Sunday, December 31, 2017

Flashback (Part 1)

0

Empat setengah tahun.

Sudah empat setengah tahun sejak saya masuk SMA. Masih young dumb and broke. Masih nggak ada arah dan tujuan. Jangankan lima tahun ke depan, rencana buat besok pun saya nggak punya. Sekarang masih young dumb and broke, sih. Tapi nggak parah banget.

(biarin young dumb and broke, yang penting pernah foto berdua sama bule.)

Hampir tiga tahun.

Sudah hampir tiga tahun sejak saya kenal komunitas di luar zona nyaman saya untuk pertama kalinya. Shout out to Kampus Fiksi angkatan 12. Tempat saya pertama kali menyadari bahwa setua apa pun kamu, nggak ada yang bisa melarang untuk terus terbang. Semuda apa pun kamu, nggak ada yang bisa melarang untuk mulai meniti batu-batu kecil itu, mulai berlari-lari kecil, dan mulai sadar kalau kamu bisa tersandung kapan saja. Jatuh dari ketinggian itu sakit, tapi mungkin saja lupa untuk menikmati hidup dengan berbicara melalui banyak media (termasuk dengan menulis) akan jauh lebih sakit. Itu yang saya resapi. Meski sudah jarang muncul di grup WhatsApp mereka, saya tetap berusaha mengingat mereka semua. Mengingat apa yang sudah kami lalui selama berproses. Kalian memang terbaik.

(hayo tebak saya yang mana)

Dua setengah tahun.

Bukan Dua Lipa, tapi dua setengah tahun. Waktu itu, baru sadar tau-tau udah kelas 12. Udah bukan waktunya main-main. Secara nggak langsung, lingkungan sekitar saya kayak berusaha nyinyir ke saya, "Hayoooo, kuliah mana nih jadinya? Atau nggak kuliah aja? Jadi penulis. Atau jadi rapper yang bisa go international ke Amerika, mumpung mukanya mirip."

Pusing. Peer pressure, teacher pressure, parent pressure, hydrostatic pressure, atmospheric pressure, semuanya ada. It was as if I could not decide future on my own. Meski dua tahun sudah berlalu sejak masuk SMA, saya masih saja meniti langkah-langkah kecil di batu-batu kecil itu. Belum siap untuk melintasi jurang dengan langkah-langkah yang besar. Lalu gimana? Should I give up, stand still, and eventually be consumed by the endless vortexes of life? Atau saya harus memaksa langkah saya biar besar?

Salah satu (salah dua) langkah besar yang saya coba ambil selama SMA adalah: mendaftar di universitas ternama di Singapura yaitu NTU dan NUS. Baca di sini dan sini biar bisa tahu pengalamannya.

Pada akhirnya, saya lolos. Terbukti saya bisa mengambil langkah besar itu. Saya dengan latar belakang yang medioker, bukan dari sekolah favorit, bukan siswa yang berprestasi, bisa berjalan sejauh itu. Tinggal satu senti lagi untuk sampai ke ujung jurang itu.

(bahkan sekarang masih saya tempel di pintu kamar)

Akan tetapi, shit happens sometimes. Saya nggak jadi berangkat ke sana karena ini dan itu. Rasanya seperti kamu bangun di suatu pagi, dan kakimu menyerah begitu saja tanpa alasan, dan kamu nggak bisa lanjut meski tujuanmu itu tinggal satu senti saja.

Untungnya, salah dua yang saya sebutkan, saya ganti jadi salah tiga. Ganti rencana jika dibutuhkan, paksa kakimu yang tersangkut itu, meski mungkin rasanya sakit seperti mau lepas. Apa satu lagi itu?Ya, mendaftar ke ITS, salah satu perguruan tinggi favorit di Surabaya, bahkan Indonesia.

Kalau kamu pernah jatuh, pasti kamu berpikir apa kamu bakal jatuh lagi. Itu yang saya rasakan. Apa saya bisa lolos ke ITS dengan segala keterbatasan latar belakang embel-embel sekolah favorit dan perbedaan yang bakal saya rasakan jika saya diterima di sana? 

Nyatanya, saya bisa, meski seperti lolos dari lubang jarum.

Terima kasih, masa remaja. Terima kasih, hidup. Hal omong kosong, tapi penting, apa lagi yang bakal kamu berikan besok?

Tunggu bagian ucapan terima kasih saya selanjutnya.

Thursday, August 3, 2017

Kuliah Itu Lebih Bebas?

2

Banyak adik kelas saya yang pengen cepat-cepat kuliah. Katanya, mereka capek harus duduk terus di kelas dari jam 7 pagi sampai 3 sore. Nggak terus-terusan juga sih, soalnya kepotong jam istirahat. Tapi, tetep saja duduknya lama. Lalu, mereka juga capek lantaran harus pakai seragam terus setiap ke sekolah. Belum lagi ketentuan-ketentuan lain seperti rambut nggak boleh melebihi kerah, alis, dan telinga buat yang cowok, dilarang pakai sepatu berwarna, sampai dilarang mengecat rambut. Pokoknya, kata mereka, kuliah itu bebas sebebas-bebasnya!

Untuk masalah akademik, jamnya lebih fleksibel. Bisa milih gitu katanya. Jamnya nggak full kayak waktu sekolah. Untuk masalah kelas, enak banget bisa pindah-pindah. Banyak sekolah di Indonesia yang belum pakai sistem moving class, jadi mungkin banyak yang baru merasakan hal demikian setelah lulus SMA. Kalau waktu sekolah, biasanya absen dua kali aja udah ribet perkaranya ke wali kelas sama guru BK.

Duh, pengen cepet kuliah! Katanya sih gitu.

Katanya lebih bebas waktu sudah kuliah.

Kenyataannya?

Jawabannya, ya. Tapi nggak sepenuhnya bener.

Kenapa?

Kita bahas pelan-pelan di bawah, ya.

Pertama-tama, jam kuliah itu memang nggak full kayak pas sekolah. Ada jedanya, dan jedanya bisa lama banget, sampai 3-4 jam. Tapi, itu nggak bener-bener hasil pilihan kita. Jadi nggak sepenuhnya bebas untuk masalah jam kuliah.

Kok bisa?

Begini, di beberapa kampus ada peraturan yang mewajibkan mahasiswa barunya (tahun pertama) untuk mengambil sistem kuliah paket. Ya, sudah kelihatan kalau jadwalnya nggak bisa diubah-ubah lagi. Kalau di jadwalnya nulis kamu harus masuk kelas jam 7 pagi, ya itu jadwalmu suka nggak suka. Pengalaman saya sendiri sih, nggak suka bangun pagi tapi hampir semua kelasnya mulai jam 7 pagi.

Terus, waktu kita udah punya kebebasan ngambil mata kuliah, ada perang saudara yang "berdarah-darah" antara kamu sama teman-teman seangkatan, bahkan angkatan lain. Bener sekali, rebutan kelas. Jadi, biasanya di kebanyakan kampus akan menentukan hari untuk mengisi formulir/kartu rencana studi lewat akun masing-masing. Nah, di hari tersebut para mahasiswa sudah siap-siap sama laptop plus koneksi internet yang super kenceng, katanya sih biar nggak lemot waktu loading list kelasnya. Begitu jumlah pemilih suatu kelas sudah sampai batas maksimum, kelas tersebut dinyatakan sudah penuh. Mau nggak mau, mereka yang nggak kebagian harus ambil jam yang berbeda dengan dosen yang berbeda. Nah, biasanya kelas-kelas sisa ini ada dua kemungkinan: dosennya nggak disukai mahasiswa dan/atau jam mulai kuliahnya ngganggu waktu istirahat banget (pagi atau sore banget).

Kelihatan kan kalau sebenarnya milih jam kuliah nggak bebas-bebas banget? Lebih ribet dari zaman anak sekolahan malah.

Yang kedua, untuk aturan berpakaian, memang nggak ada ketentuan seragam kecuali untuk jurusan-jurusan tertentu. Bahkan, ada dosen yang memperbolehkan mahasiswanya pakai kaos oblong sama celana jins doang. Contohnya kelas-kelas di jurusan Desain ITS. Tapi, kebebasan di sini yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Nggak mungkin kan ke kampus pakai sandal jepit sama celana pendek? Amannya minimal kaos berkerah sama celana panjang yang nggak terlalu ketat sama sepatu tertutup. Robek-robek? It's a big no no. Dosen sudah tahu kalau mahasiswanya udah dewasa. Udah bisa menakar sendiri berpakaian yang sopan itu seperti apa, makanya biasanya nggak ada aturan yang ketat masalah berpakaian di kampus.

Yang ketiga, masalah nggak masuk kelas dan nggak ngerjain tugas. Memang, dosen nggak terlalu masalahin kamu masuk kelas apa nggak. Tapi, ada tapinya. Ada batas minimal kehadiran supaya bisa ikut ujian. Biasanya 75-80% kehadiran. Nah, berarti nggak bisa dong bolos terus, waktu ujian aja baru muncul. Dosen juga termasuk cuek apa mahasiswanya udah ikut ujian atau ngumpulin tugas. Terserah kamu. Balik lagi ke atas, kan kamu udah dianggap dewasa. Udah tau apa konsekuensi dari perbuatan sendiri, nggak perlu diomelin lagi kayak waktu sekolah.

Setelah baca-baca di atas, masih nganggep kuliah itu lebih enak karena lebih bebas? Belum tentu, kadang tanggung jawab untuk mandiri selayaknya mahasiswa yang udah dewasa itu malah menakutkan.

Tapi itulah yang membuat kita belajar dan berkembang.

Saturday, February 11, 2017

Are We Scared to Be Lonely?

0

Pagi ini, saat membuka laman Youtube, saya menemukan lagu ini di kolom Recommended:


Kesan pertama dari lagu ini: beat-nya mantap, terus suara penyanyinya lumayan lah. Saya suka lagu ini. Jadi, alih-alih skip ke lagu lain, saya repeat play.

Kesan kedua, ketiga, dan seterusnya: liriknya deep banget. Kalau kita coba dengerin lagu ini beberapa kali, pasti dapet maksud dari lagu ini.

 Menurut saya, pas sekali lagu ini rilis menjelang hari Valentine, hari yang katanya orang-orang hari para pasangan bersuka cita dan yang jomblo berduka cita. Intinya, di Scared to Be Lonely, liriknya kurang lebih bercerita tentang satu pasangan yang susah melepaskan satu sama lain karena bisa saja mereka takut menjomblo. Meskipun hubungan mereka penuh pertengkaran dan ketidakcocokan, mereka tetap lanjut. 

All the fucked up fights
And slamming doors
Magnifying all our flaws
And I wonder why
Wonder what for
It's like we keep coming back for more


Dan bagian refrain menurut saya sangat mengena:


Is the only reason you're holding me tonight
'Cause we're scared to be lonely?
Do we need somebody
Just to feel like we're alright?


Dari sini, saya mulai berpikir bagian ini bener banget. Kadang kita ngerasa jadi jomblo itu kesepian, suram, ngenes, nggak ada enak-enaknya. Sementara itu, yang pacaran lebih enak. Kadang juga kita susah buat ngomong putus, soalnya dunia jomblo di luar sana kelihatannya dingin, gelap, sendirian. Kita bisa jadi bukan takut kehilangan hubungan, tapi kita takut kehilangan kebahagiaan. Pertanyaannya, apakah kita memang perlu orang lain untuk bahagia? Apakah kita nggak bisa bahagia dari diri kita sendiri?

Ada banyak filosofi tentang kebahagiaan yang bisa dibaca sendiri di sini, dan saya nggak akan mengulas lebih jauh. Dari filosofi-filosofi tadi, sudah kelihatan kalau kebahagiaan bisa bersumber dari macam-macam hal, nggak cuma dari pasangan hidup. Contohnya, saya sudah 18 tahun menjomblo di hari Valentine, dan mungkin akan jadi 19 tahun di tahun ini. Tapi, apakah saya terlihat se-desperate itu karena jomblo yang nggak berkesudahan?

Nggak. Saya bahagia sekarang. Karena saya sadar kalau dengan atau tanpa pasangan, saya bisa bahagia dan nggak merasa kesepian. Saya punya hobi, teman-teman, dan keluarga yang luar biasa di sini. Dan itu masih sebagian kecil yang saya sebutkan.

Sekarang saya balik pertanyaannya, gimana dengan kamu? Kesepian nggak kalau tanpa pasangan hidup? Udah bahagia belum sekarang? Pesan saya cuma satu sih: kamu bisa bahagia, sendirian ataupun berdua ataupun beramai-ramai. Jadi, jangan lupa bahagia.



Wednesday, February 8, 2017

Natural Numbers (e) for Dummies

2

In this piece of writing, I assume you already have sufficient knowledge of what natural number is. I am also sure many of you are familiar with the constant in middle, or even high school. The value of e itself was discovered by Leonhard Euler and is defined by an approximation as follows:

e = 2.718281828.....

I have no idea why it is named e, instead of any other letters, but I do know that e is not derived from the initials of Euler's name. This constant is very well known in the world of mathematics and plays an important role in calculus and other fields of mathematics.

Where does e come from, again?

In 1683, someone named Jacob Bernoulli studied compound interest in banks. The initial problem was this: I had $1, then deposited it in a bank that (somehow, seems a bit unrealistic) paid 100% interest once annually. With that, by the end of the year, the account should have $2.

Then, what if the interest was 50%, but was given every 6 months or twice a year? Would the amount of money in the end be different?

With a simple calculation, on the first interest payment, the amount of money becomes:

$1 x 50% + $1 = $1.5

In the second payment, the amount of money is:

$1.5 x 50% + $1.5 = $2.25

or

$1 x 1.5 x 1.5 = $2.25

Now, if the bank were to pay interest four times a year, 25% each for every 3 months, the result would be:

$1 x 1.25 x 1.25 x 1.25 x 1.25 = $2.4414...

If the interest was paid daily, then:
The calculations above converges to a specific value as we increase the amount of payment per year indefinitely, or mathematically speaking, as x goes towards infinity:
This is how e was found.

Unique Properties of e

In everyday life, the natural number e is often synonymous with the exponential growth rate. For example, population growth, radioactive decay, and economic income growth. The question is, why e?

In mathematics, the exponential function with the number e has the following graph:


Consider the green graph. It can be observed that as x or the independent variable gets bigger, the value of y will increase faster. This is quite in line with population growth, where the population continues to increase rapidly, instead of in a linear trend. So, the exponential graph can be the right approach to find the rate of population growth.

This still does not solve the bigger question, if we wanted to use a constant number as a base, why has it to be e, instead of some other arbitrary numbers like 2 or 3?

We will see how the constant e greatly simplifies calculus. The derivative of the e to the x is the function itself:

{\frac {d}{dx}}e^{x}=e^{x}

And the integral of the function is the function itself, plus the constant C.

\int e^{x}\,dx=e^{x}+C.

Another thing that makes an exponential function with the number e is that the value of the gradient and the value of y at a point, as well as the area from a point to negative infinity, are always the same for all real x values! Please prove it yourself.

When we use other numbers, other constants will appear which complicate further calculations. For example:
This has shown that e is a special number, just like 0, 1, phi (3.1415...), and i (an imaginary number defined as the root of minus 1). When we see math as something that means a lot beyond just numbers, math becomes a lot more fun. As a bonus, there's one simple formula from Euler (Eulerian identity) that combines the constants elegantly in my opinion:




luvne.com resepkuekeringku.com desainrumahnya.com yayasanbabysitterku.com