

Awalnya, saya nggak punya niatan untuk masuk PTN, meski tahu bahwa PTN di Indonesia memang banyak yang ngetop, seperti ITB, ITS, UGM, UI. Tepatnya, saya masih bingung kuliah mana. Dan kebetulan, saya juga berharap untuk masuk dua perguruan tinggi ternama di Singapura. Ceritanya bisa kalian baca di sini atau sini.

Di sisi lain, teman-teman saya di awal-awal kelas 12, mungkin sama seperti kalian, bener-bener ngebet untuk masuk PTN. Jadilah mereka mulai cari info PTN, passing grade, bahkan sampai bimbel untuk persiapan SBMPTN. Gila, niat banget mereka, pikirku waktu itu. Saya masih belum tergerak untuk ikut daftar PTN. Cuma sesekali ikut ngerjain soal SBMPTN, itu pun karena memang ada temen yang nanya. Kalau nggak mana mungkin saya ngerjain. :)))

Pendaftaran

Setelah UEE NUS dan NTU, saya sadar bahwa saya harus cari cadangan tempat kuliah.

H- berapa gitu sebelum verifikasi nilai ditutup, guru BK mendadak masuk kelas dan nanya, "Pendaftaran SNMPTN udah dibuka, siapa mau daftar?" Sekitar sepuluh orang angkat tangan, termasuk saya, Iya, saya yang awalnya nggak minat ikut SNMPTN.

Pulang sekolah, kami ke ruang BK untuk mengambil username dan password untuk login ke PDSS, ngecek apakah nilainya sudah benar atau belum. FYI, untuk SNMPTN, awalnya pihak sekolah yang memasukkan nilai rapor kita ke PDSS, dan kita tinggal periksa lagi. Karena kalau nilai yang di PDSS nggak sesuai sama yang di rapor, tahu lah gimana.

Saya pulang dan ngecek. Wush, nilainya banyak yang salah. Jadilah saya nge-print transkrip dari PDSS dan menandai mana yang salah. Seingat saya itu sudah mepet banget, sekitar H-2 sebelum portalnya ditutup. Saya mulai ndredeg, takut si guru BK ini nggak keburu masukin nilainya sebelum hari H.

Untungnya, waktu pengisian di PDSS diperpanjang satu hari. Singkat cerita, semuanya kelar dan kami yang daftar SNMPTN dibawa ke suatu kelas untuk survei jurusan. Ya, kalian tahu bahwa di satu sekolah bisa saja ada beberapa yang mengambil jurusan yang sama di PTN yang sama. Jadi, tujuan survei ini untuk mencegah, atau seenggaknya meminimalisir kemungkinan, ketidaklolosan akibat "ditikung" teman sendiri.

Waktu itu, ada sekitar 40 atau 50 orang yang di dalam kelas. Satu per satu nama PTN yang biasanya banyak diminati seperti Unair, UGM, ITS, Udayana, disebut oleh guru BK saya tersebut. Ketika melihat papan tulis, saya hanya bisa geleng-geleng. Yang memilih jurusan Ilmu Hukum di Unair aja 5 orang, bro! Termasuk banyak lah. Ada juga yang daftar FK atau FKG Unair, saya lupa, dan dia langganan ranking paralel 1 di angkatan saya.

Ketika nama ITS disebut, saya bilang, "Teknik Fisika! Teknik Geofisika!" Ya, masing-masing itu pilihan pertama dan kedua saya. Untungnya, hanya saya di sekolah yang memilih jurusan tersebut. Kebanyakan di ITS memilih Arsitektur atau Teknik Sipil. Syukurlah, nggak bisa "ditikung" teman satu sekolah. Wajar, jurusan yang saya pilih memang nggak mainstream, karena saya ingin sesuatu yang beda. Berhubung saya suka Fisika juga, jadilah pilih itu.

Kemudian, kita tinggal menunggu 10 Mei, tanggal pengumuman SNMPTN. Tentu saya pasrah. Bicara keketatan, SNMPTN dan SBMPTN memang greget. Keduanya nggak jauh beda. Mengutip dari Zenius, begini persentasenya:

(Ini yang SNMPTN.)
(Dan ini yang SBMPTN.)



Jadilah setelah UN, saya mencicil belajar SBMPTN, just in case nggak diterima SNMPTN meski nilai rata-rata rapor aman di kisaran 90an. Menurut banyak cerita, memang banyak anak dengan nilai rapor memuaskan, namun nggak lolos SNMPTN. Lagi pula, sekolah saya swasta, jelas lebih sedikit kuotanya ketimbang sekolah negeri. Sekolah saya pun nggak punya rekam jejak yang bagus dalam lomba antarsekolah. Bahkan, sekolah saya pernah di-blacklist oleh ITS dan Unair karena ada yang diterima SNMPTN di sana namun nggak diambil.

Pengumuman SNMPTN

Ada satu berita menghebohkan saat itu: pengumuman SNMPTN dimajukan jadi 9 Mei jam 13.00 WIB. Mendekati pengumuman yang krusial itu, saya terus harap-harap cemas. Kebetulan, 9 Mei adalah tanggal saya berangkat ke Bali bersama teman-teman untuk liburan. Saya yang seharusnya tidur cepat karena pagi-pagi harus ke bandara, malah nggak bisa tidur.

Singkat cerita, saya menunggu di pinggir kolam renang hotel sembari melihat teman-teman berenang. 13.30, 13.31, 13.32 WITA (ingat, saya kan lagi di Bali waktu itu), rasanya waktu lambat banget. Karena nggak ingin mati penasaran, saya pun ikut terjun renang sampai 13.55. Pas banget 5 menit buat bersih-bersih. Saya kembali ke depan layar ponsel pada jam 13.59. Jujur, tangan saya gemetaran. Badan panas dingin. Kebetulan ada satu teman seperjalanan saya, namanya Tonny, yang ikut SNMPTN juga, dan saya mengingatkan, "Ton, ayo bareng buka web'e SNMPTN! Aku ga sabar iki wes'an."

Pukul 14.01 WITA, saya baru berhasil masuk ke laman input nomor peserta dan tanggal lahir. Saya dengan hati-hati mengetik nomornya. Dan betapa kagetnya saya ketika mengetahui bahwa saya, Christopher Salim, diterima di ITS lewat SNMPTN di pilihan kedua, Teknik Geofisika! Screenshot-nya kehapus, jadi ini saja:

(yang ini dari smits.ac.id.)

Sementara itu, saya juga denger bahwa teman-teman satu sekolah yang lain nggak lolos SNMPTN, termasuk teman saya yang milih jurusan kedokteran Unair itu. Jadilah saya satu-satunya yang lolos SNMPTN dari sekolah saya. Rasanya cukup prihatin, tapi tetap saja senang karena saya berhasil lolos di ITS. Saya saat itu mengabarkan hasil SNMPTN kepada orangtua dan guru. Mereka bangga dengan hasil ini. Saya juga bersyukur dan yakin kalau Tuhan menempatkan saya di ITS, dan jodoh nggak akan ke mana-mana. Buktinya, saya nggak perlu ikut SBMPTN, bersusah payah mengerjakan tes yang susahnya lima kali lipat dari UN. Nggak, saya nggak bermaksud sombong.

Selanjutnya, saya akan ceritakan pengalaman daftar ulang di ITS.

(Added: untuk part 2 bisa dilihat di sini.)

Wednesday, July 20, 2016

Is Moving Mass Really a Thing?

0


At some point, in modern physics, we (will) study Einstein's relativity and come across with the stationary mass and moving mass terms. When I learned about it, it kind of made sense. But, over time I thought that this was strange. If you want to know why, take a look at the image below.


According to Einstein's theory of relativity, many things are not absolute, such as speed, object length, time, and so on. In fact, it all depends on which frame of reference we look at, there is nothing wrong with that. For the picture above, it can indeed be explained by a long contraction (length contraction). However, the question is, does the mass of the person actually change as he moves about a certain frame of reference?

To answer that, I've thought and done some research so that I can draw a conclusion: relativistic mass theory is probably obsolete! In essence, moving mass actually does not exist in my opinion.

What is mass?

According to Wikipedia, mass means property or ownership of an object. According to classical physics, the greater the mass of an object, the harder it is to make it accelerate when a force is applied to it. According to modern physics, mass is actually the same as energy, only in a different form. This is also known as mass-energy equivalence.

Modern physics has succeeded in explaining how an object can have a certain mass. Objects, apart from being composed of atomic nuclei (protons and neutrons) and electrons, are also composed of particles that cannot be seen by the naked eye. One type is the gluon sub-particle which bridges between the particles in the atomic nucleus to exert a strong force of attraction. The stronger the field flux produced by the gluon, the stronger the force. Well, the attractive force is the origin of the energy we know as bond energy. However, the actual mass of an object comes from that energy. So, that's the origin of the mass of objects.

Does velocity change mass?

(source: Studying Physics Made Practical by Aip Saripudin et al., in Indonesian)

According to this formula, the mass of an object depends on its velocity. Since the denominator is always less than 1, the moving mass will always be greater than the rest mass. The same statement is also found in the Physics textbook by Marthen Kanginan.

So, when we think a little, if we drop an object as small as sand at a speed close to light, say 290,000,000 m/s, the formula will be:

But:
The denominator approaches 0 as the speed approaches the speed of light. So, even moving mass must approach infinity! Very strange result, how can an object have such a large mass just because its velocity is large? That's what started my line of thought about this.

Secondly, if the mass of the object becomes very large because of the velocity, how does the velocity affect the sub-particles in the object so that the bond energy becomes very large? Through friction? However, in outer space there is no air resistance, right? Scientists at that time still could not explain this phenomenon. The concept of relativity becomes even more complicated with the moving mass term.

What goes beyond this

Now, scientists define mass as an inherent property of an object, another term is mass invariant. That is, the mass does not depend on the frame of reference of the observer of an object. If an observer at rest sees an object with a mass of three kilograms, an observer in motion will see an object with a mass of three kilograms as well.

In my opinion, what increases with the relativistic velocity is the kinetic energy. The greater the speed, the greater the kinetic energy. So, it is the increase in energy that makes an object seem heavier and denser, because of the mass-energy equivalence described above. Mass and energy are similar, so we think that mass is changing, when actually it is not.

Thursday, July 14, 2016

Medan Gravitasi atau Gaya Gravitasi?

0

Banyak yang tahu apa itu gravitasi. Mungkin sebagian orang menjawab, "Gravitasi itu yang membuat benda-benda jatuh." Beberapa yang lain mungkin mendefinisikannya sebagai tarik-menarik antara benda-benda yang ada di sekitar kita. Sejauh yang masyarakat awam pahami, itu penjelasan tentang apa itu gravitasi.

Masalahnya, definisi di atas terlalu umum. Saya sejak dulu penasaran, sebenarnya gravitasi itu medan atau gaya?

Waktu masih kecil, saya sering mempertanyakan banyak hal. Misalnya, saya pernah membaca suatu buku dan langsung paham bahwa gravitasi adalah gaya tarik menarik antara dua benda. Saat SMA, saya juga belajar bahwa gravitasi juga merupakan sebuah medan. Setelah itu, definisi gravitasi sendiri seperti menjadi lebih kompleks setelah teori Einstein keluar. Jadi, saya mencoba untuk melakukan sedikit riset.

Apa itu gravitasi menurut para ahli fisika klasik?

Menurut Aristotle, gravitasi adalah suatu hal yang menimbulkan kecenderungan benda-benda untuk jatuh ke pusat alam semesta

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: tidak dijelaskan.


Karena pusat alam semesta berimpit dengan pusat Bumi, maka benda-benda otomatis jatuh menuju pusat Bumi. Hal yang menjadi masalah adalah mengapa planet-planet dan Matahari nggak jatuh ke pusat Bumi juga? Karena pertanyaan ini, teori gravitasi Aristotle terabaikan.

Yang kedua, fisikawan asal Inggris, Isaac Newton, mempublikasikan teorinya dalam buku PhilosophiƦ Naturalis Principia Mathematica seperti ini:

Semua partikel di alam semesta saling menarik partikel yang lain dengan besar gaya yang sebanding dengan hasil kali kedua massa partikel dan berbanding terbalik dengan jarak kuadrat kedua partikel tersebut. Arah dari gaya gravitasi searah dengan garis lurus yang menghubungkan kedua partikel.

Selain itu, Newton juga lebih menekankan percepatan gravitasi sebagai percepatan benda untuk menuju ke pusat Bumi, bukan sebagai kuat medan gravitasi itu sendiri. Hal ini disebabkan karena teori Newton ini dianalogikan sebagai teori tug-of-war, yaitu tarik-menarik.

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: gaya.




Analisis teori Einstein

Revolusi besar dalam pemahaman kita mengenai gravitasi terjadi pada 1907 ketika fisikawan asal Jerman, Albert Einstein, merilis teori tentang relativitas umum. 

Pertama-tama, Einstein menegaskan bahwa gravitasi sebenarnya adalah kelengkungan empat dimensi ruang-waktu karena adanya benda bermassa. Semakin besar massa suatu benda, semakin dalam lengkungannya. Ini gambarnya kalau kalian nggak paham dengan penjelasan verbal. 

(sumber: www.waykiwayki.com)

Setelah itu, Einstein mengatakan bahwa gravitasi jelas bukan gaya tarik-menarik seperti yang dikemukakan oleh Newton.

Para ilmuwan pun mengetes teori Einstein, dan memang teori ini bisa menjelaskan perubahan orbit Merkurius mengelilingi Matahari, perubahan arah cahaya saat mendekati Matahari di kondisi gerhana Matahari, serta penemuan exoplanet ketika dipadukan dengan teori efek Doppler.

Singkatnya, teori Einstein lebih luas dalam menjelaskan gravitasi. Bahkan, dalam suratnya, Einstein mengungkapkan permintaan maaf pada Newton. Jadi, kita akan menggunakan penjelasan teori ini untuk selanjutnya.

Medan gravitasi atau gaya gravitasi: medan.

Jadi, gravitasi itu gaya atau medan?

Sebelum lanjut, ada baiknya kita bahas sedikit tentang gaya fiksi. 

Menurut Wikipedia, gaya fiksi (disebut juga gaya pseudo, gaya d'Alembert, atau gaya inersia) adalah gaya yang sebenarnya tidak ada menurut pengamat di luar, namun dapat dirasakan oleh pengamat yang berada dalam kerangka acuan yang mengalami percepatan. Misalnya gaya sentrifugal dan gaya Coriolis.

Ilustrasinya seperti ini:

(sumber: cnx.org)

Yang kiri adalah menurut pengamat yang ada di komidi putar (ada gaya fiksi ke luar), sedangkan yang kanan adalah menurut pengamat yang sedang diam di luar komidi putar (cuma ada gaya sentripetal menuju ke pusat lintasan).
Di teori relativitas umum, Einstein juga menjelaskan dengan prinsip ekuivalensi bahwa:

Keadaan suatu benda yang berada dalam medan gravitasi bisa dikatakan ekuivalen dengan suatu benda yang berada dalam kerangka yang mengalami percepatan ke atas.


Karena teori relativitas terlalu susah untuk dijelaskan secara matematis, jadi saya mencoba menjelaskan secara verbal. 

Pada gambar sebelah kiri, bola dijatuhkan di dalam elevator yang diam (a = 0) dan kemudian mengalami percepatan sebesar g. 

Di gambar kanan, elevator bergerak dengan percepatan -(arahnya ke atas) di ruang hampa, dalam arti gravitasi bisa diabaikan. Namun, orang tersebut merasakan, dengan kata lain, mengerjakan gaya reaksi terhadap lantai, hasil dari percepatan elevator ke atas sebesar F = mg. Jadi, menurut kerangka acuan orang tersebut, bola jatuh dengan percepatan g. Ini yang dimaksud dengan prinsip ekuivalensi. 
Menurut pemikiran saya, dengan menghubungkan prinsip ekuivalensi dan gaya fiksi, kita bisa mengatakan bahwa gaya gravitasi F = mg yang sudah kita bahas tadi adalah gaya fiksi. Ingat, elevator juga merupakan kerangka acuan yang dipercepat, jadi perbandingan antara komidi putar dan elevator ini analog. 

Konklusi

The bottom line, gravitasi adalah medan dan gaya. Medan gravitasi itulah yang menyebabkan adanya percepatan sehingga kita bisa merasakan gaya gravitasi yang sebenarnya gaya fiksi.  

Oke, saya udah berpikir dan menulis postingan ini selama empat jam lebih. Kurang lebih begitu penjelasannya. Kapan-kapan, saya akan coba berpikir lagi mengenai gaya gravitasi sebagai salah satu dari empat gaya fundamental di alam semesta ini.

P.S.: beberapa referensi saya untuk crosscheck adalah Wikipedia,
https://www.quora.com/Is-gravity-a-fictitious-force-How-so ,
serta buku berjudul Physics for Scientists and Engineers karya Serway dan Jewett.

Saturday, July 9, 2016

Apa Definisi Sukses Menurut Saya?

0

"Belajar yang bener, biar jadi orang sukses."
"Banyak-banyakan mobil aja; yang paling banyak dia yang lebih sukses."
"Yah, duitnya orang itu pas-pasan. Mungkin dia nggak sukses."

Pernah denger kata-kata seperti ini? Mungkin yang pertama itu kata orangtua, sedangkan sisanya bisa jadi kata teman atau orang yang sudah kaya. Orangtua mendefinisikan sukses sebagai kemampuan kita untuk menggali ilmu sebanyak-banyaknya; teman kita mendefinisikan sukses sebagai kemampuan kita untuk menggali uang sebanyak-banyaknya. Yeah, struktur kalimatnya sama, namun objeknya berbeda.

Definisi sukses itu objektif atau subjektif?

(sumber: www.pinterest.com)


Oke, mungkin tiga contoh di atas terlalu bias. Sekarang, saya mencoba untuk menunjukkan arti sukses secara objektif. Menurut KBBI seperti ini:

kesuksesan/ke·suk·ses·an/ n keberhasilan; keberuntungan: kebanyakan orang senang mempelajari - orang lain untuk ditiru

Keberhasilan di sini masih belum jelas artinya. Coba saya kutip sumber lainnya, misalnya dari Oxford Dictionary:

The accomplishment of an aim or purpose; The attainment of famewealth, or social status.

Seperti yang sudah kalian lihat, sukses berarti keberhasilan mencapai tujuan. Masalahnya, tujuan setiap orang nggak selalu sama. Yang membuatmu merasa sukses belum tentu membuat saya merasa sukses juga. Mungkin bagi sebagian orang, sukses itu berarti bisa beli rumah dan mobil. Bagi sebagian yang lain, sukses bisa juga berarti berhasil bangun pagi setiap harinya. Bagi yang sering sembelit, salah satu makna sukses berarti bisa buang air besar setiap paginya. Hore!

Kesimpulannya, definisi sukses itu sangat subjektif dan personal. Kita pasti punya definisi sukses sendiri-sendiri. Sudahkah kamu menemukan arti kesuksesanmu sendiri?

An example

(Warning: contoh ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan atau mengunggulkan jenis pekerjaan tertentu. Please be open-minded when reading this. Kalau rentan tersinggung, lompati saja bagian ini.)

Katakanlah ada dua orang yang bersahabat, yang satu bernama Budi dan satu lagi bernama Arif. Budi selalu gagal mendapat nilai bagus, sedangkan Arif selalu langganan menjadi juara kelas, bahkan juara umum di sekolah. Namun, Budi selalu dapat nilai jelek karena biasanya dia mengelola toko warisan ayahnya sampai malam sehingga bisa memperoleh omset yang banyak. Sampai sini, mana yang lebih sukses? Renungkan dulu.

Jawabannya, tergantung bagaimana kamu mendefinisikan kesuksesan. Sebagian menjawab Budi, sebagian lagi Arif, dan sisanya mungkin nggak menjawab sama sekali.

Kita lanjut. Beberapa tahun kemudian, Budi memutuskan untuk nggak kuliah karena ingin jadi pengusaha, sedangkan Arif kuliah dan selalu mendapat IP hampir sempurna setiap semesternya. Lalu, Arif pun bekerja biasa-biasa saja dengan gaji UMR, sedangkan Budi sudah memperoleh omset ratusan juta per tahun. 

Mana yang lebih sukses?

Sekali lagi, jawabannya subjektif. Ada yang menjawab, Arif suksesnya waktu sekolah aja, tapi waktu kerja nggak bisa apa-apa. Percuma dong sekolah tinggi-tinggi tapi gitu-gitu aja.

Definisi sukses menurut saya

Beberapa hari yang lalu, saya mengunduh e-book yang cukup intriguing and thought -provoking. Bukunya seperti ini:

(sumber: psychcentral.com)

Di dalamnya, ada kutipan dari seorang filsuf, yaitu Soren Kierkegaard yang seperti ini:

(sumber: www.pinterest.com)
Definisi sukses menurut saya kurang lebih adalah bagaimana kita bisa menjadi diri kita sendiri yang sebagaimana mestinya. Misal, kita mempunyai bakat seni, maka kita menyalurkan bakat kita ke bidang seni, bukan yang lain. Ya, hal itu memang berat, karena terkadang kita dipaksa untuk beralih ke bidang lain yang bergaji lebih tinggi. Saya juga mengalami seperti itu. Namun, bagaimana kita tidak membuang diri kita yang semestinya adalah hal yang membuat kita sukses. Intinya, do what you love.

Yang kedua, definisi sukses menurut saya adalah bagaimana saya menyalurkan bakat dan kemampuan kita agar dapat diterapkan oleh masyarakat. Sekarang, saya masih berpikir bagaimana kemampuan saya bisa berguna bagi masyarakat. 

Yang ketiga, sukses berarti bisa membuktikan pada orangtua bahwa kita bisa berdiri sendiri menghadapi dunia yang keras serta membuat mereka bahagia. Ayolah, orangtua mendidik kita susah payah, masa membuat orangtua bahagia sedikit saja nggak bisa?

What's your definition of success?


luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com